BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia hidup dan berkembang dalam suatu susunan
masyarakat sosial yang mana di dalamnya terdapat saling ketergantungan satu
sama lain, seorang manusia tidak akan dapat hidup sendiri dan akan selalu
membutuhkan orang yang lain untuk mendampingi hidupnya.
Berbicara mengenai kehidupan masyarakat tentu tidak
terlepas dari yang namanya kehidupan sosial, dalam struktur kehidupan bermasyarakat
tentu terdapat berbagai hal yang dianggap sebagai pengatur yang bersifat kekal,
mengikat dan memiliki sanksi yang tegas
bagi para pelanggarnya. Hal tersebut dapat dikatakan sebagai hukum.
Hukum yang kini akan kita bahas merupakan hukum yang mengatur segala bentuk
tindakan antar perseorangan atau antar sesama manusia, hukum ini dapat kita
sebut sebagai hukum perdata.
Dalam hukum perdata ini banyak sekali hal yang dapat
menjadi cangkupannya, salah satunya adalah perikatan. Perikatan adalah suatu hubungan hukum
dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih di mana pihak yang
satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu. Hubungan
hukum dalam harta kekayaan ini merupakan suatu akibat hukum, akibat hukum dari
suatu perjanjian atau peristiwa hukum lain yang menimbulkan perikatan.
Di dalam
hukum perikatan setiap orang dapat mengadakan perikatan yang bersumber pada
perjanjian, perjanjian apapun dan bagaimana pun, baik itu yang diatur dengan
undang-undang atau tidak,inilah yang disebut dengan kebebasan berkontrak,
dengan syarat kebebasan berkontrak harus halal, dan tidak melanggar hukum,
sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-Undang. Di dalam perikatan ada
perikatan untuk berbuat sesuatu dan untuk tidak berbuat sesuatu. Yang dimaksud
dengan perikatan untuk berbuat sesuatu adalah melakukan perbuatan yang sifatnya
positif, halal, tidak melanggar undang-undang dan sesuai dengan perjanjian.
Sedangkan perikatan untuk tidak berbuat sesuatu yaitu untuk tidak melakukan
perbuatan tertentu yang telah disepakati dalam perjanjian.
Dalam perikatan terdapat beberapa pokok bahasan
diantaranya: Ketentuan Umum Perikatan, Prestasi dan Wanprestasi, Jenis-Jenis
Perikatan, Perbuatan Melawan Hukum, Perwakilan Sukarela, Pembayaran Tanpa Utang
dan Hapusnya Perikatan.
B. Rumusan Masalah
Dari
latar belakang di atas dapat dirumuskan beberapa rumusan masalah yang menjadi
dasar pembahasan materi kami, diantaranya :
1. Apa
yang dimaksud dengan ketentuan umum dalam perikatan ?
2. Apa
saja jenis-jenis dari perikatan itu ?
3. Bagaimana
cara menghapuskan perikatan ?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk
mengetahui apa yang dimaksud dengan perikatan,
2. Untuk
mengetahui lebih lanjut mengenai jenis-jenis perikatan,
3. Untuk
mengetahui bagaimana cara untuk menghapuskan perikatan.
D. Manfaat Penulisan
1. Sebagai
tambahan pengetahuan bagi penulis maupun pembaca,
2. Membuka
wawasan tentang perikatan dan bagian-bagian yang lainnya termasuk jenis-jenis
maupun cara penghapusannya,
3. Memberikan
fakta dan gambaran yang relevan mengenai hukum perikatan.
E. Sistematika Penulisan
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
B. Rumusan
Masalah
C. Tujuan
Penulisan
D. Manfaat
Penulisan
E.
Sistematika Penulisan
BAB II KAJIAN TEORI
A.
Ketentuan Umum
Perikatan
B.
Prestasi dan
Wanprestasi
C.
Jenis-Jenis Perikatan
D.
Perbuatan Melawan Hukum
E.
Perwakilan Sukarela
F.
Pembayaran Tanpa Utang
G.
Hapusnya Perikatan
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan
B.
Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB II
ISI
A. PERIKATAN
1.
Ketentuan
Umum Perikatan
Perikatan adalah
terjemahan dari istilah dalam bahasa Belanda verbintenis. Perikatan artinya hal yang mengikat antara orang yang
satu dan orang yang lain. Hal yang mengikat itu adalah peristiwa hukum yang
dapat berupa :
a.
Perbuatan, misalnya
jual beli, utang-piutang, hibah.
b. Kejadian,
misalnya kelahiran, kematian,
c.
Keadaan, misalnya rumah
susun
Peristiwa hukum tersebut
menciptakan hubungan hukum antara pihak yang satu dengan pihak lainnya. Dalam
hubungan tersebut, setiap pihak memiliki hak dan kewajiban timbal balik. Pihak
yang satu mempunyai hak untuk menuntut sesuatu terhadap pihak lainnya dan pihak
lain itu wajib memenuhi tuntutan itu, juga sebaliknya. Dalam hubungan
utang-piutang, pihak berutang disebut debitor, sedangkan pihak yang memberi
utang disebut kreditor. Dalam hubungan jual-beli, pihak pembeli berposisi sebagai
debitor, sedangkan pihak penjual sebagai kreditor. Dalam perjanjian hibah,
pihak pemberi hibah berposisi sebagai debitor, sedangkan pihak penerima hibah
sebagai kreditor.
2.
Pengaturan Perikatan
Perikatan diatur dalam Buku KUH
Perdata. Perikatan adalah hubungan hukum yang terjadi karena perjanjian dan
Undang-Undang. Aturan mengenai perikatan meliputi bagian umum dan bagian
khusus. Bagian umum meliputi aturan yang tercantum dalam Bab I, Bab II, Bab III
(Pasal 1352 dan 1353), dan Bab IV KUH Perdata yang belaku bagi perikatan umum.
Adapun bagian khusus meliputi Bab III (kecuali Pasal 1352 dan 1353) dan Bab V
sampai dengan Bab XVIII KUH Perdata yang berlaku bagi perjanjian-perjanjian
tertentu saja, yang sudah ditentukan namanya dalam bab-bab bersangkutan.
Pengaturan nama didasarkan pada “sistem terbuka”,
maksudnya setiap orang boleh mengadakan perikatan apa saja, baik yang sudah
ditentukan namanya maupun yang belum ditentukan namanya dalam Undang-Undang.
Sistem terbuka dibatasi oleh tiga hal, yaitu :
a. Tidak
dilarang Undang-Undang
b. Tidak
bertentangan dengan ketertiban umum
c. Tidak
bertentangan dengan kesusilaan
Sesuai dengan penggunaan sistem
terbuka, maka pasal 1233 KUH Perdata menetukan bahwa perikatan dapat terjadi,
baik karena perjanijian maupun karena Undang-Undang. Dengan kata lain, sumber
peikatan adalah Undang-Undang dan perikatan. Dalam pasal 1352 KUH Perdata,
perikatan yang terjadi karena Undang-Undang dirinci menjadi dua, yaitu
perikatan yang terjadi semata-mata karena ditentukan dalam Undang-Undang dan
perikatan yang terjadi karena perbuatana orang. Perikatan yang terjadi karena
perbuatan orang, dalam pasal 1353 KUH Perdata dirinci lagi menjadi perbuatan
menurut hukum (rechmatig daad) dan
perbuatan melawan hukum (onrechtmatige
daad).
3. Unsur-Unsur Perikatan
a. Subjek
perikatan
Subjek perikatan disebut juga pelaku
perikatan. Perikatan yang dimaksud meliputi perikatan yang terjadi karena
perjanjian dan karena ketentuan Undang-Undang. Pelaku perikatan terdiri atas
manusia pribadi dan dapat juga badan hukum atau persekutuan. Setiap pelaku
perikatan yang mengadakan perikatan harus:
1) Ada
kebebasan menyatakan kehendaknya sendiri
2) Tidak
ada paksaan dari pihak manapun
3) Tidak
ada penipuan dari salah satu pihak, dan
4) Tidak
ada kekhilafan pihak-pihak yang bersangkutan
b. Wenang
berbuat
Setiap pihak dalam dalam perikatan
harus wenang berbuat menurut hukum dalam mencapai persetujuan kehendak (ijab
kabul). Persetujuan kehendak adalah pernyataan saling memberi dan menerima
secara riil dalam bentuk tindakan nyata, pihak yang satu menyatakan memberi
sesuatau kepada yang dan menerima seseuatu dari pihak lain. Dengan kata lain,
persetujuan kehendak (ijab kabul) adalah pernyataan saling memberi dan menerima
secara riil yang mengikat kedua pihak. Setiap hak dalam perikatan harus
memenuhi syarat-syarat wenang berbuat menurut hukum yang ditentukan oleh
undang-undang sebagai berikut:
1) Sudah
dewasa, artinya sudah berumur 21 tahun penuh
2) Walaupun
belum dewasa, tetapi sudah pernah menikah
3) Dalam
keadaan sehat akal (tidak gila)
4) Tidak
berada dibawah pengampuan
5) Memiliki
surat kuasa jika mewakili pihak lain
Perstujuan pihak merupakan
perjanjian yang dilakukan oleh dua pihak untuk saling memenuhi kewajiban dan
saling memperoleh hak dalam setiap perikatan. Persetujuan kehendak juga
menetukan saat kedua pihak mengakhiri perikatan karena tujuan pihak sudah
tercapai. Oleh sebab itu, dapat dinyatakan bahwa perikatan menurut sistem hukum
prdata, baru dalam taraf menimbulkan kewajiban dan hak pihak-pihak, sedangkan
persetujuan kehendak adalah pelaksanaan atau realisasi kewajiban dan
pihak-pihak sehingga kedua belah pihak memperoleh hak masing-masing.
Bagaimana jika
halnya salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya sehingga pihak lainnya
tidak memperoleh hak dalam perikatan ? dalam hal ini dapat dikatakan bahwa
pihak yang tidak memenuhi kewajibannya itu telah melakukan wanprestasi yang
merugikan pihak lain. Dengan kata lain, perjanjian tersebut dilanggar oleh
salah satu pihak.
c. Objek
perikatan
Objek perikatan dalam hukum perdata
selalu berupa benda. Benda adalah setiap barang dan hak halal yang dapat
dimiliki dan dinikmati orang. Dapat dimilik dan dinikmati orang maksudnya
memberi manfaat atau mendatangkan keuntungan secara halal bagi orang yang
memilikinya.
