Langsung ke konten utama

Reformasi kekuasaan Presiden Melalui Suksesi



BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
            Menurut Harold D. Laswell dan Abraham Kaplan (1950), kekuasaan adalah suatu hubungan dimana seseorang atau sekelompok orang dapat menentukan tindakan seseorang atau kelompok lain ke arah tujuan dari pihak pertama. Dari definisi kekuasaan tersebut kita dapat memahami bahwa kekuasaan memiliki pengaruh yang kuat dalam menentukan kebijakan dalam sebuah kelompok. Orang yang memiliki kekuasaan dapat dengan mudah mengarahkan tindakan orang lain dalam kelompoknya agar sesuai dengan keinginannya. Kekuasaan membuat semua orang, baik suka ataupun tidak suka, menuruti perintah dari orang yang berkuasa tersebut.
             Didalam kehidupan berbangsa dan bernegara, kekuasaan dari lembaga pemerintah dalam menentukan kebijakan sangat mempengaruhi maju atau mundurnya kehidupan masyarakat. Di Indonesia yang menganut sistem pemerintahan presidensial, presiden merupakan kepala negara sekaligus kepala pemerintahan yang memiliki kekuasaan dalam menentukan kebijakan untuk menjalankan roda pemerintahan. Kekuasaan presiden dalam menjalankan roda pemerintahan tersebut harus berpedoman kepada Undang-Undang Dasar 1945. Hal tersebut seperti yang tercantum dalam Pasal 4 Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar.”
            Undang-Undang Dasar sebagai dasar hukum tertinggi di Indonesia telah memberikan batasan-batasan kekuasaan presiden. Batasan-batasan tersebut agar presiden tidak menggunakan kekuasaannya secara sewenang-wenang. Hal itu untuk meminimalisir kemungkinan pemerintahan berjalan secara otoriter. Namun dalam praktiknya, Undang-Undang Dasar pernah diselewengkan oleh presiden karena banyak bunyi pasal yang bisa disalahartikan. Kasus tersebut pernah terjadi pada masa orde lama dan orde baru. Akibatnya, pemerintahan pada saat itu berjalan secara otoriter. Regenerasi kepemimpinan terhambat selama puluhan tahun, sehingga tidak ada perubahan yang berarti dalam program kerja pemerintah.
            Setelah terjadi amandemen terhadap Undang-Undang Dasar, Pasal-pasal yang bisa disalahartikan telah diubah menjadi jelas penafsirannya. Kesalahan di masa orde lama dan orde baru menjadi pelajaran dalam perumusan Undang-Undang Dasar yang lebih baik. Hasil amandemen Undang-Undang Dasar telah memberikan batasan yang lebih jelas mengenai kekuasaan presiden yang tercantum dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 16 (mengenai kekuasaan pemerintahan negara) dan Pasal 17 (mengenai kementerian negara). Dengan demikian diharapkan tidak akan terjadi lagi penyimpangan Undang-Undang Dasar dalam penyelenggaran pemerintahan negara.
            Didalam Pasal 7 Undang-Undang Dasar 1945, masa jabatan presiden menjadi dibatasi hanya selama dua periode. Hal tersebut agar terjadi regenarasi kepemimpinan bangsa. Diharapkan dengan adanya pergantian pemimpin dengan program-program baru yang ditawarkan, terjadi perubahan yang lebih baik dalam setiap periode kepemimpinannya. Namun, seajauh mana pengaruh perubahan pergantian pemimpin tersebut bagi perkembangan pemerintahan negara ini?. Apakah hanya sekedar mengganti orang tanpa perubahan berarti?. Berdasarkan rasa ingin tahu itulah, penulis membuat makalah yang berjudul “Reformasi Kekuasaan Presiden melalui Suksesi” ini.
B. Rumusan Masalah
            Berdasarkan latar belakang diatas, ada beberapa rumusan masalah yang akan diuraikan dalam makalah ini, yaitu:
1. Apa saja faktor-faktor penyebab amandemen Undang-Undang Dasar 1945?
2. Bagaimana pengaruh amandemen Undang-Undang Dasar 1945 terhadap kekuasaan presiden?
3. Apa yang dimaksud dengan suksesi?
4. Bagaimana caranya agar suksesi dapat membawa perubahan ke arah yang lebih baik?
C. Tujuan Penulisan
            Tujuan yang ingin dicapai dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab amandemen Undang-Undang Dasar 1945
2. Untuk mengetahui pengaruh amandemen Undang-Undang Dasar 1945 terhadap kekuasaan presiden
3. Untuk mengetahui maksud dari suksesi
4. Untuk mengetahui cara agar suksesi dapat membawa perubahan ke arah yang lebih baik
D. Manfaat Penulisan
            Manfaat yang dirasakan dari menulis makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Menambah wawasan mengenai tugas, fungsi dan peranan presiden
2. Melatih cara menulis makalah dengan benar
3.   Belajar untuk berpikir kreatif
4.   Belajar untuk mencari sumber yang dapat dipercaya
5.   Menjadi pemacu untuk membaca banyak buku politik





BAB II
KAJIAN TEORI
A. Faktor-faktor  Penyebab Amandemen Undang-Undang Dasar 1945
            Undang-Undang Dasar merupakan sumber hukum tertinggi dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Segala proses kehidupan yang berlangsung tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Agar Undnag-Undang Dasar dapat selaras dengan kehidupan masyarakat, maka dapat dilakukan amandemen terhadap Pasal-pasal yang dianggap sudah tidak relevan.  Faktor utama yang menetukan pembaharuan Undang-Undang Dasar adalah berbagai pembaharuan keadaan di masyarakat. Dorongan demokratisasi, pelaksanaan paham negara kesejahteraan (welfare state), perubahan pola dan sistem ekonomi akibat industrialisasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dapat menjadi kekuatan (forces) pendorong pembaharuan Undang-Undang Dasar 1945. Secara sederhana dapat diutarakan masyarakatlah yang menjadi pendorong utama pembaharuan Undang-Undang Dasar. Pembaharuan Undang-Undang dapat terjadi dengan berbagai cara. Selain dengan tata cara formal, pembaharuan Undang-Undang Dasar dapat pula terjadi melalui hukum adat, konvensi, putusan hakim, atau peraturan perundang-undangan biasa seperti ketetapan MPR atau Undang-Undang.
            Menurut Setjen MPR RI (2003), peristiwa berhentinya Presiden Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998 di tengah krisis ekonomi dan moneter yang sangat memberatkan kehidupan masyarakat Indonesia, menjadi awal dimulainya era reformasi di tanah air. Berkembanglah tuntutan reformasi yang didesakkan oleh berbagai komponen bangsa, termasuk kalangan mahasiswa dan pemuda. Salah satu tuntutan tersebut adalah melakukan amandemen Undang-Undang Dasar. Selain tuntutan reformasi, amandemen Undang-Undang Dasar juga dipengaruhi oleh kekurangan-kekurangan Undang-Undang Dasar 1945 yang sangat mendasar, diantarnya:
1. Struktur ketatanegaraan menurut Undang-Undang Dasar 1945, bertumpu pada kewenangan atau kekuasaan tertinggi di tangan MPR yang sepenuhnya melaksanakan kedaulatan rakyat, dengan akibat tidak terjadinya check and balances antar lembaga-lembaga kenegaraan;
2. Undang-Undang Dasar 1945 menganut sistem executive heavy yang berarti kewenangan atau kekuasaan dominan berada di tangan presiden. Undang-Undang Dasar 1945 memberi kekuasaan yang sangat besar kepada Presiden. Hal ini akan mendorong lahirnya wewenang yang otoriter;
3. Undang-Undang Dasar 1945 di dalamnya terdapat Pasal-pasal yang terlalu “luwes” yang dapat menimbulkan multi tafsir;
4. Presiden diberi wewenang terlalu banyak oleh Undang-Undang Dasar 1945 untuk mengatur hal-hal penting dengan Undang-Undang;
5. Semangat penyelenggara negara yang dirumuskan di dalam Undang-Undang Dasar 1945, belum cukup didukung ketentuan konstitusi yang memuat aturan dasar tentang kehidupan yang demokratis, supremasi hukum, pemberdayaan rakyat, penghormatan Hak Asasi Manusia (HAM), dan otonomi daerah.
            Indonesia sudah mengalami empat kali amandemen. Amandemen pertama berlaku mulai tanggal 19 Oktober 1999, meliputi 9 Pasal dan mencakup 9 hal. Amandemen kedua berlaku tanggal 18 Agustus 2000, meliputi 25 Pasal dan 5 bab. Amandemen ketiga berlaku mulai tanggal 9 November 2001, meliputi 23 Pasal dan 3 bab. Sedangkan amandemen keempat berlaku mulai tanggal 10 Agustus 2002. Hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan amandemen terhadap Undang-Undang Dasar 1945 adalah tidak boleh mengubah pembukaan Undang-Undang Dasar. Hal itu disebabkan mengubah pembukaan Undang-Undang Dasar sama artinya dengan membubarkan negara. Karena, di dalam pembukaan terdapat rumusan Pancasila dan tujuan negara.
