Langsung ke konten utama

Untuk sang Pelita Kehidupan



               
Keputusan Presiden Nomor 78 Tahun 1994 telah membuat tanggal 25 Nopember menjadi penuh makna. Hari dimana kita akan selalu memperingatinya sebagai hari guru. Guru??? Ia.. sang pahlawan tanda jasa yang kerapkali kita abaikan karena lebih melihat profesi lain yang dianggap lebih keren, menjanjikan, dan bergengsi. Namun... tanpa kita sadari, orang-orang hebat dari profesi-profesi tersebut juga lahir dari tangan-tangan penuh cinta ibu dan bapa guru.
            Memutar kenangan masa sekolah mungkin akan membuat kita semakin memaknai hari guru ini. Masa dimana kita mulai belajar abjad, angka, berhitung, menulis dan akhirnya dikenalkan dengan sekelumit teori, konsep, rumus... akhhh.. mungkin tak semua yang disampaikan bisa kita serap -,-. Masih terbayangkah ketika kita memakai baju putih merah? Wajah yang masih memancarkan kepolosan dan... ya.. bisa dibilang aga lucu lah ya.... Kita masih diantar oleh ibu atau ayah kita. Kita takut untuk masuk ke kelas dan menangis apabila ditinggalkan oleh orang tua kita. Wajah orang-orang yang asing dan tempat aneh penuh dengan meja dan kursi, membuat kita tak nyaman berada disana. Sampai akhirnya... seseorang datang kepada kita. Perlahan melepaskan tangan kita dari orang tua, dan meyakinkan kita bahwa semua akan baik-baik saja. Terus begitu setiap hari. Sampai akhirnya... kita tumbuh menjadi anak yang berani. Tidak takut untuk pergi sekolah sendiri.
            Ingatkah dengan kalimat: “I- N-I-   B-U-D-I”. Haha.. ini merupakan kalimat yang paling sering diajarkan ibu atau bapa guru ketika belajar membaca. Kita semua akan membacanya secara nyaring menggemparkan satu sekolah. Ibu guru akan tersenyum melihat kita penuh semangat untuk mempelajari huruf-huruf yang ia tulis di papan tulis. Terkadang mungkin kesal melihat sikap kekanak-kanakan kita. Namun... ia akan mengontrol semua gejolak amarah itu, mengolahnya kembali menjadi teguran halus yang menyejukan hati. 6 tahun berlalu... dan kita berbahagia akan melanjutkan sekolah ke tingkat menengah. Para guru akan melepas kita dengan bahagia, meskipun pasti akan tersirat kesedihan karena perpisahan itu.

            Baju putih biru dan putih abu... cie.. pasti jadi kenangan yang bakalan terus membekas di hati kita. Masa dimana kita mulai mencoba banyak hal. Masa dimana kepolosan dan ketakutan masa SD perlahan sirna. Kita udah mulai berani ngelawan guru. Seragam ga sesuai aturan, kita siasati dengan main kucing-kucingan dengan ibu atau bapa guru yang dinilai “killer”. Bosan di jam pelajaran tertentu??? Kantin jadi pelarian. Guru terlalu baik, kita malah manfaatin buat bersikap seenaknya. Makanan berserakan di meja belakang, mulut ga cape bercuap-cuap ria, padahal di depan ada guru yang sedang memberikan bekal ilmu untuk kehidupan kita (astagfirlah -,-).
            Semua sikap buruk itu akhirnya berimbas di ujian nasional. Kita tentu ngalamin kepanikan luar biasa menjelang UN. Dan tentunya... para guru mengerti hal itu. Kita disediain pemnatapan buat mantepin diri (itu ceritanya...). karena toh pada prakteknya, kita ga jarang bolos pemantapan dan milih pergi ke tempat lain. Bilang ke orang tua... ya.. tetep masuk pemantapan supaya jatah jajan tetep double. (hayoo yang senyam senyum berarti pengalaman. Haha ). Guru udah coba ngingetin, kita malah bilang bawel dan nyebelin. Akibatnya... UN pun banyak yang megadukan diri pada kancing baju pembawa keberuntungan.
            Ya... banyak tingkah “kurang ajar” kita yang udah ga ketulungan di masa sekolah. Mungkin kita ga menyadari itu sepenuhnya, namun... hukum sebab akibat itu berlaku. Boleh jadi, kita akan merasakan kejadian yang dulu pernah kita lakuin ke guru kita. (Ya.. Allah kan Maha Adil). Terlepas dari segiman kacau nya kelakuan kita... namun tanpa kita tahu... ibu.. bapa guru... merekalah orang-orang yang tak pernah berhenti mendoakan kita. Saat kita sibuk membicarakan keburukan mereka, para guru sibuk membicarakan kebaikan dan keunggulan kita di mata guru lainnya. Saat kita bertingkah laku acuh tak acuh menghadapi UN, para guru tak pernah berhenti membasahi lisan dan air mata mereka dengan doa. Ya.. doa agar kita bisa menjadi yang terbaik, lebih baik dari mereka. Namun.. saking asyiknya dengan dunia kita, kita lupa dan tidak menyadari....  kebaikan-kebaikan guru kita, lebih banyak kita balas dengan keburukan, seperti air susus dibalas air tuba...
            Terlepas dari citra guru di Indonesia yang sempat tercoreng karena kasus perbuatan yang tidak senonoh di sekolah... Mereka tetap para pendidik bangsa. Hanya beberapa oknum guru yang berkelakuan tidak terpuji, jadi jangan sampai “menjugje” guru di seluruh Indonesia bahkan dunia sama buruknya. Karena kita tak bisa menutup mata, masih banyak guru-guru kita yang telah memberikan jiwa dan raga nya untuk mencerdaskan bangsa, tanpa memikirkan biaya. Coba tengok ke daerah pedalaman di Nusantara kita, kita akan menemukan sebuah perjuangan dan pengorbanan yang tulus dari guru-guru yang ada disana. Mereka yang rela meninggalkan kenyamanan hidup di metropolitan dan beralih ke pedalaman untuk memajukan generasi emas anak-anak indonesia. Coba pula tengok cerita-cerita guru honorer di negeri ini. Gaji yang tak seberapa, bahkan tidak jarang berbulan-berbulan tak kunjung dibayar, namun tak pernah menyurutkan diri untuk mengabdi di dunia pendidikan.
            Ibu dan bapa guru memang begitu luar biasa. Namun, tak bisa kita pungkiri, kita seringkali melupakannya.... Ketika kita melangkahkan kaki keluar dari gerbang sekolah kita.. saat ijazah sudah ada dalam genggaman... saat sorak sorai kegembiraan kita rayakan bersama... mungkin saat itulah saat terakhir kita menginjakan kaki di sekolah yang telah bertahun-tahun menjadi tempat menimba ilmu. Kita lupa... tidak ada waktu... so sibuk.. untuk mengunjungi guru-guru kita... Padahal mungkin, guru-guru kita menanti kehadiran kita untuk menjenguk mereka. Mereka ingin melihat kesuksesan anak didik yang dulu mereka ajari dengan cinta dan ketulusan. Tapi sekali lagi... seolah kita memang tak pernah punya waktu...