Benda objek perikatan dapat berupa
benda bergerak dan benda tidak bergerak. Benda bergerak adalah benda yang dapat
diangkat dan dipindahkan, seperti motor, mobil, hewan ternak. Sedangkan benda
tidak bergerak adalah benda yang tidak dapat dipindahkan dan diangkat, seperti
rumah, gedung. Apabila benda dijadikan objek perikatan, benda tersebut harus
memenuhi syarat seperti yang ditetapkan oleh undang-undang. Syarat-syarat
tersebut adalah :
1)
Benda dalam perdagangan
2)
Benda tertentu atau tidak dapat ditentukan
3)
Benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud
4)
Benda tersebut tidak dilarang oleh Undang-Undang atau benda halal
5)
Benda tersebut ada pemiliknya dan dalam pengawasan pemiliknya
6)
Benda tersebut dapat diserahkan oleh pemiliknya
7)
Benda itu dalam penguasaan pihak lain berdasar alas hak sah
d.
Tujuan perikatan
Tujuan pihak-pihak mengadakan perikatan adalah
terpenuhinya prestasi bagi kedua belah pihak. Prestasi yang dimaksud harus
halal, artinya tidak dilarang Undang-Undang, tidak bertentangan dengan
ketertiban umum, dan tidak bertentangan dengan kesusilaan masyarakat. Prestasi
tersebut dapat berbentuk kewajiban memberikan sesuatu, kewajiban melakukan
sesuatu (jasa), atau kewajiban tidak melakukan sesuatu (Pasal 1234 KUH
Perdata).
4. Ketentuan Umum dan Khusus
Dalam penerapannya, ketentuan umum dalam Bab I-IV Buku III KUH
Perdata diberlakukan untuk semua perikatan, baik yang sudah diatur dalam Bab
III (kecuali Pasal 1352 dan 1353) dan Bab V-XVIII maupun yang diatur dalam
KUHD. Menurut ketentuan Pasal 1319 KUH Perdata bahwa: “semua perjanjian yang
mempunyai nama tertentu maupun yang tidak mempunyai nama tertentu, tunduk pada
ketentuan umum yang dimuat dalam bab ini dan bab yang lalu”. Yang dimaksud
dengan “bab ini dan bab yang lalu” dalam pasal ini adalah bab Bab II tentang
perikatan yang timbul dari pejanjian dan Bab I tentang perikatan pada umumnya.
Penerapan
ketentuan umum terhadap hal-hal yang diatur secara khusus, dalam ilmu hukum
dikenal dengan adagium iex specialis
deroget legi generali. Artinya, ketentuan hukum khusus yang dimenangkan
dari ketentuan hukum umum. Maknanya jika mengenai suatu hal sudah diatur secara
khusus, ketentuan umum yang mengatur hal yang sama tidak perlu diberlakukan
lagi. Jika suatu hal belum diatur secara khusus, ketentuan umum yang mengatur
hal yang sama diberlakukan.
B. PRESTASI DAN WANPRESTASI
1. Prestasi
Prestasi adalah sesuatu yang wajib dipenuhi oleh debitor
dalam setiap perikatan. Prestasi adalah objek perikatan. Dalam hukum perdata
kewajiban memenuhi prestasi selalu disertai jaminan harta kekayaan debitor.
Dalam Pasal 1131 dan 1132 KUHPdt dinyatakan bahwa harta kekayaan debitor, baik
yang bergerak maupun tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang akan ada,
menjadi jaminan pemenuhan utangnya terhadap kreditor. Namun, jaminan umum ini
dapat dibatasi dengan jaminan khusus berupa benda tertentu yang ditetapkan
dalam perjanjian antara pihak-pihak.
Menurut ketentuan Pasal 1234 KUHPdt, selalu ada tiga
kemungkinan wujud prestasi, yaitu:
a.
Memberikan sesuatu,
misalnya, menyerahkan benda, membayar harga benda, dan memberikan hibah penelitian.
b. Melakukan
sesuatu, misalnya, membuatkan pagar pekarangan rumah, mengangkut barang
tertentu, dan menyimpan rahasia perusahaan.
c.
Tidak melakukan
sesuatu, misalnya, tidak melakukan persaingan curang, tidak melakukan dumping,
dan tidak menggunakan merek orang lain.
Pasal 1235 ayat (1) KUHPdt menjelaskan pengertian
memberikan sesuatu, yaitu menyerahkan penguasaan nyata atas suatu benda dari
debitor kepada kreditor atau sebaliknya,
misalnya, dalam jual beli, sewa menyewa, perjanjian gadai, dan utang piutang.
Dalam perikatan yang objeknya “melakukan sesuatu”, debitor wajib melakukan
perbuatan tertentu yang telah ditetapkan dalam perikatan, misalnya, melakukan
perbuatan membongkar tembok, mengosongkan rumah, dan membangun gedung. Dalam
melakukan perbuatan tersebbut, debitor arus mematuhi semua ketentuan dalam
perikatan. Debitor bertanggung jawab atas perbuatannya yang tidak sesuai dengan
ketentuan perikatan. Dalam perikatan yang objeknya “tidak melakukan sesuatu”,
debitor tidak melakukan perbuatan yang telah disepakati dalam perikatan,
misalnya, tidak membuat tembok rumah yang tinggi sehingga menghalangi
pemandangan tetangganya. Apabila debitor melakukan pembuatan tembok yang
berlawanan dengan perikatan ini, dia bertanggung jawab karena melanggar
perjanjian dan harus membongkar tembok atau membayar ganti kerugian kepada
tetangganya.
Sebagian besar perikatan yang dialami dalam
masyarakat terjadi karena perjanjian. Karena itu, Undang-Undang mengatur bahwa
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi
pihak-pihak yang membuatnya (Pasal 1338 ayat (1) KUHPdt). Artinya, jika salah
satu pihak tidak bersedia memenuhi prestasinya, kewajiban berprestasi itu dapat
dipaksakan.
Jika pihak yang satu tidak memenuhi prestasinya,
pihak yang lainnya berhak mengajukan gugatan ke muka pengadilan dan pengadilan
akan memaksakan pemenuhan prestasi tersebut dengan menyita dan melelang harta
kekayaannya sejumlah yang wajib dipenuhinya kepada pihak lain. Perjanjian yang
diakui dan diberi akibat hukum itu adalah perjanjian yang tidak dilarang
Undang-Undang serta tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan
masyarakat. Karena itu, ada tiga sumber perikatan, yaitu perjanjian,
Undang-Undang, serta ketertiban umum dan kesusilaan.
2. Sifat Prestasi
Sifat-sifat prestasi yang perlu
diketahui oleh debitor adalah:
a.
Prestasi harus sudah
tertentu atau dapat ditentukan. Sifat ini memungkinkan debitor memenuhi
perikatan. Jika prestasi itu tidak tertentu atau tidak dapat ditentukan,
mengakibatkan perikatan itu batal (nietig).
b.
Prestasi itu harus
mungkin. Artinya, prestasi itu dapat dipenuhi oleh debitor secara wajar dengan
segala upayanya. Jika tidak demikian, perikatan itu dapat dibatalkan (vernietigbaar)
c.
Prestasi itu harus
dibolehkan (halal). Artinya, tidak dilarang oleh Undang-Undang, tidak
bertentangan dengan ketertiban umum, dan tidak bertentangan dengan kesusilaan
masyarakat. Jika prestasi tidak halal, perikatan itu batal (nietig)
d.
Prestasi itu harus ada
manfaat bagi kreditor. Artinya, kreditor dapat menggunakan, menikmati, dan
mengambil hasilnya. Jika tidak demikian, perikatan itu dapat dibatalkan (vernietigbaar)
e.
Prestasi itu terdiri
atas satu perbuatan atau serentetan perbuatan. Jika prestasi berupa satu kali
perbuatan dilakukan lebih dari satu kali, dapat mengakibatkan pembatalan
perikatan (vernietigbaar). Satu kali
perbuatan itu maksudnya pemenuhan mengakhiri perikatan, sedangkan lebih dari
satu kali perbuatan maksudnya pemenuhan yang terakhir mengakhiri perikatan.
3.
Wanprestasi
Wanprestasi artinya tidak memenuhi
kewajiban yang telah disepakati dalam perikatan. Tidak dipenuhinya kewajiban
oleh debitor karena dua kemungkinan alasan, yaitu:
a.
Karena kesalahan
debitor, baik karena kesengajaan maupun kelalaian dan
b.
Karena keadaan memaksa
(force majeure, diluar kemampuan
debitor.Jadi, debitor tidak bersalah.
Untuk
menentukan apakah seorang debitor bersalah melakukan wanprestasi, perlu
ditentukan dalam keadaan bagaimana debitor diakatakan sengaja atau lalai tidak
memenuhi prestasi. Dalam hal ini, ada tiga keadaan, yaitu:
a.
Debitor tidak memnuhi
prestasi sama sekali;
b.
Debitor memenuhi
prestasi, tetapi tidak baika atau keliru; dan
c.
Debitor memenuhi
prestasi, tetapi tidak tepat waktunya atau terlambat.
Untuk mengetahui sejak kapan
debitor dalam keadaan wanprestasi, perlu diperhatikan apakah dalam perikatan
itu ditentukan jangka waktu pelaksanaan pemenuhan prestasi atau tidak? Dalam
hal tenggang waktu pelaksanaan pemenuhan prestasi tidak ditentukan, perlu
memperingatkan debitor supaya dia memenuhi prestasi. Dalam hal telah ditentukan
tenggang waktunya, menurut ketentuan Pasal 1238 KUHPdt debitor dianggap lalai
dengan lewatnya tenggang waktu yang telah ditetapkan dalam perikatan.
Bagaimana cara memperingatkan debitor
supaya dia memenuhi prestasinya? Debitor perlu diberi peringatan tertulis, yang
isinya menyatakan bahwa debitor wajib memenuhi prestasi dalam waktu yang
ditentukan. Jika dalam waktu itu debitor tidak memenuhinya, debitor dinyatakan
telah lalai atau wanprestasi.
Peringatan tertulis dapat dilakukan secara resmi dan
dapat juga secara tidak resmi. Peringatan tertulis secara resmi dilakukan melalui
pengadilan negeri yang berwenang, yang disebut sommatie. Kemudian, pengadilan negeri dengan perantaraan juru sita
menyampaikan surat peringatan tersebut kepada debitor yang disertai berita
acara penyampaiannya. Peringatan tertulis tidak resmi, misalnya, melalui surat
tercatat, telegram, faksimile, atau disampaikan senidri oleh kreditor kepada
debitor dengan tanda terima. Surat peringatan ini disebut ingebreke stelling.
Akibat hukum bagi debitor yang telah melakukan
wanprestasi adalah hukuman atau sanksi hukum berikut ini:
a. Debitor
diwajibkan membayar ganti kerugian yang diderita oleh kreditor (Pasal 1243
KUHPdt).
b. Apabila perikatan itutimbal balik, kreditor
dapat menuntut pemutusan atau pembatalan perikatan melalui pengadilan (Pasal
1266 KUHPdt)
c.