B. Kekuasaan Presiden sebagai Badan Eksekutif setelah Amandemen Undang-Undang Dasar 1945
            Kekuasaan eksekutif biasanya dipegang oleh badan eksekutif. Di negara-negara demokratis badan eksekutif biasanya terdiri atas kepala negara seperti raja atau presiden, beserta menteri-menterinya. Jumlah anggota badan eksekutif jauh lebih kecil daripada jumlah anggota badan legislatif, biasanya berjumlah 20 atau 30 orang. Tugas badan eksekutif, menurut tafsiran tradisional asas trias politika, hanya melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang telah ditetapkan oleh badan legislatif, serta menyelenggarakan Undang-Undang yang dibuat oleh badan legislatif. Akan tetapi dalam pelaksanaannya, badan eksekutif leluasa sekali ruang geraknya. Dalam perkembangan negara modern wewenang eksekutif dewasa ini jauh lebih luas daripada hanya melaksanakan Undang-Undang Dasar saja.
            Kekuasaan eksekutif mencakup beberapa bidang, yaitu:
1. Administratif, yakni kekuasaan untuk melaksanakan Undang-Undang dan peraturan perundangan lainnya dan menyelenggarakan administrasi negara.
2. Legislatif, yaitu membuat rancangan Undang-Undang dan membimbingnya dalam badan perwakilan rakyat sampai menjadi Undang-Undang.
3. Keamanan, artinya kekuasaan untuk mengatur polisi dan angkatan bersenjata, menyelenggarakan perang, pertahanan negara, serta keamanan dalam negeri
4. Yudikatif, yaitu memberi grasi, amnesti dan sebagainya
5. Diplomatik, yaitu kekuasaan untuk menyelenggarakan hubungan diplomatik dengan negara-negara lain.
           
Kekuasaan Presiden sebagai penggerak utama lembaga eksekutif telah diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945, yaitu terdapat dalam Pasal-pasal sebagai berikut:
1. Pasal 4 ayat 1, Presiden  memegang kekuasaan pemerintahan. Yang dimaksud dengan pemerintahan ialah segala urusan dalam menyelnggarakan kesejahteraan rakyat dan kepentingan negara sendiri;
2. Pasal 5 ayat 1, Presiden berhak mengajukan rancangan Undang-Undang kepada DPR , baik Rancangan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), maupun non APBN, untuk dibahas bersama oleh DPR dan Presiden yang selanjutnya untuk disetujui bersama;
3. Pasal 5 ayat 2, Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan Undang-Undang;
4. Pasal 10, Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara;
5. Pasal 11 ayat 1, Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain. Ayat 2 menyatakan bahwa presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan Undang-Undang harus dengan persetujuan DPR;
6.  Pasal 12, Presiden menyatakan keadaan bahaya, syarat-syarat dan akibatnya ditetapkan dengan Undang-Undang;
7. Pasal 13 ayat ayat 1, ayat 2 dan ayat 3, Presiden mengangkat duta dan konsul; Dalam hal mengangkat duta, Presiden memperhatikan pertimbangan DPR; juga dalam menerima duta negara lain, Presiden memperhatikan pertimbangan DPR;
8. Pasal 14 ayat 1, ayat 2, Presiden memberi grasi yaitu penghapusan atau pengurangan hukuman dan rehabilitasi atau pemulihan nama baik atas seseorang atau badan yang telah dicemarkan nama baiknya, dengan memperhatikan pertimbangan MA. Dalam hal memberi amnesti yaitu penghapusan semua penuntunan sebelum adanya putusan hakim dan abolisi atau penghentian penuntutan terhadap seorang atau segolongan orang yang telah melakukan tindak pidana, dengan memperhatikan pertimbangan DPR;
9. Pasal 15, Presiden member gelar, tanda jasa, dan lain-lain tanda kehoramatan yang diatur dengan Undang-Undang;
10. Pasal 16, Presiden membentuk suatu dewan pertimbangan yang bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden;
11. Pasal 17 ayat 2, Presiden berwenang mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri negara;
12. Pasal 20 ayat 4, Presiden mengesahkan rancangan Undang-Undang yang telah disepakati bersama oleh Presiden dan DPR
13. Pasal 22 ayat 1, ayat 2 dan ayat 3, dalam hal ikwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, ayat 2nya menetapkan bahwa Peraturan Pemerintah itu harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan yang berikut, dan menurut ayat 3nya, jika tidak mendapat persetujuan maka Peraturan Pemerintah itu harus dicabut;
14. Pasal 23 ayat 3, apabila DPR tidak menyetujui RAPBN yang diusulkan oleh Presiden, maka pemerintah menjalankan anggaran tahun yang lalu.