Maafkan aku.. ibu... bapa guru.. aku rindu kalian.., tapi terlalu banyak alasan yang seringkali menahanku untuk pergi mengunjungi tempat itu... tempat yang penuh kenangan kebersamaan kita...

Komentar

Popular post

makalah emotional intelligence

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang             Kecerdasan intelektual seringkali menjadi ukuran sebagian besar orang untuk meraih kesuksesan. Banyak orang berpikir, dengan kemampuan intelektual yang tinggi, seseorang bisa meraih masa depan yang   cerah dalam hidupnya. Tidak heran, banyak orang tua selalu menekankan anaknya untuk meraih nilai sebaik mungkin agar kelak memiliki masa depan yang cemerlang. Sistem pendidikan di negara kita yang lebih menekankan pada prestasi akademik siswa atau mahasiswa juga semakin mendukung argumen tersebut. Padahal kenyataannya, kecerdasan intelektual bukanlah hal mutlak yang dapat menjamin kesuksesan seseorang.             Mungkin kita sering bertanya-tanya mengapa orang yang ber-IQ tinggi justru banyak yang mengalami kegagalan dalam karirnya. Sedangkan orang yang ber-IQ sedang justru dapat lebih sukses dari orang yang ber-IQ tinggi. Hal itu disebabkan karena ada satu kecerdasan yang lebih berpengaruh dalam menentukan kesuksesan seseoran

BOOK REPORT FILSAFAT MORAL

BAB   I PENDAHULUAN 1.1   Identitas Buku Judul buku       : Filsafat Moral Penulis                : James Rachels Cetakan              : ke enam Tahun terbit      : 2013 Penerbit              : Kanisius, Jl. Cempaka 9, Deresan, Yogyakarta 55011 Halaman             : 394 lembar Harga                 : Rp. 52.000,00 Penerjemah       : A. Sudiarja 1.2   Latar Belakang Penulisan Persoalan-persoalan amoral dewasa ini dinilai semakin memprihatinkan. Banyak kalangan masyarakat yang berperilaku melawan aturan-aturan moral. Aturan yang semula ditaati demi terciptanya keteraturan sosial, kini dengan mudah ditentang oleh banyak kalangan. Perbuatan amoral seolah menjadi hal lumrah di masyarakat. Keteraturan sosial semakin jauh dari harapan. Perubahan zaman yang diwarnai dengan arus globalisasi dan modernisasi merubah segala etika dan aturan moral menjadi sesuatu yang kuno, sehingga banyak kalangan yang meninggalkannya. Degradasi moral yang melanda generasi m

Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan

A.     Pendahuluan Bahasa merupakan   alat komunikasi yang penting   agar manusia dapat saling berinteraksi dan berbagi informasi dengan manusia yang lain. Bahasa ada yang digunakan secara lisan, adapula yang digunakan dalam bentuk tulisan. Bahasa melengkapi anugerah yang diberikan Tuhan kepada manusia. Melalui bahasa, manusia dapat terus mengembangkan kemampuan menalar yang dimilikinya. Kemampuan menalar tersebut sangat penting untuk mengembangkan kemampuan manusia agar terus berkembang kearah kemajuan. Hal itulah yang membuat perkembangan manusia cenderung dinamis. Mengingat pentingnya bahasa dalam kehidupan manusia, maka penggunaan bahasa harus benar agar dapat dimengerti oleh manusia lain dan tidak menimbulkan kesalah pahaman, terutama dalam penggunakan bahasa tulisan. Dalam menulis, manusia tidak bisa sekehendak hati, tetapi harus mematuhi aturan-aturan yang berlaku. Di Indonesia, aturan menulis harus sesuai dengan Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan. Penetapan atur