Perikatan untuk
memberikan sesuatu, risiko beralih kepada debitor sejak terjadi wanprestasi
(Pasal 1237 ayat (2) KUHPdt)
d.
Debitor diwajibkan
memenuhi perikatan jika masih dapat dilakukan atau pembatalan disertai
pembayaran ganti kerugian (Pasal 1267 KUHPdt)
e.
Debitor wajib membayar
biaya perkara jika diperkarakan di muka pengadilan negeri dan debitor
dinyatakan bersalah
4. Keadaan Memaksa
Keadaan memaksa (force
majeure) adalah keadaan tidak dipenuhinya prestasi oleh debitor karena
terjadi peristiwa yang tidak dapat diketahui atau tidak dapat diduga akan
terjadi ketika membuat perikatan. Dalam keadaan memaksa debitor tidak dapat
disalahkan karena keadaan ini timbul di luar kemauan dan kemampuan debitor.
Unsur-unsur keadaan memaksa adalah sebagai berikut:
a.
Tidak dipenuhi prestasi
karena terjadi peristiwa yang membinasakan atau memusnahkan benda objek
perikatan; atau
b.
Tidak dipenuhi prestasi
karena terjadi peristiwa yang menghalangi perbuatandebitor untuk berprestasi
c.
Peristiwa itu tidak
dapat diketahui atau diduga akan terjadi pada waktu membuat perikatan
Keadaan memaksa yang memenuhi unsur
(a) dan (c), maka keadaan memaksa itu disebut “keadaan memaksa objektif”.
Vollmar menyebutnya absolute overmacht. Dasarnya
adalah ketidakmungkinan (impossinillity)
memenuhi prestasi karena bendanya lenyap/musnah. Dalam hal keadaan memaksa yang
memenuhi unsure (b) dan (c) keadaan memaksa ini disebut “keadaan memaksa
subjektif”, Vollmar menyebutnya relative
overmacht. Dasarnya adalah kesulitan memenuhi prestasi karena ada peristiwa
yang menghalangi debitor untuk berbuat.
Perbedaan antara ”perikatan batal”
dan “perikatan gugur” terletak pada ada tidaknya objek perikatan dan objek
tersebut harus mungkin dipenuhi. Pada perikatan batal, objek perikatan tidak
ada karena musnah sehingga tidak mungkin dipenuhi oleh debitor (sifat
prestasi). Pada perikatan gugur, objek perikatan ada sehingga mungkin dipenuhi
dengan segala macam upaya debitor, tetapi tidak mempunyai arti lagi bagi
kreditor. Jika prestasi betul-betul dipenuhi oleh debitor, tetapi kreditor
tidak menerima (menolak) karena tidak ada manfaatnya lagi, perikatan dapat
dibatalkan (vernietigbaar). Persamaannya
adalah pada perikatan batal dan perikatan gugur keduanya itu tidak mencapai
tujuan.
Pembentuk Undang-Undang tidak
mengatur keadaan memaksa secara umum dalam KUHPdt. Akan tetapi, secara khusus
diatur untuk perjanjian-perjanjian tertentu saja, misalnya pada:
a.
Perjanjian hibah (Pasal 1237 KUHPdt);
b.
Perjanjian jual beli
(Pasal 1460 KUHPdt);
c.
Perjanjian
tukar-menukar (Pasal 1545 KUHPdt); dan
d.
Perjanjian sewa-menyewa (Pasal 1553 KUHPdt).
Oleh karena itu pihak-pihak bebas
memperjanjikan tanggung jawab itu dalam perjanjian yang mereka buat apabila terjadi
keadaan memaksa. Risiko keadaan memaksa pada perjanjian hibah ditanggung oleh
kreditor (Pasal 1237 KUHPdt). Risiko keadaan memaksa pada perjanjian jual beli
ditanggung oleh kedua belah pihak, penjual dan pembeli, (surat edaran Mahkamah
Agung Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1963 mengenai Pasal 1460 KUHPdt). Risiko
keadaan memaksa pada perjanjian tukar menukar ditanggung oleh pemiliknya (Pasal
1545 KUHPdt).
Adapun risiko keadaan memaksa pada
perjanjian sewa menyewa ditanggung oleh pemilik benda (Pasal 1553 KUHPdt).
Menurut Pasal1243 KUHPdt, ganti kerugian karena tidak dipenuhinya suatu
perikatan, baru diwajibkan jika debitor setelah dinyatakan lalai memenuhi
perikatannya, tetap melalaikannya; atau seseuatu yang harus diberikan atau
dikerjakannyam, hanya dapat diberikan atau dikerjakan dalam tenggang waktu yang
telah dilewatinya.
Yang dimaksud dengan “kerugian” dalam pasal diatas
adalah kerugian yang timbul karena debitor melakukan wanpresatsi (lalai
memenuhi perikatan). Kerugian tersebut wajib diganti oleh debitor terhitung
sejak dia dinyatakan lalai. Ganti kerugian itu terdiri atas tiga unsure, yaitu:
a.
Ongkos atau biaya yang telah dikeluarkan,
misalnya ongkos cetak, biaya materai, dan biaya iklan
b.
Kerugian sesungguhnya
karen kerusakan, kehilangan benda milik kreditor akibat kelalaian debitor,
misalnya, busuknya buah-buahan Karen terlambat melakukan penyerahan
c.
Bunga atau keuntungan yang diharapkan,
misalnya bunga yang berjalan selama piutang terlambat dilunasi
5. Ganti Kerugian
Ganti kerugian hanya berupa uang bukan barang,
kecuali jika diperjanjikan lain. Untuk melindungi debitor dari tuntutan
sewenang-wenang dari pihak kreditor, Undang-Undang memberikan pembatasan
terhadap ganti kerugian yang wajib dibayar oleh debitor sebagai akibat dari
kelalainnya (wanprestasi). Kerugian yang harus diabayar oleh debitor hanya
meliputi:
a.
Kerugian yang dapat
diduga ketika membuat perikatan
b.
Kerugian sebagai akibat
langsung dari wanprestasi (kelalaian) debitor
c.
Bunga dalam hal terlambat
membayar sejumlah utang.
C. JENIS-JENIS
PERIKATAN
1. Perikatan Bersyarat
Perikatan bersyarat (voorwaardelijk verbintenis) adalah perikatan yang digantungkan pada syarat. Syarat itu adalah suatu
peristiwa yang masih akan terjadi dan belum pasti terjadi, baik dalam
menangguhkan pelaksanaan perikatan hingga terjadi peristiwa maupun dengan
membatalkan perikatan karena terjadi atau tidak terjadi peristiwa (Pasal 1253
KUHP dt). Perikatan bersyarat di bagi tiga yaitu :
a.
Perikatan dengan syarat
tangguh
Apabila syarat peristiwa itu terjadi, maka perikatan
di laksanakan (Pasal 1263 KUHP dt). Misalnya
Oki setuju apabila Ramdan adiknya mendiami pavilium rumahnya setelah
menikah. Nah, nikah adalah peristiwa yang masih akan terjadi dan belum pasti
terjadi. Sifatnya menangguhkan pelaksanaan perikatan. Jika ramdan menikah, maka
Oki wajib menyerahkan pavilium rumahnya untuk didiami oleh Ramdan.
b.
Perikatan dengan syarat
batal
Disini justru perikatan
yang sudah ada akan berakhir apabila peristiwa yang dimaksudkan itu terjadi
(Pasal 1265 KUHP dt). Misalnya, Arlita setuju apabila Regi kakaknya mendiami
rumah Arlita selama dia tugas di
Perancis dengan syarat bahwa Regi harus mengosongkan rumah tersebut apabila
Arlita selesai studi dan kembali ke tanah air. Di sini syarat “ selesai dan kembali ke tanah air ” masih
akan terjadi dan belom pasti terjadi. Akan tetapi, jika syarat tersebut
terjadim perikatan akan berakhir dalam arti batal.
c. Perikatan dengan ketetapan waktu
Syarat ketetapan waktu adalah pelaksaan perikatan
itu digantungkan pada waktu yang di tetapkan. Misalnya Anis berjanji kepada
Yesi bahwa ia akan membayar utangnya dengan hasil panen sawahnya yang sedang
menguning pada tanggal 1 agustus 2014. Dalam hal ini hasil panen yang sedang
menguning sudah pasti karena dalam waktu dekat, Anis akan panen sawah sehingga
pembayaran utang pada tanggal 1 agustus 2014 sudah dipastikan.
2. Perikatan Manasuka (
Boleh Pilih)
Pada perikatan manasuka, objek
prestasi ada dua macam benda. Dikatakan perikatan mansuka karena, debitor boleh
memenuhi prestasi dengan memilih salah satu dari dua benda yang dijadikan objek
perikatan. Namun, debitor tidak dapat memaksa kreditor untuk menerima sebagian
benda yang satu dan benda sebagian benda yang lainnya. Jika debitor telah
memenuhi salah satu dari dua benda yang ditentukan dalam perikatan, dia
dibebaskan dan perikatan berakhir. Hak memilih prestasi itu ada pada debitor
jika hak ini tidak secara tegas diberikan kepada kreditor (Pasal 1272 dan 1273
KUHP dt).
Misalnya, Rima memesan barang
elektronik berupa radio tape recorder
atau stereo tape recorder di sebuah
toko barang elektronik dengan harga yang sama, yakni Rp 2.500.000,00. Dalam hal
ini, pedagang tersebut dapat memilih yaitu menyerahkan radio tape recorder atau stereo
tape recorder. Akan tetapi, jika diperjanjikan bahwa Rima (Pemesan) yang menentukan pilihan, pedagang
memberitahukan kepada Rima bahwa barang pesanan sudah tiba, silahkan memilih
salah satu dari benda objek perikatan tersebut. Jika Rima telah memilih dan
menerima satu dari dua benda itu, peerikatan berakhir.
3. Perikatan
Fakultatif
Perikatan Fakultatif yaitu
perikatan dimana debitor wajib memenuhi suatu prestasi tertentu atau prestasi
lain yang tertentu pula. Dalam perikatan ini hanya ada satu objek. Apabila
debitor tidak memenuhi prestasi itu, dia dapat mengganti prestasi lain.
Misalnya, Agung berjanji kepada Rian untuk meminjamkan mobilnya guna
melaksanakan penelitian. Jika Agung tidak meminjamkan Karena rusak, dia dapat
mengganti dengan sejumlah uang transport untuk melaksanakan penelitiannya.