            Disamping tugas-tugas atau kekuasaan yang diatur didalam Pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945, sebagai kepala negara, Presiden merupakan lambang kesatuan dan persatuan bangsa. Ia bertanggung jawab atas segala suka dan duka, pasang dan surut yang dialami oleh rakyat, bangsa dan negara dalam mencapai kesejahteraan dan ketentraman, keadilan dan kebenaran, serta kemajuan dan kecerdasannya (Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim : 1977). Oleh karena itu, Presiden harus memiliki legitimasi yang kuat. Legitimasi yang kuat itu hanya dapat diperoleh apabila Presiden dipilih langsung oleh rakyat secara langsung, bebas, rahasia, jujur dan adil. Kekuasaan presiden harus dapat dipertanggungjawabkan kepada rakyat, karena rakyat adalah pemegang kedaulatan dan orang yang memberikan kekuasaan tersebut kepada presiden.
 C. Reformasi Kekuasaan Presiden melalui Suksesi
            Jabatan dapat dikatakan bersifat relatif tetap, sedangkan orang yang memegang jabatan itu bersifat tidak tetap. Dalam keadaan normal, umur jabatan suatu institusi biasanya lebih lama daripada umur manusia. Sifat sementara dari masa jabatan seorang pejabat tidak hanya disebabkan oleh umur manusia yang memang terbatas, tetapi juga karena kemampuan dan kearifan manusia yang terbatas juga adanya. Oleh karena itu perlu dilakukan suksesi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, suksesi adalah proses pergantian kepemimpinan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
            Ada tiga faktor yang menyebabkan suksesi harus dilakukam secara periodik dan tertib. Pertama, kemampuan dan kearifan manusia yang terbatas karena adanya kecenderungan manusia cepat bosan dalam melaksanakan suatu jenis pekerjaan yang sama dalam waktu yang lama. Kedua, semakin lama seseorang memegang suatu jabatan, semakin dia  menganggap dan memperlakukan jabatan itu sebagai milik pribadinya. Ketiga, kecenderungan kekuasaan untuk mendapatkan kekuasaan yang lainnya agar memperkuat posisinya. Oleh karena itu, peralihan kewenangan dari seseorag kepada orang lain pada priode waktu yang ditentukan merupakan keharusan.
            Mengenai waktu suksesi biasanya disesuaikan dengan sistem politik yang diterapkan. Setidaknya-tidaknya ada dua pandangan yang berbeda mengenai suksesi. Pertama, pandangan pembatasan konstitusional yang menetapkan berapa tahun masa jabatan seseorang dan berapa periode dia bisa menjabat. Kedua, pandangan pembatasan oleh suara rakyat, dimana rakyat yang menentukan berapa lama jabatan seseorang. Biasanya pembatasan melalui suara rakyat terjadi di negara yang menerapkan sistem parlementer.
            Menurut Paul Conn (1971:278), secara umum terdapat tiga cara suksesi, yaitu melalui turun temurun, pemilihan, dan paksaan. Suksesi secara turun temurun adalah jabatan dialihkan kepada keturunan atau anggota keluarga pemegang jabatan terdahulu. Hal ini terjadi dalam sistem politik otokrasi tradisional (kerajaan, kesultanan), maupun kerajaan yang konstitusional (raja sebagai kepala negara). Suksesi melalui paksaan ialah suatu jabatan yang dialihkan kepada orang lain dengan menggunakan kekerasan berdarah (revolusi kudeta) ataupun ancaman kekerasan (paksaan tidak berdarah) yang dilakukan dengan cara show of force, pengerahan masa, ataupun tawar menawar karena belum ada mekanisme suksesi yang disepakati bersama. Sedangkan suksesi melalui pemilihan dapat dilakukan secara langsung oleh rakyat yang berhak memilih melalui mekanisme pemilu ataupun secara tidak langsung melalui badan perwakilan rakyat. Hal ini terutama diterapkan dalam sistem politik demokrasi.
