Memutar kenangan masa sekolah mungkin akan membuat kita semakin
memaknai hari guru ini. Masa dimana kita mulai belajar abjad, angka, berhitung,
menulis dan akhirnya dikenalkan dengan sekelumit teori, konsep, rumus...
akhhh.. mungkin tak semua yang disampaikan bisa kita serap -,-. Masih
terbayangkah ketika kita memakai baju putih merah? Wajah yang masih memancarkan
kepolosan dan... ya.. bisa dibilang aga lucu lah ya.... Kita masih diantar oleh
ibu atau ayah kita. Kita takut untuk masuk ke kelas dan menangis apabila
ditinggalkan oleh orang tua kita. Wajah orang-orang yang asing dan tempat aneh
penuh dengan meja dan kursi, membuat kita tak nyaman berada disana. Sampai
akhirnya... seseorang datang kepada kita. Perlahan melepaskan tangan kita dari
orang tua, dan meyakinkan kita bahwa semua akan baik-baik saja. Terus begitu
setiap hari. Sampai akhirnya... kita tumbuh menjadi anak yang berani. Tidak takut
untuk pergi sekolah sendiri.
Ingatkah dengan kalimat: “I- N-I- B-U-D-I”. Haha.. ini merupakan kalimat yang
paling sering diajarkan ibu atau bapa guru ketika belajar membaca. Kita semua
akan membacanya secara nyaring menggemparkan satu sekolah. Ibu guru akan
tersenyum melihat kita penuh semangat untuk mempelajari huruf-huruf yang ia
tulis di papan tulis. Terkadang mungkin kesal melihat sikap kekanak-kanakan
kita. Namun... ia akan mengontrol semua gejolak amarah itu, mengolahnya kembali
menjadi teguran halus yang menyejukan hati. 6 tahun berlalu... dan kita
berbahagia akan melanjutkan sekolah ke tingkat menengah. Para guru akan melepas
kita dengan bahagia, meskipun pasti akan tersirat kesedihan karena perpisahan
itu.
Baju putih biru dan putih abu... cie.. pasti jadi
kenangan yang bakalan terus membekas di hati kita. Masa dimana kita mulai
mencoba banyak hal. Masa dimana kepolosan dan ketakutan masa SD perlahan sirna.
Kita udah mulai berani ngelawan guru. Seragam ga sesuai aturan, kita siasati
dengan main kucing-kucingan dengan ibu atau bapa guru yang dinilai “killer”.
Bosan di jam pelajaran tertentu??? Kantin jadi pelarian. Guru terlalu baik,
kita malah manfaatin buat bersikap seenaknya. Makanan berserakan di meja
belakang, mulut ga cape bercuap-cuap ria, padahal di depan ada guru yang sedang
memberikan bekal ilmu untuk kehidupan kita (astagfirlah
-,-).
Semua sikap buruk itu akhirnya
berimbas di ujian nasional. Kita tentu ngalamin kepanikan luar biasa menjelang
UN. Dan tentunya... para guru mengerti hal itu. Kita disediain pemnatapan buat
mantepin diri (itu ceritanya...).
karena toh pada prakteknya, kita ga jarang bolos pemantapan dan milih pergi ke
tempat lain. Bilang ke orang tua... ya.. tetep masuk pemantapan supaya jatah
jajan tetep double. (hayoo yang senyam
senyum berarti pengalaman. Haha ). Guru udah coba ngingetin, kita malah
bilang bawel dan nyebelin. Akibatnya... UN pun banyak yang megadukan diri pada
kancing baju pembawa keberuntungan.
Ya... banyak tingkah “kurang ajar”
kita yang udah ga ketulungan di masa sekolah. Mungkin kita ga menyadari itu
sepenuhnya, namun... hukum sebab akibat itu berlaku. Boleh jadi, kita akan
merasakan kejadian yang dulu pernah kita lakuin ke guru kita. (Ya.. Allah kan Maha Adil). Terlepas dari
segiman kacau nya kelakuan kita... namun tanpa kita tahu... ibu.. bapa guru...
merekalah orang-orang yang tak pernah berhenti mendoakan kita. Saat kita sibuk
membicarakan keburukan mereka, para guru sibuk membicarakan kebaikan dan
keunggulan kita di mata guru lainnya. Saat kita bertingkah laku acuh tak acuh
menghadapi UN, para guru tak pernah berhenti membasahi lisan dan air mata
mereka dengan doa. Ya.. doa agar kita bisa menjadi yang terbaik, lebih baik
dari mereka. Namun.. saking asyiknya dengan dunia kita, kita lupa dan tidak
menyadari.... kebaikan-kebaikan guru
kita, lebih banyak kita balas dengan keburukan, seperti air susus dibalas air
tuba...
Terlepas dari citra guru di
Indonesia yang sempat tercoreng karena kasus perbuatan yang tidak senonoh di
sekolah... Mereka tetap para pendidik bangsa. Hanya beberapa oknum guru yang
berkelakuan tidak terpuji, jadi jangan sampai “menjugje” guru di seluruh
Indonesia bahkan dunia sama buruknya. Karena kita tak bisa menutup mata, masih
banyak guru-guru kita yang telah memberikan jiwa dan raga nya untuk
mencerdaskan bangsa, tanpa memikirkan biaya. Coba tengok ke daerah pedalaman di
Nusantara kita, kita akan menemukan sebuah perjuangan dan pengorbanan yang
tulus dari guru-guru yang ada disana. Mereka yang rela meninggalkan kenyamanan
hidup di metropolitan dan beralih ke pedalaman untuk memajukan generasi emas
anak-anak indonesia. Coba pula tengok cerita-cerita guru honorer di negeri ini.
Gaji yang tak seberapa, bahkan tidak jarang berbulan-berbulan tak kunjung
dibayar, namun tak pernah menyurutkan diri untuk mengabdi di dunia pendidikan.
Ibu dan bapa guru memang begitu luar
biasa. Namun, tak bisa kita pungkiri, kita seringkali melupakannya.... Ketika
kita melangkahkan kaki keluar dari gerbang sekolah kita.. saat ijazah sudah ada
dalam genggaman... saat sorak sorai kegembiraan kita rayakan bersama... mungkin
saat itulah saat terakhir kita menginjakan kaki di sekolah yang telah bertahun-tahun
menjadi tempat menimba ilmu. Kita lupa... tidak ada waktu... so sibuk.. untuk
mengunjungi guru-guru kita... Padahal mungkin, guru-guru kita menanti kehadiran
kita untuk menjenguk mereka. Mereka ingin melihat kesuksesan anak didik yang
dulu mereka ajari dengan cinta dan ketulusan. Tapi sekali lagi... seolah kita
memang tak pernah punya waktu...
Maafkan
aku.. ibu... bapa guru.. aku rindu kalian.., tapi terlalu banyak alasan yang
seringkali menahanku untuk pergi mengunjungi tempat itu... tempat yang penuh
kenangan kebersamaan kita...
Komentar
Posting Komentar