4. Perikatan
Tanggung-Menanggung
Pada perikatan tanggung-menanggung
dapat terjadi seorang debitor berhadapan dengan beberapa orang kreditor atau
seorang kreditor berhadapan dengan beberapa orang debitor. Apabila kredior
terdiri atas beberapa orang, ini disebut tanggung-menanggung aktif. Dalam hal
ini, setiap kreditor, berhak atas pemenuhan prestasi seluruh hutang. Jika
prestasi tersebut sudah dipenuhi, debitor dibebaskan dari utangnya dan
perikatan hapus (Pasal 1278 KUHP dt).
Jika pihak debitor terdiri atas
beberapa orang, ini disebut tanggung menanggung pasif, setiap debitor wajib
memenuhi prestasi seluruh utang dan dan jika sudah dipenuhi oleh seorang
debitor saja, membebaskan debitor –debitor lain dari tuntutan kreditor dan
perikatannya hapus (Pasal 1280 KUHP dt)
Berdasarkan
observasi, perikatan yang banyak terjadi dalam praktiknya adalah perikatan
tanggung-menanggung pasif yaitu :
a.
Wasiat
Apabila
pewaris memberikan tugas untuk melaksanakan hibah wasiat kepada ahli warisnya
secara tanggung-menanggung.
b.
Ketentuan Undang-Undang
Dalam
hal ini undang-undang menetapkan secara tegas perikatan tanggung menanggung
dalam perjanjian khusus.
Perikatan tanggung menanggung secara tegas diatur
dengan perjanjian khusus, yaitu sebagai berikut ;
a.
Persekutuan firma
(Pasal 18 KUHD)
Setiap
sekutu bertanggung jawab secara tanggung-menanggung untuk seluruhnya atas semua
perikatan.
b.
Peminjaman benda (Pasal
1749 KUHPdt)
Jika
bebereapa orang bersama-sama menerima benda karena peminjaman, meka
masing-masing untuk seluruhnya bertanggung jawab terhadap orang yang memberikan
pinjaman benda itu.
c.
Pemberian kuasa (Pasal
1181 KUHPdt)
Seorang
penerima kuasa diangkat oleh beberapa orang untuk mewakili dalam suatu urusan
yang menjadi urusan mereka bersama. Mereka bertanggung jawab untuk seleruhnya
terhadap penerima kuasa mengenai segala akibat pemberian kekuasaan.
d.
Jaminan orang (borgtoch,pasal 1836 KUHPdt)
Jika
beberapa orang telah mengikatkan diri sebagai penjamin sebagai seorang debitor
yang sama untuk utang yang sama, mereka itu untuik masing-masing terikat untuk
seluruh utang.
5. Perikatan Dapat
Dibagi Dan Tidak Dapat Dibagi
Suatu perikatan dikatakan dapat
dibagi atau tidak dapat dibagi jika benda yang menjadi objek perikatan dapat
atau tidak dapat dibagi menurut imbangan, lagi pula pembagian itu tidak boleh
mengurangi hakikat dari prestasi tersebut. Jadi, sifat dapat atau tidak dapat
dibagi itu berdasarkan pada :
a.
Sifat benda yang
menjadi objek perikatan.
b.
Maksud perikatannya,
apakah itu dapat atau tidak dapat dibagi.
Perikatan dapat atau tidak dapat
dibagi bisa terjadi jika salah satu pihak meninggal dunia sehingga akan timbul
maslah apakah pemenuhan prestasi dapat dibagi atau tidak antara para ahli waris
almahrum itu. Hal tersebut bergantung pada benda yang menjadi objek perikatan
yang penyerahannya atau pelaksanaannya dapat dibagi atau tidak, baik secara
nyata maupun secara perhitungan ( Pasal 1296 KUHPdt).
Akibat hukum perikatan dapat atau tidak dapat dibagi
adalah bahwa perikatan yang tidak dapat dibagi, setiap kreditor berhak menuntut
seluruh prestasi kepada setiap debitor
dan setiap debitor wajib memenuhi prestasi tersebut seluruhnya. Dengan
dipenuhinya prestasi oleh seorang debitor , membebaskan debitor lainnya dan
perikatan menjadi hapus. Pada perikatan yang dapat dibagi, setiap kreditor
hanya dapat menuntut suatu bagian prestasi menurut perimbangannya, sedangkan
setiap debitor hanya wajib memenuhi prestasi untuk bagiananya saja menurut
perimbangan.
6. Perikatan dengan Ancaman
Hukuman
Perikatan ini memuat suatu ancaman
hukuman terhadap debitor apabila dia lalai memenihi prestasinya. Ancaman
hukuman ini bermaksut untuk memberikan suatu kepastian atas pelaksanaan isi
perikatan, seperti yang telah ditetapkan dalam perjanjian yang dibuat oleh
pihak-pihak. Disamping itu, juga sebagai upaya untuk menetapkan jumlah ganti
keruguan jika memang terjadi wanprestasi. Hukuman itu merupakan pendorong
debitor untuk memenuhi kewajiban berprestasi dan untuk membebaskan kreditor
dari pembuktian tentang besarnya ganti kerugian yang telah di deritanya.
Misalnya, dalam perjanjian dengan
ancaman hukuman, apabila seorang pemborong harus menyelesaikan pekerjaan
bangunan dalam waktu tiga puluh hari tidak menyelesaikan pekerjaannya, dia
dikenakan denda satu juta rupiah setiap hari terkampat itu. Dalam hal ini, jika
pemborong itu melalaikan kewajibannya, berarti dia wajib membayar denda satu
juta rupiah sebagai ganti kerugian untuk setiap hari terlambat.
7. Perikatan
Wajar
Undang-undang tidak menentukan apa
yang dimaksud dengan perikatan wajar (natuurlijke
verbintenis, natural obligation). Dalam undang-undang hanya dijumpai Pasal
1359 ayat (2) KUHPdt. Karena itu, tidak ada kesepakatan antara para penulis
hukum mengenai sifat dan akibat hukum dari perikatan wajar, kecuali mengenai
satu hal, yaitu sifat tidak ada gugatan hukum guna memaksa pemenuhannya. Kata
wajar adalah terjemaahan dari kata aslinya dalam bahasa Belanda “natuurlijk” oleh Prof. Koesoemadi
Poedjosewojo dalam kuliah hukum perdata pada
Fakultas Hukum Universitas Gadjah
Mada Yogyakarta.
Perikatan wajar
bersumber dari Undang-Undang dan kesusilaan seta kepatutan (Moral and equity). Bersumber pada
Undang-Undang, artinya keberadaan perikatan wajar karena ditentukasn oleh
Undang-Undang. Jika Undang-Undang tidak menentukan, tidak ada perikatan wajar.
Bersumber dari kesusilaan dan kepatutan, artinya keberadaan perikatan wajar
karena adanya belas kasihan, rasa kemanusiaan, dan kerelaaan hati yang
iklas dari pihak debitor. Hal ini sesuai
benar dengan sila kedua pancasila dan dasar Negara Republik Indonesia.
Ada contoh-contoh yang berasal dari ketentuan
undang-undang adalah seperti berikut ini :
a.
Pinjaman yang tidak
diminta bunganya
Jika
bunganya dibayar, tidak dapat dituntut pengembaliannya (Pasal 1766 KUHPdt)
b.
Perjudian dan
pertaruhan
Undang-Undang
tidak memberikan tuntutan hukum atas suatu utang yang terjadi karena perjudian
karena perjudian pertaruhan ( Pasal 1788 KUHPdt).
c.
Lampau waktu
Segala
tuntutan hukum, baik yang bersifat kebendaan maupun perorangan hapus karena
kadaluarsa (lampau waktu) dengan lewatnya tenggang waktu tiga puluh hari tahun.
d.
Kepailitan yang di atur
dalam undang-undang kepailitan.
D. PERBUATAN MELAWAN
HUKUM
1.
Konsep
Perbuatan Melawan Hukum
Untuk mengetahui konsep “perbuatan melawan hukum” (onrechtmatige daad), perlu dibaca Pasal
1365 KUHPdt yang sama rumusannya dengan pasal 1401 BW Belanda yang menentukan
sebagai berikut:
“Setiap
perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan kerugian pada orang lain, mewajibkan
orang yang karena kesalahannya menimbulkan kerugian itu, mengganti kerugian
tersebut.”
Berdasar pada rumusan pasal ini, dapat dipahami
bahwa suatu perbuatan dinyatakan melawan hukum apabila memenuhi empat unsur
berikut:
a.
Perbuatan itu harus
melawan hukum (onrechtmatig);
b.
Perbuatan itu harus
menimbulkan kerugian;
c.
Perbuatan itu harus
dilakukan dengan kesalahan; dan
d.
Antara perbuatan dan
kerugian yang timbul harus ada hubungan kausal.
Salah
satu saja dari unsur-unsur di atas ini tidak terpenuhi, perbuatan itu tidak
dapat digolongkan perbuatan melawan hukum.
a.
Perbuatan (daad)
Kata
“perbuatan” meliputi perbuatan positif dan perbuatan negative. Perbuatan
positif adalah perbuatan yang benar-benar dikerjakan diatur dalam Pasal 1365
KUHPdt atau Pasal 1401 BW Belanda. Perbuatan negatif adalah perbuatan yang
benar-benar tidak dikerjakan, diatur dalam Pasal 1366 KUHPdt. Oleh karena itu,
perbuatan positif dikerjakan oleh orang yang benar-benar berbuat, sedangkan
perbuatan negatif tidak dikerjakan saama sekali oleh orang yang bersangkutan.
Pelanggaran perbuatan dalam dua pasal tersebut
mempunyai akibat hukum sama, yaitu mengganti kerugian.
Rumusan
perbuatan positif dalam Pasal 1365 KUHPdt dan perbuatan negatif dalam Pasal
1366 KUHPdt hanya digunakan sebelum ada Putusan Hoge Raad Nederlands 31 Januari 1919 karena pada waktu itu
pengertian “melawan hukum” hanya bagi perbuatan positif, dalam arti sempit.
Setelah keluar Putusan Hoge Raad 31
Januari 1919, pengertian “melawan hukum” diperluas, mencakup juga perbuatan
negatif, tidak berbuat.
Dengan
demikian, pengertian “perbuatan melawan hukum” Pasal 1365 KUHPdt diperluas
mencakup juga perbuatan negatif Pasal 1366 KUHPdt, yaitu berbuat atau tidak
berbuat. Jadi, perbuatan melawan hukum dalam Pasal 1365 KUHPdt adalah berbuat
atau tidak berbuat yang merugikan orang lain. Berbuat, contohnya merusak barang
milik orang lain. Tidak berbuat, contohnya tidak mengerjakan pekerjaan borongan
yang telah disanggupi. Kedua perbuatan tersebut menimbulkan akibat hukum sama,
yaitu merugikan orang lain. Contoh lain, membakar kebun tetangga atau
membiarkan bayi tidak diberi susu. Kedua perbuatan itu berakibat merugikan
orang lain.
b.