            Suksesi di Indonesia adalah melalui pemilihan. Rakyat memiliki hak suara untuk menentukan presiden dalam Pemilu yang diselenggarakan selama lima tahun sekali. Didalam Pasal 7 Undang-Undnag Dasar 1945 dijelaskan bahwa periode jabatan presiden adalah selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan. Artinya, presiden hanya memiliki kesempatan menjabat selama dua periode. Hal tersebut untuk mencegah terjadinya presiden menjabat selama puluhan tahun seperti zaman orde lama dan orde baru.
D. Suksesi yang Membawa Perubahan Positif
            Suksesi bukan sekedar mengganti kepala pemerintahan, tetapi juga mengganti pihak yang ikut memerintah. Mengganti kepala pemerintahan tidak hanya berarti mengganti pihak  yang ikut memerintah, seperti para menteri, para pejabat pemerintah yang diangkat oleh kepala pemerintahan, kepala berbagai instansi, seluruh jajaran birokrasi, tetapi juga mengganti kelompok-kelompok masyarakat yang diuntungkan secara ekonomi, keagamaan, ideologis, dan kultural oleh kekuasaan itu. Mereka inilah yang merupakan salah satu faktor yang menghambat kemungkinan berlangsungnya suksesi secara sukarela karena kepentingan ekonomi-politik dan sosio-kulturnya tergantung dari pemegang kekuasaan yang ada.
            Suksesi harus memberikan pergantian orientasi dan kriteria program pemerintah yang lebih baik. Gaya dan arah kepemimpinan yang baru diharapkan dapat memberikan perubahan pada cara menangani masalah yang ada di masyarakat. Kejelasan visi dan misi dari pengganti presiden yang lama harus dapat dipertanggung jawabkan melalui aksi nyata untuk mewujudkannya. Selain itu, untuk mendukung agar suksesi dalam lembaga kepresidenan berhasil, maka harus dibarengi dengan reformasi di lembaga legistalif dan yudikatif, sebagai lembaga yang turut menentukan berhasil tidaknya pemerintahan eksekutif. Pemberdayaan badan legislatif dan yudikatif harus dapat mengontrol kekuasaan presiden, pembatasan tugas dan kewenangan presiden, membantu presiden dalam merumuskan dan menegakan peraturan-peraturan agar tercipta ketertiban dan kedamaian di masyarakat.
            Rekrutmen para elit politik yang duduk di kursi pemerintahan juga harus dibenahi. Moralitas pejabat publik harus menjadi fokus utama. Tanpa moralitas yang baik, politik yang digunakan adalah sistem politik yang kotor. Kualitas para pejabat dalam memahami politik juga harus diperhatikan. Jangan sampai orang-orang yang duduk dalam sistem pemerintahan tidak memahami seluk beluk politik, sehingga tidak menghasilkan kinerja yang diharapkan publik.




BAB III
ANALISIS
A. Kasus Penyimpangan terhadap Undang-Undang Dasar 1945
            Pada bab II telah dijelaskan bahwa amandemen Undang-Undang Dasar perlu dilakukan untuk menyesuaikan perubahan yang terjadi di masyarakat. Selain itu, amandemen Undang-Undang juga dilakukan karena banyak Pasal yang bisa disalah artikan. Indonesia pernah mengalami masa kelam ketika terjadi kasus penyimpangan terhadap Undang-Undang Dasar. Penyimpangan yang paling terasa adalah ketika masa orde lama dan orde baru. Undang-Undang Dasar dijadikan alat oleh para penguasa untuk melanggengkan kekuasaan dan melakukan pemerintahan yang otoriter.
            Pada masa orde lama terjadi beberapa penyimpangan Undang-undang, diantara adalah:
1. Kedaulatan rakyat dipegang oleh Majelis Perwakilan Rakyat sebagai badan yang mewakili aspirasi rakyat. Majelis ini menetapkan Undang-Undang dan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Sehingga, majelis ini memegang kekuasaan negara yang tertinggi. Kedudukan Presiden berada dibawah MPR, karena Presiden harus menjalankan haluan negara berdasarkan garis-garis besar yang telah ditetapkan oleh majelis. Namun, pada masa itu MPR justru tunduk kepada presiden;
2. Pidato Presiden yang berjudul “Penemuan Kembali Revolusi Kita” tanggal 17 Agustus 1959 atau yang lebih dikenal dengan “Manifesto Politik Republik Indonesia”, dijadikan sebagai GBHN. Padahal presiden seharusnya tunduk kepada GBHN yang dibuat oleh MPR;
3. Presiden membuat Undang-Undang tanpa persetujuan DPR. Padahal didalam Pasal 5 ayat 1 dijelaskan bahwa Presiden dalam membentuk Undang-Undang harus dengan persetujuan DPR;
4. Presiden tidak dapat membubarkan DPR. Hal itu disebabkan karena kedudukan DPR adalah kuat, kecuali pada sistem parlementer;
5. Pengangkatan Presiden Ir. Soekarno sebagai pemimpin besar revolusi, berarti mengangkat Ir. Soekarno sebagai presiden seumur hidup.