Melawan hukum
(onrechtmatig)
Sejak
tahun 1890 para penulis hukum telah menganut paham yang luas tentang pengertian
melawan hukum, sedangkan dunia peradilan (Mahkamah Agung) masih menganut paham
yang sempit. Hal itu dapat diketahui dari Putusan Hoge Raad Nederlands sebelum tahun1919, yang merumuskan:
“Perbuatan melawan hukum adalah suatu
perbuatan yang melanggar hak orang lain atau jika orang berbuat bertentangan
dengan kewajiban hukumnya sendiri.”
Dalam
rumusan ini, yang perlu dipertimbangkan hanya hak dan kewajiban hukum berdasar
pada undang-undang (wet). Jadi, perbuatan itu harus melanggar hak orang lain
atau bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri yang diberikan
undang-undang (wet). Dengan demikian, melanggar hukum (onrechtmatig) sama
dengan melanggar undang-undang (onwetmatig). Melalui tafsiran sempit ini banyak
kepentingan masyarakat dirugikan, tetapi tidak dapat menuntut apa-apa.
2.
Perbuatan
Melawan Hukum Terhadap Pribadi
Apabila perbuatan melawan hukum ditujukan kepada diri pribadi orang
lain, perbuatan melawan hukum dapat menimbulkan kerugian fisik ataupun kerugian
nama baik (martabat). Kerugian fisik, misalnya, luka, cedera, dan cacat tubuh.
Kerugian nama baik, misalnya, dijauhi teman dalam pergaulan, hilang kewibawaan
karena tidak dihormati orang lagi, atau putus hubungan baik karena difitnah
pihak lain.
Apabila seseorang mengalami luka atau cacat pada
salah satu anggota badan disebabkan oleh kesengajaan atau kelalaian orang lain,
undang-undang memberikan hak kepada korban untuk memperoleh penggantian
kerugian, biaya pengobatan, dan perawatan. Ganti kerugian itu dinilai menurut
kedudukan dan kemampuan serta keadaan kedua belah pihak. Ukuran ini pada
umumnya berlaku untuk menilai kerugian yang timbul dari suatu kekerasan atau
kejahatan terhadap diri pribadi seseorang, misalnya, ditabrak kendaraan
bermotor yang mengakibatkan luka parah atau cacat (Pasal 1371 KUHPdt).
Penghinaan adalah perbuatan yang bertentangan dengan
kesusilaan, yang dapat dimasukkan perbuatan melawan hukum pencemaran nama baik
seseorang. Oleh karena itu, dapat dituntut berdasar pada Pasal 1365 KUHPdt.
Penghinaan itu menimbulkan kerugian terhadap nama baik, martabat, harga diri,
dan kedudukan dalam masyarakat. Menurut ketentuan Pasal 1372 KUHPdt, gugatan
berdasar pada penghinaan bertujuan untuk memperoleh ganti kerugian serta
pemulihan nama baik. Dalam mempertimbangkan berat ringan ganti kerugian yang
dituntut, pengadilan harus mempertimbangkan
berat ringan penghinaan, kedudukan, jabatan, keadaan, dan kemampuan
pihak-pihak.
3. Implementasi Pasal
1365 KUHPdt
a.
Yurisprudensi Mahkamah
Agung RI
Mahkamah
Agung RI dalam putusan perkara perdata ternyata mengikuti juga konsep perbuatan
melawan hukum dalam arti luas. Perbuatan melawan norma kesusilaan dan kepatutan
yang hidup dalam masyarakat yang merugikan diri atau nama baik orang lain dapat
dituntut secara hukum berdasar pada Pasal 1365 KUHPdt. Hal ini dapat dikaji
melalui Putusan Kasasi Mahkamah Agung RI Nomor 3191K/Pdt/1984 tanggal 8
Februari 1986 antara Masudiati (penggugat) melawan I Gusti Lanang Rejeb (tergugat). Dalam
perkara tersebut, setelah penggugat dibawa lari oleh tergugat, tergugat telah
berjanji akan menikahi penggugat, baik menjadi istrinya secara adat maupun
secara agama dalam tenggang waktu empat bulan.
Ternyata,
walaupun penggugat telah mendesak pihak tergugat, tergugat tidak mau juga
menikahi penggugat hingga berlangsung sampai 1 tahun 4 bulan mereka hidup
bersama. Selama hidup bersama itu, penggugatlah yang menanggung biaya
penghidupan keluarga (tergugat, anak, dan orang tua tergugat). Karena tergugat
tidak memenuhi perjanjian untuk menikahi penggugat, penggugat merasa bahwa
perbuatan tergugat telah merugikan nama baik atau kehormatannya sehingga
penggugat menuntut ganti kerugian berdasar pada Pasal 1365 KUHPdt sejumlah uang
Rp5.000.000,00 sebagai pemulihan nama baik atau kehormatan penggugat.
Dalam
putusannya tanggal 1 Maret 1984 Nomor 073/PN-Mtr/Pdt.1983, Pengadilan Negeri
Mataram (Lombok), antara lain, telah memutuskan:
Mengabulkan
gugatan penggugat sebagian. Menyatakan tergugat bersalah melakukan perbuatan
melawan hukum karena tidak menepati janjinya untuk menikahi penggugat.
Menghukum tergugat untuk membayar ganti kerugian sebagai pemulihan nama baik
atau kehormatan penggugat sejumlah Rp2.500.000,00.
Karena
merasa tidak puas, tergugat mengajukan permohonan banding ke Pengadilan Tinggi
Mataram dengan permohonan agar membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Mataram
taggal 1 Maret 1984 Nomor 65/Pdt/1984/PT-Mtr, Pengadilan Tinggi Maratam, antara
lain, memutuskan:
Membatalkan
Putusan Pengadilan Negeri Mataram tanggal 1 Maret 1984 Nomor
073/PN-Mtr/Pdt/1983 dan dengan mengadili sendiri menolak gugatan terbanding
seluruhnya.
Karena
dalam putusan tingkat banding diperlakukan tidak adil, penggugat terbanding
mengajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung RI, antara lain, menyatakan
bahwa dari surat bukti yang diajukan pemohon kasasi sebagai petunjuk terbukti
bahwa termohon kasasi telah selalu menyebut pemohon kasasi sebagai istrinya
sehingga dapat disimpulkan bahwa termohon kasasi berkeinginan untuk
mengawininya.
Dengan
tidak dipenuhinya janji untuk mengawini pemohon kasasi, termohon kasasi telah
melanggar norma kesusilaan dan kepatutan yang hidup dalam masyarakat dan
perbuatan termohon kasasi itu adalah suatu perbuatan melawan hukum sehingga
menimbulkan kerugian terhadap nama baik atau kehormatan pemohon kasasi. Maka
termohon kasasi wajib memberi ganti kerugian seperti tertera dalam amar
putusan.
Dalam
putusannya tanggal 8 Februari 1986 Nomor 3191K/Pdt/1984 Mahkamah Agung RI,
antara lain, memutuskan:
Membatalkan
Putusan Pengadilan Tinggi Mataram tanggal 26 Juli 1984 Nomor 65/Pdt/1984/PT-Mtr
yang membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Mataram tanggal 1 Maret 1984 Nomor
073/PN-Mtr/Pdt/1983. Mengadili sendiri mengabulkan gugatan penggugat sebagian.
Menyatakan tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum. Menghukum tergugat
untuk membayar ganti kerugian sebagai pemulihan nama baik atau kehormatan
penggugat sejumlah Rp2.500.000,00.
Dalam
hubungannya dengan Yurisprudensi yang telah diuraikan di atas, Z. Asikin Kusumah Atmadja seorang hakim
agung pada waktu itu menyatakan bahwa untuk pertama kalinya hal tidak menepati
perjanjian untuk melakukan pernikahan diselesaikan menurut hukum perdata.
Sebelumnya selalu diselesaikan menurut hukum pidana yang selalu tidak
memberikan penyelesaian tuntas. Menurut doktrin, perbuatan melawan hukum
termasuk perikatan yang bersumber pada undang-undang. Namun, jenis lain adalah
perbuatan melwan hukum termasuk perikatan yang termasuk perikatan yang
bersumber pada perjanjian seperti pada kasus yang diuraikan di atas.
Oleh
karena itu, beliau menyatakan bahwa dalam memutus perkara yang berkaitan dengan
perjanjian untuk melangsungkan pernikahan, seyogianya diperhatikan apakah hal
tersebut harus dibuktikan secara jelas sudah ditentukan untuk menikah secara
resmi, misalnya, sudah ditentukan hari dan tanggal, jangka waktu pernikahan akan
dilangsungkan, atau dengan penyebutan dalam setiap peristiwa bahwa wanita yang
dibawanya itu adalah istrinya karena sudah hidup bersama.
Selanjutnya Z. Asikin Kusumah Atmadja menyatakan:
“Apabila
salah satu pihak tidak datang pada hari yang sudah ditentukan atau hingga
lampau tenggang waktu yang diperjanjikan tidak mau melangsungkan pernikahan,
dalam hal ini perbuatannya merupakan perbuatan melawan hukum.”
Dalam
kasus di atas, majelis hakim berpendapat, pihak wanita sesuai dengan
bukti-bukti yang cukup mempunyai alasan untuk mempercayai janji pernikahan dari
pihak pria meskipun lembaga hidup bersama belum diakui di Indonesia. Namun,
pada pihak lainnya hakim wajib menjaga agar pihak yang dinyatakan sebagai pihak
yang lemah (tidak selalu pihak wanita) dilindungi terhadap “keisengan” pihak
lainnya.
b.
Pelaku perbuatan melawan hukum
Kembali
kepada Pasal 1365 KUHPdt, setiap perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan
kerugian pada orang lain, mewajibkan orang yang karena kesalahannya menimbulkan
kerugian itu, mengganti kerugian tersebut. Siapa yang dimaksud dengan orang
yang bersalah menimbulkan kerugian dalam konteks Pasal 1365 KUHPdt itu? Orang
bersalah dimaksud adalah pelaku perbuatan melanggar hukum, tidak hanya
bertanggung jawab karena perbuatannya sendiri, tetapi juga bertanggung jawab
karena perbuatan orang lain yang berada dibawah kekuasaan atau tanggung
jawabnya, serta karena barang yang berada dibawah pengawasannya (Pasal 1367
KUHPdt).
Pelaku
perbuatan melawan hukum dapat berupa manusia pribadi ataupun badan hukum.
Ketentuan Pasal 1367 KUHPdt memberikan rincian orang yang mempunyai kekuasaan
atau tanggung jawab atas perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh orang
lain seperti diuraikan berikut ini:
a.
Orang tua atau wali
terhadap anak yang belum dewasa.
b.
Majikan terhadap orang
yang diangkat sebagai bawahannya.
c.
Guru terhadap murid
selama berada dibawah pengawasannya.
d.
kepala tukang selama
mereka dibawah pengawasannya.
Namun
mereka ini dianggap tidak bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan oleh
orang yang berada dibawah kekuasaan atau pengawasannya jika dapat membuktikan
bahwa mereka tidak mungkin dapat mencegah perbuatan demikian itu. Siapa yang
bertanggung jawab terhadap akibat perbuatan melawan hukum anak yang belum
dewasa? Menurut ketentuan Pasal 1367 jo. KUHPdt, orang tua atau wali anak yang
bersangkutan bertaggung jawab mengganti kerugian kepada pihak yang dirugikan.
4. Perbuatan Melawan
Hukum oleh Badan Hukum
Dilihat dari cara pembentukannya, badan hukum
dibedakan antara badan hukum perdata dan badan hukum publik. Badan hukum
perdata dibentuk berdasar pada hukum perdata, sedangkan pengesahannya dilakukan
oleh pemerintah, dalam hal ini adalah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Hal
yang disahkan itu adalah akta pendirian yang memuat anggaran dasar badan hukum.
Badan hukum perdata ini antara lain, perseroan terbatas, yayasan, dan koperasi.
Badan hukum publik adalah badan hukum yang dibentuk
oleh pemerintah berdasar pada hukum publik, yaitu undang-undang atau peraturan
pemerintah. Badan hukum publik merupakan badan kenegaraan, misalnya Negara
Republik Indonesia, Provinsi (Daerah Tingkat I), Kabupaten/Kota (Daerah Tingkat
II), Lembaga Tinggi Negara, Departemen Pemerintahan, dan Badan Usaha Milik
Negara. Badan hukum publik dibentuk berdasar pada peraturan perundang-undangan
untuk menyelenggarakan kepentingan umum, baik kenegaraan maupun kemasyarakatan.
Jika badan hukum publik melakukan perbuatan melawan hukum (onrechtmatige
overheidsdaad), dapat digugat berdasar pada Pasal 1365 KUHPdt.
Hal yang perlu diperhatikan adalah
bahwa badan hukum publik dalam menjalankan kekuasaannya mungkin merugikan orang
lain dengan alasan menjalankn undang-undang. Oleh karena itu, perlu dibedakan
antara kebijaksanaan dan pelanggaran undang-undang. Dalam hal ini pengadilan yang
akan menentukannya. Jika perbuatan yang dilakukan itu merupakan kebijaksanaan
penguasa (pemerintah), hal ini bukan lagi wewenang pengadilan perdata karena
sudah masuk ranah politik.
Dulu orang pernah menyangsikan
apakah badan hukum itu dapat melakukan perbuatan melawan hukum. Alasannya
karena badan hukum tidak dapat melakukan kesalahan dan tidak dapat
dipertanggungjawabkan seperti halnya manusia pribadi. Akan tetapi, badan hukum
bertindak dalam lalu lintas hukum dengan perantaraan orang-orang yang menjadi
alat perlengkapannya (orgaan). Alat perlengkapan (orgaan) terdiri atas manusia
pribadi. Masalahnya adalah bagaimana cara membedakan antara manusia pribadi
yang mewakili badan hukum dan manusia pribadi yang mewakili dirinya sendiri.
Bagaimana cara mempertanggungjawabkan badan hukum itu dalam lalu lintas hukum
jika dia melakukan perbuatan melawan hukum.
Untuk memecahkan masalah tersebut, terlebih dahulu
perlu dikemukakan berbagai teori mengenai badan hukum. Ada tiga macam teori
mengenai badan hukum, yaitu:
a.
Fictie
theorie (teori anggapan);
b.
Orgaan
theorie (teori perlengkapan);
c.
Yuridische
realiteits theorie (teori kenyataan
yuridis).
Ketiga macam teori tesebut akan dijelaskan satu per
satu berikut ini :
a.
Fictie
theorie (teori anggapan)
Menurut
teori fiksi yang dipelopori oleh von
Savigny, badan hukum itu dianggap sebagai badan pribadi yang bersifat
fiktif, terpisah dari manusia pribadi yang menjadi pengurusnya. Oleh karena
itu, perbuatan hukum yang dilakukan oleh pengurusnya tidak dapat dikatakan
sebagai perbuatan badan hukum, tetapi perbuatan orang lain yang
dipertanggungjawabkan kepada badan hukum itu.
Atas
dasar ini, badan hukum itu tidak berbuat secara langsung, tetapi melalui
perbuatan orang lain, yaitu pengurusnya. Pengurus tersebut adalah orang yang
bertindak atas kuasa dari badan hukum. Jadi, perbuatan pengurus
dipertanggungjawabkan kepada badan hukum. Segala perbuatan yang dilakukan oleh
pengurus, pengurus bertindak untuk dan atas nama badan hukum yang sifatnya
fiktif.
Berdasar
pada teori fiksi ini, badan hukum yang melakukan perbuatan melawan hukum dapat
digugat tidak berdasar pada Pasal 1365 KUHPdt, tetapi berdasar pada Pasal1367
KUHPdt. Jika mengikuti teori fiksi ini, orang dihadapkan pada keadaan yang
bertentangan dengan kenyataan. Kenyataan bahwa semua orang yang melakukan
perbuatan hukum dapat digugat melalui Pasal 1365 KUHPdt.
b.
Orgaan
theorie (teori perlengkapan)
Menurut
teori perlengkapan yang dipelopori von
Glerke, badan hukum itu sama dengan manusia pribadi, dapat melakukan
perbuatan hukum. Jika badan hukum melakukan perbuatan melawan hukum, badan
hukum itu dapat dipertanggungjawabkan. Bertindaknya badan hukum itu melalui
perlengkapan (orgaan). Oleh karena itu, badan hukum melalui perlengkapannya
secara langsung bertanggung jawab atas semua perbuatan hukum yang dilakukannya.
Berdasar
pada teori ini, badan hukum yang melakukan perbuatan melawan hukum dapat
digugat melalui Pasan 1365 KUHPdt. Akan tetapi, terhadap bawahan perlengkapan
badan hukum yang melakukan perbuatan melawan hukum, dapat dipertanggungjawabkan
melalui Pasal 1367 KUHPdt.
c.
Juridische
realiteit theorie (teori kenyataan
yuridis)
Menurut
teori relitas/kenyataan yuridis ini, badan hukum itu adalah kenyataan yuridis
yang dibentuk dan diakui sama seperti manusia pribadi. jadi, badan hukum itu
dapat dipertanggungjawabkan dalam setiap perbuatan hukum yang diatur dalam
undang-undang. Jika badan hukum melakukan perbuatan melawan hukum, dia dapat
digugat berdasar pada Pasal 1365 KUHPdt.
Badan
hukum bertanggung jawab secara langsung terhadap setiap perbuatan melawan hukum
yang dilakukannya. Setiap badan hukum memiliki organ badan hukum yang
bertindak atas nama dan untuk
kepentingan badan hukum sesuai dengan ketentuan undang-undang dan yang
dicantumkan dalam anggaran dasar pendirian badan hukum.
Jika
organ yang mewakili badan hukum itu sudah ditentukan dalam undang-undang dan
dituangkan dalam anggaran dasar badan hukum, ini namanya bukn lagi teori,
melainkan sudah merupakan aturan hukum yang bersifat memaksa. Jadi tidak
diikuti, berarti melanggar hukum (undang-undang). Jadi, tidak dapat disebut
teori yang berlaku secara umum tidak terikat dengan situasi dan kondisi
setempat. Ketentuan undang-undang (termasuk anggaran dasar) hanya berlaku pada
situasi dan kondisi tertentu dan terikat pada stu badan tertentu.
E. PERWAKILAN SUKARELA
1. Konsep Perwakilan
Sukarela
Menurut
ketentuan Pasal 1354 KUH Perdata, jika seseorang dengan sukarela tanpa mendapat
perintah untuk itu, mewakili urusan orang lain dengan atau tanpa pengetahuan
orang lain itu, secara diam-diam dia mengikatkan dirinya untuk meneruskan dan
menyelesaikan urusan tersebut, sampai orang yang diwakili kepentingannya itu
dapat mengerjakan sendiri urusannya.
Figur
hukum yang diatur dalam Pasal 1354 KUH Perdata ini disebut perwakilan sukarela
(zaakwaameming). Penyelenggaraan
urusan itu bersifat sukarela tanpa kuasa dari pihak berkepentingan. Urusan itu
dilakukan secara sukarela dengan tujuan agar memperoleh kemanfaatan bagi pihak
yang berkepentingan dan perbuatan tersebut diakui serta dibenarkan oleh
undang-undang. Oleh karena itu, ketentuan undang-undang tersebut menciptakan
perikatan. Jadi, yang meciptakan perikatan itu bukanlah perbuatan orang,
melainkan ketentuan undang-undang itu sendiri.
2. Unsur-unsur
perwakilan sukarela
Berdasarkan
ketentuan Pasal 1354 KUH Perdata terdapat beberapa unsur-unsur konsep
perwakilan sukarela, diantaranya:
a.
Sukarela
Perbuatan
yang dilakukan dengan sukarela yang artinya, kesadaran sendiri tanpa
mengharapkan suatu apapun sebagai imbalannya.
b.
Tanpa Kuasa
Perbuatan
yang dilakukan tanpa mendapatkan perintah (kuasa). Artinya, pihak wakil
sukarela itu bertindak atas inisiatif sendiri tanpa adanya pesan, perintah
ataupun kuasa dari pihak yang berkepentingan baik itu lisan ataupun secara
tertulis.
c.
Mewakili urusan orang
lain
Perbuatan
dilakukan mewakili urusan orang lain. Artinya pihak wakil sukarela bertindak
untuk kepentingan orang lain bukan kepentingan pribadinya. Urusan yang
diwakilinya dapat berupa perbuatan hukum atau yang lainnya.
d.
Dengan atau tanpa
pengetahuan
Perbuatan
dilakukan dengan atau tanpa pengetahuan orang itu. Artinya, orang yang
berkepentingan itu tidak mengetahui bahwa kepentingannya diurus oleh orang
lain.
e.
Meneruskan dan
menyelesaikan
Wakil
sukarela wajib meneruskan dan menyelesaikan urusan itu. Artinya, sekali wakil
sukarela mengurus urusan kepentingan orang lain, dia wajib meneruskan sampai
urusannya selesai sehingga orang yang diurus dapat menikmati manfaatnya atau
dapat mengurus sendiri segala sesuatu mengenai urusannya itu.
f.
Bertindak menurut hukum
Wakil
sukarela harus bertindak menurut hukum. Artinya, dalam mengurus kepentingan
orang lain itu harus dilakukan berdasar pada kewajiban undang-undang atau
bertindak tidak bertentangan dengan kehendak pihak yang berkepentingan itu.
2. Kewajiban dan Hak Wakil
Sukarela
Perikatan
itu bersumber dari Undang-Undang, maka kewajiban dan Hak Wakil Sukarela juga
ditetapkan dalam Undang-Undang. Kewajiban dan Hak tersebut adalah wakil
sukarela wajib mengerjakan segala sesuatu yang termasuk urusan yang diwakilinya
itu sampai selesai dengan memberikan pertanggungjawabannya. Wakil sukarela
mengurus kepentingan itu, menanggung segala beban biaya atau ongkos pengurusan
kepentingan tersebut. Wakil sukarela yang mengurus kepentingan itu berhak
memperoleh penggantian dari pihak yang berkepentingan atas segala pengeluaran
perikatannya yang dibuat secara pribadi yang bermanfaat bagi pihak yang
berkepentingan (Pasal 1357 KUH Perdata).
3. Kewajiban dan Hak Pihak
Berkepentingan
Pihak
berkepentingan wajib memenuhi perikatan yang dibuat oleh wakil sukarela atas
namanya, membayar ganti kerugian atau pengeluaran yang telah dipenuhi oleh
wakil sikarela (Pasal 1357 KUH Perdata). Pihak berkepentingan berhak atas
keringanan pembayaran penggantian atau pengeluaran yang disebabkan oleh
kesalahan/kelalaian wakil sukarela mengurus kepentingan berdasar pada
pertimbangan peengadilan (Pasal 1357 ayat (2) KUH Perdata). Pihak
berkepentingan berhak meminta pertanggungjawaban atas pengurusan kepentingan
itu.
Dalam
perikatan perwakilan tidak mengenal yang namanya upah, karena ini bersifaat sukarela.
Undang-undang menentukan bahwa wakil sukarela yang mengurus kepentingan orang
lain tanpa perintah, tidk berhak atas upah (Pasal 1358 KUH Perdata). Perikatan
wakil sukarela sesuai dengan falsafah dasar negara Indonesia Pancasila.
Perikatan jenis ini perlu dioper dalam hukum perdata nasional.
Ada
beberapa perbedaan antara perikatan pemberian kuasa (lastgeving) dengan
perikatan perwakilan sukarela (zaakwaarneming), yaitu sebagai berikut :
a.
Pada perwakilan
sukarela, perikatan terjadi karena undang-undang, sedangakan pada pemberian
kuasa, perikatan terjadi karena perjanjian.
b.
Pada perwakilan
sukarela, perikatan tidak berhenti jika pihak yang berkepentingan meninggal
dunia, sedangkan pada pemberian kuasa, perikatan berhenti jika pemberi kuasa
meninggal.
c.
Pada perwakilan
sukarela, tidak dikenal upah karena dilakukan dengan sukarela, sedangkan pada
pemberian kuasa, penerima kuasa berhak atas upah karena diperjanjikan.
F. PEMBAYARAN TAK TERUTANG (onverschulddigde betaling)
Seseorang yang membayar tanpa adanya utang, berhak menuntut kembali apa yang telah dibayarkan. Dan yang menerima tanpa hak berkewajiban untuk mengembalikan. Hal ini sejalan dengan apa yang ada dalam Pasal 1359 KUH Perdata bahwa setiap pembayaran yang ditujukan untuk melunasi suatu hutang tetapi ternyata tidak ada hutang, pembayaran yang telah dilakukan itu dapat dituntut kembali. Pembayaran yang dilakukan itu bukanlah bersifat sukarela namun karena merasa ada kewajiban yang harus dipenuhi yaitu utang. Kekeliruan bukanlah syarat untuk menuntut pengembalian pembayaran yang tidak terutang. Oleh karena itu seseorang yang dengan sadar membayar tanpa adanya utang berhak menuntut pengembalian. Jika seseorang karena kekhilafan mengira bahwa ia berutang dan telah membayar utang tersebut, dapat menuntut kembali apa yang ia telah bayarkan. Hak untuk menuntut kepada kreditur hilang, jika surat pengakuan utang telah dimusnahkan setelah terjadinya pembayaran. Sekalipun demikian orang yang telah membayar berhak untuk menuntut pengembaliannya dari orang yang sebenarnya berutang (Pasal 1361 KUH Perdata).
Seseorang yang membayar tanpa adanya utang, berhak menuntut kembali apa yang telah dibayarkan. Dan yang menerima tanpa hak berkewajiban untuk mengembalikan. Hal ini sejalan dengan apa yang ada dalam Pasal 1359 KUH Perdata bahwa setiap pembayaran yang ditujukan untuk melunasi suatu hutang tetapi ternyata tidak ada hutang, pembayaran yang telah dilakukan itu dapat dituntut kembali. Pembayaran yang dilakukan itu bukanlah bersifat sukarela namun karena merasa ada kewajiban yang harus dipenuhi yaitu utang. Kekeliruan bukanlah syarat untuk menuntut pengembalian pembayaran yang tidak terutang. Oleh karena itu seseorang yang dengan sadar membayar tanpa adanya utang berhak menuntut pengembalian. Jika seseorang karena kekhilafan mengira bahwa ia berutang dan telah membayar utang tersebut, dapat menuntut kembali apa yang ia telah bayarkan. Hak untuk menuntut kepada kreditur hilang, jika surat pengakuan utang telah dimusnahkan setelah terjadinya pembayaran. Sekalipun demikian orang yang telah membayar berhak untuk menuntut pengembaliannya dari orang yang sebenarnya berutang (Pasal 1361 KUH Perdata).
Menurut
Pasal 1362 KUH Perdata bahwa barang siapa dengan itikad
buruk menerima sesuatu pembayaran tanpa hak harus
mengembalikan hasil dan bunganya. Selain itu harus
pula membayar ganti rugi jika nilai barangnya menjadi
berkurang. Jika barangnya musnah di luar kesalahannya ia harus mengganti harga barangnya beserta biaya, kerugian dan bunga
kecuali jika ia dapat membuktikan bahwa barangnya
tetap akan musnah sekalipun berada pada pihak yang
berhak.
Barang siapa dengan
itikad baik menerima pembayaran yang tidak
terutang dan telah menjual barang tersebut maka ia hanya
wajib membayar kembali harganya. Jika ia dengan
itikad baik menghadiahkan barangnya kepada orang
lain maka ia tidak wajib mengembalikan apapun. Dalam
perikatan pembayaran tanpa utang, tuntutan kembali atas pembayaran yang telah dilakukan itu disebut conditio indebiti.
Tuntutan semacam ini dapat dilakukn terhadap
badan-badan pemerintah, misalnya pembayaran pajak
yang kemudian ternyata tidak ada pajak, maka bisa dilakukan
meminta kembali pembayaran tersebut.
G. HAPUSNYA PERIKATAN
Menurut Ketentuan pasal 1381 KUH Perdata, ada
sepuluh cara hapusnya perikatan. Kespeluh cara tersebut diuraikan satu demi
satu berikut ini :
1.
Pembayaran
Yang dimaksud dengan pembayaran dalam hal ini tidak
hanya meliputi penyerahan sejumlah uang, tetapi juga penyerahan suatu benda.
Dalam hal objek perikatan adalah pembayaran uang dan penyerahan benda secara
timbal balik, perikatan baru berakhir setelah pembayaran uang dan penyerahan
benda.
2.
Penawaran Pembayaran Tunai Diikuti Penitipan
Jika debitor telah melakukan penawaran pembayaran
dengan perantaraan notaries, kemudian kreditor menolak penawaran tersebut, atas
penolakan kreditor itu kemudian debitor menitipkan pembayaran itu kepada
panitera pengadilan negeri untuk disimpan. Dengan demikian, perikatan menjadi
hapus ( Pasal 1404 KUH Perdata ). Supaya penawaran pembayaran itu sah perlu
dipenuhi syarat-syarat :
a.
Dilakukan kepada
kreditor atau kuasanya;
b.
Dilakukan oleh debitor yang wenang membayar;
c.
Mengenai semua uang
pokok, bunga, dan biaya yang telah ditetapkan;
d.
Waktu yang ditetapkan
telah tiba;
e.
Syarat dimana utang dibuat telah terpenuhi;
f.
Penawaran pembayaran
dilakukan di tempat yang telah ditetapkan atau ditempat yang telah disetujui;
dan
g.
Penawaran pembayaran
dilakukan oleh notaries atau juru sita disertai oleh dua orang saksi.
3.
Pembaruan Utang ( Novasi )
Pembaruan utang terjadi dengan cara mengganti utang
lama dengan utang baru, debitor lama dengan debitor baru. Dalam hal utang lama
diganti dengan utang baru, terjadilah penggantian objek perikatan, yang disebut
“ Novasi Objektif”. Disini utang lama lenyap. Dalam hal terjadi penggantian orangnya
(subyeknya), maka jika debitornya yang diganti, pembaruan ini disebut “Novasi
Subjektif Pasif” jika kreditornya yang diganti, pembaruan ini disebut “novasi
subjektif aktif”. Dalam hal ini utang lama lenyap.
4.
Perjumpaan Utang (kompensasi)
Dikatakan ada penjumpaan utang apabila utang piutang
debitor dan kreditor secara timbale balik dilakukan perhitungan. Dengan
perhitungan itu utang piutang lama lenyap. Supaya utang itu dapat diperjumpakan
perlu dipenuhi syarat-syarat :
a.
Berupa sejumlah uang
atau benda yang dapat dihabiskan dari jenis dan kualitas yang sama;
b.
Utang itu harus sudah
dapat ditagih; dan
c.
Utang itu seketika
dapat ditentukan atau ditetapkan jumlahnnya (pasal 1427 KUH Perdata)
Setiap utang apapun sebabbnya dapat diperjumpakan,
kecuali dalam hal berikut ini :
a.
Apabila dituntut
pengembalian suatu benda yang secara melawan hukum dirampas dari pemiliknya,
misalnya karena pencurian;
b.
Apabila dituntut
pengembalian barang sesuatu yang dititipkan atau dipinjamkan;
c.
Terhadap suatu utang
yang bersumber pada tunjangan napkah yang telah dinyatakan tidak dapat disita
(Pasal 1429 KUH Perdata) ;
d.
Utang-utang Negara
berupa pajak tidak mungkin dilakukan perjumpaan utang (yurisprudensi); dan
e.
Utang utang yang timbul
dari perikatan wajar tidak mungkin dilakukan perjumpaan hutang (yurisprudensi).
5. Pencampuran Utang
Menurut ketentuan Pasal 1436 KUH
Perdata, Pencampuran utang itu terjadi apabila kedudukan kreditor dan debitor
itu menjadi satu tangan. Pencampuran utang tersebut terjadi demi hukum. Pada
pencampuran hutang ini utang piutang menjadi lenyap.
6. Pembebasan Utang
Pembebasan utang dapat terjadi
apabila kreditor dengan tegas menyatakan tidak menghendaki lagi prestasi dari
debitor dan melepaskan haknya atas pembayaran atau pemenuhan perikatan dengan
pembebasan ini perikatan menjadi lenyap atau hapus.
Menurut ketentuan pasal 1438 KUH
Perdata, pembebasan suatu hutang tidak boleh didasarkan pada persangkaan,
tetapi harus di buktikan. Pasal 1439 KUH Perdata menyatakan bahwa pengembalian
surat piutang asli secara sukarela oleh kreditor kepada debitor merupakan bukti
tentang pembebasan utangnya.
7.
Musnahnya benda yang terutang
Menurut ketentuan pasal 1444 KUH
Perdata, apabila benda tertentu yang menjadi objek perikatan itu musnah, tidak
dapat lagi diperdangkan, atau hilang bukan karena kesalahan debitor, dan
sebelum dia lalai , menyerahkannya pada waktu yang telah ditentukan; perikatan
menjadi hapus (lenyap) akan tetapi, bagi mereka yang memperoleh benda itu
secara tidak sah, misalnya, kerena pencurian, maka musnah atau hilangnya benda
itu tidak membebaskan debitor (orang yang mencuri itu) untuk mengganti
harganya.
Meskipun debitor lalai menyerahkna benda itu dia
juga akan bebas dari perikatan itu apabila dapat membuktikan bahwa musnah atau
hilangnya benda itu disebabkan oleh suatu keadaan di luar kekuasaannya dan
benda itu juga akan mengalami peristiwa yang sama measkipun sudah berada di
tangn kreditor.
8. Karena pembatalan
Menurut ketentuan pasala 1320 KUH
Perdata, apabila suatu perikatan tidak memenuhi syarat-syarat subjektif.
Artinya, salah satu pihak belum dewasa atau tidak wenang melakukan perbuatan
hukum, maka perikatan itu tidak batal, tetapi “dapat dibatalkan” (vernietigbaar, voidable). Perikatan yang
tidak memenuhi syarat subjektif dapat dimintakan pembatalannya kepada
pengadilan negeri melalui dua cara, yaitu :
a.
Dengan cara aktif
Yaitu
menuntut pembatalan melalui pengadilan negeri dengan cara mengajukan gugatan.
b.
Dengan cara pembelaan
Yaitu
menunggu sampai digugat di muka pengadilan negeri untuk memenuhi perikatan dan
baru diajukan alasan tentang kekurangan perikatan itu.
Untuk pembatalan secara aktif,
Undang-undang memberikan pembatasan waktu, yaitu lima tahun (pasal 1445 KUH
Perdata), sedangkan untuk pembatalan sebagai pembelaan tidak diadakan
pembatasan waktu.
9. Berlaku Syarat Batal
Syarat batal yang dimaksud disini
adalah ketentuan isis perikatan yang disetujui oleh kedua pihak, syarat
tersebut apabila dipenuhi mengakibatkan perikatan itu batal (nietig, void) sehingga perikatan
menjadi hapus. Syarat ini disebut “syarat batal”. Syarat batal pada asasnya
selalu berlaki surut, yaitu sejak perikatan itu dibuat. Perikatan yang batal
dipulihkan dalam keadaan semula seolah-olah tidak pernah terjadi perkatan.
10. Lampau Waktu (Daluarsa)
Menurut ketentuan pasal 1946 KUH Perdata, lampau
waktu adalah alat untuk memperolah sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu
perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan syarat-syarat yang
ditentukan oleh Undang-undang. Atas dasar ketentuan pasal tersebut dapat
diketahui ada dua macam lampau waktu yaitu :
a.
Lampau waktu untuk
memperolah hak milik atas suatu benda disebut acquisitieve verjaring.
b.
Lampau waktu untuk
dibebaskan dari suatu perikatan atau dibebaskan dari tuntutan disebut extinctieve verjaring.
Menurut ketentuan pasal 1963 KUH Perdata, untuk
memperoleh hak milik atas suatu benda berdasar pada daluarsa (lampau waktu)
harus dipenuhi unsur-unsur adanya iktkad baik; ada alas hak yang sah; menguasai
benda it uterus-menerus selama dua puluh tahu tanpa ada yang mengggugat, jika
tanpa alas hak, menguasai benda itu secara terus-menerus selama 30 tahun tanpa
ada yang mengugat.
Pasal 1967 KUH perdata menentukan bahwa segala
tuntutan, baik yang bersifat kebendaan maupun yang bersifat perorangan hapus
karena daluarsa, dengan lewat waktu 30 tahun. Sedangkan orang yang menunujukkan
adanya daluarsa itu tidak usah menunjukkan alas hak dan tidak dapat diajukan
terhadapnya tangkisan yang berdasar pada iktikad buruk.
Benda bergerak yang bukan bunga atau piuatang yang
bukan atas tunjuk (niet aan toonder),
siapa yang menguaisainya dianggap sebagai pemiliknya. Walaupun demikian, jika
ada orang yang kehilangan atau kecurian suatu benda, dalam jangka waktu 3 tahun
terhitung sejak hari hilangnya atau dicurigainya benda itu, dia dapat menuntut
kembali bendanya yang hilang atau dicuri itu sebagai miliknya dari tangan
siapapun yang menuasainya. Pemegang benda terakhir dapat menuntut pada orang
terakhir yang menyerahkan atau menjual kepadanya suatu ganti kerugian (pasal
1977 KUH Perdata).
Daluarsa tidak berjalan atau tertangguh dalam
hal-hal seperti tersebut berikut ini:
a.
Terhadap anak yang belum dewasa, orang di
bawah pengampuan;
b.
Terhadap istri selam
perkawinan (ketentuan ini tidak berlaku lagi)
c.
Terhadap piutang yang
digantungkan pada suatu syarat selama syarat itu tidak terpenuhi; dan
d.
Terhadap seorang ahli
waris yang telah menerima suatu warisan dengan hak istimewa untuk membuat
pendaftaran harta peninggalan mengenai hutang-piutangnya (pasal 1987-1991 KUH
Perdata).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.
Prestasi adalah sesuatu
yang wajib dipenuhi oleh debitor dalam setiap perikatan. Prestasi adalah objek perikatan.
Dalam hukum perdata kewajiban memenuhi prestasi selalu disertai jaminan harta
kekayaan debitor. Dalam Pasal 1131 dan 1132 KUHPdt dinyatakan bahwa harta
kekayaan debitor, baik yang bergerak maupun tidak bergerak, baik yang sudah ada
maupun yang akan ada, menjadi jaminan pemenuhan utangnya terhadap kreditor.
2.
Wanprestasi artinya
tidak memenuhi kewajiban yang telah disepakati dalam perikatan. Tidak
dipenuhinya kewajiban oleh debitor karena dua kemungkinan alasan
3.
Keadaan memaksa (force majeure) adalah keadaan tidak
dipenuhinya prestasi oleh debitor karena terjadi peristiwa yang tidak dapat
diketahui atau tidak dapat diduga akan terjadi ketika membuat perikatan. Dalam
keadaan memaksa ebitor tidak dapat disalahkan karena keadaan ini timbul di luar
kemauan dan kemampuan debitor.
4.
Ganti kerugian hanya
berupa uang bukan barang, kecuali jika diperjanjikan lain. Untuk melindungi
debitor dari tuntutan sewenang-wenang dari pihak kreditor, Undang-Undang
memberikan pembatasan terhadap ganti kerugian yang wajib dibayar oleh debitor
sebagai akibat dari kelalainnya (wanprestasi)
5. Perikatan
bersyarat (voorwaardelijk verbintenis)
adalah perikatan yang digantungkan
pada syarat. Syarat itu adalah suatu peristiwa yang masih akan terjadi dan
belum pasti terjadi, baik dalam menangguhkan pelaksanaan perikatan hingga
terjadi peristiwa maupun dengan membatalkan perikatan karena terjadi atau tidak
terjadi peristiwa (Pasal 1253 KUHP dt).
6.
Figur hukum yang diatur
dalam Pasal 1354 KUH Perdata ini disebut perwakilan sukarela (zaakwaameming). Penyelenggaraan urusan
itu bersifat sukarela tanpa kuasa dari pihak berkepentingan. Urusan itu
dilakukan secara sukarela dengan tujuan agar memperoleh kemanfaatan bagi pihak
yang berkepentingan dan perbuatan tersebut diakui serta dibenarkan oleh
undang-undang. Oleh karena itu, ketentuan undang-undang tersebut menciptakan
perikatan. Jadi, yang meciptakan perikatan itu bukanlah perbuatan orang,
melainkan ketentuan undang-undang itu sendiri.
7.
Menurut Ketentuan pasal
1381 KUH Perdata, ada sepuluh cara hapusnya perikatan. Yaitu : pembayaran,
penawaran, pembayaran tunai diikuti penitipan, pembayaran utang, perjumpaan
utang, pencampuran utang, pembebasan utang, musnahnya benda yang terutang,
karena pembatalan, berlaku syarat batal dan lampau batas.
B. Saran
Dari
penjelasan yang telah kami paparkan sebelumnya terdapat sebuah kelebihan dan
kekurangannya masing-masing, namun untuk meningkatkan pemaparan di atas adapun
saran-saran untuk menunjang sebuah peningkatan dari materi maupun penerapannya.
1.
Alangkah baiknya jika hukum perikatan ini tidak hanya dijadikan sebagai materi
yang membantu proses pemahaman mahasiswa saja namun dapat digunakan langsung
atau dipraktekan secara langsung dalam kehidupan sehari-hari atau dalam proses
pembelajaran.
2.
Sebaiknya pemerintah dan masyakarat dapat membangun kerja sama yang baik dalam
mengarahkan proses berlangsungnya perikatan yang ada di dalam kehidupan
sehari-hari.
3.
Alangkah baiknya jika setiap individu dapat menerapkan dan mengerti benar
mengenai materi yang sudah kami paparkan di atas.
DAFTAR PUSTAKA
Djamali, Abdul. 1983. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta: PT Raja Gravindo Persada.
Setiawan. 1977. Pokok-Pokok
Hukum Perikatan. Bandung: Bina Cipta.
Tirtodiningrat. 1966. Hukum Perdata dan Hukum Dagang. Jakarta: Gunung Sahari 84.
Abdul Kadir, Muhammad. 1990. Hukum Perdata Indonesia. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
Subekti. 1954. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: PT
Interma
Komentar
Posting Komentar