            Akibat dari berbagai penyimpangan tersebut terjadi berbagai kekacauan dalam sistem pemerintahan. Oleh karena itu, untuk mengembalikan suasana negara yang  tentram dan damai, Soeharto di era kepemimpinannya berencana untuk mengembalikan penyelenggaran negara berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 secara murni dan konsekuen. Masa kepemimpinan Soeharto dikenal dengan masa orde baru. Namun pada kenyataannya, penyelenggaraan pemerintahan orde lama dan orde baru tetap sama. Masih banyak penyelenggaraan negara yang menyimpang dari Undang-Undang. Penyimpangan yang terjadi di era orde baru diantaranya adalah:
1. Penyalahgunaan Pasal 7 Undang-Undang Dasar 1945 untuk melanggengkan kekuasaan. Pada Pasal tersebut tidak dinyatakan berapa lama periode kepemimpinan seorang presiden, sehingga Soeharto terus diangkat kembali sampai 32 tahun menjabat sebagai presiden;
2. Terjadinya pemusatan kekuasaan ditangan presiden. Kekuasaan presiden yang telah diatur oleh Undang-Undang seolah tidak berfungsi. Presiden memegang kekuasaan penuh atas berbagai lembaga negara. Setiap peraturan yang dibuat seolah hanya Asal Bapak Senang (ABS). Akibatnya, terjadi pemerintahan yang otoriter;
3. Pemilu yang tidak demokratis. Pada masa orde baru, partai politik peserta pemilu dibatasi hanya tiga partai, yaitu golkar, PPP dan PDI. Pemilu sudah diintervensi oleh para elit politik sehingga selalu dimenangkan oleh partai golkar;
4. Pembatasan hak-hak rakyat, terutama hak untuk berkumpul, berserikat dan mengemukakan pendapat. Suara rakyat seolah dibungkam paksa. Selain itu, kebebasan pers juga dibatasi, sehingga rakyat tidak bisa mendapatkan informasi yang akurat mengenai jalannya sistem pemerintahan;
5. Terjadinya penyelewengan kekuasaan para pejabat negara sehingga Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN)  merajelala disektor pemerintahan.
            Pengalaman buruk dimasa orde lama dan orde baru seharusnya menjadi cermin agar di era reformasi, pemerintahan berjalan dengan lebih baik. Para pejabat negara terutama presiden harus lebih mendengar aspirasi rakyatnya. Kebijakan yang diambil harus benar-benar memperhatikan kebaikan hidup bersama, bukan hanya menguntungkan salah satu pihak saja.  Semoga amandemen Undang-Undang Dasar 1945 bukan hanya sekedar merubah Pasal-pasal semata, tetapi juga merubah penegakan hukum yang lebih baik di negara ini.
B. Praktik Kekuasaan Presiden dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara
            Sebagai badan penggerak utama badan eksekutif di Indonesia, presiden mempunyai kekuasaan yang dapat digunakannya untuk memimpin roda kehidupan berbangsa dan bernegara. Melalui kekuasaan yang ada, presiden memiliki pengaruh yang kuat untuk mempengaruhi orang lain agar tunduk pada perintahnya. Hal tersebut akan memudahkan presiden untuk mencapai tujuan yang hendak dicapai. Kekuasaan tersebut meliputi kekuasaan administratif, kekuasaan legislatif, kekuasaan keamanan, kekuasaan yudikatif, dan kekuasaan diplomatik. 
            Kekuasaan administratif dapat membuat presiden memaksa orang lain yang duduk dalam lembaga eksekutif, seperti wakil presiden dan para menteri untuk tunduk pada peraturan yang berlaku. Undang-Undang yang telah dibuat oleh badan legislatif harus menjadi pedoman dalam menyelenggarakan sistem pemerintahan. Kekuasaan legislatif yaitu presiden berhak untuk mengajukan rancangan Undang-Undang yang dirasa perlu demi menjaga ketertiban umum. Undang-Undang diajukan apabila realitas di masyarakat menuntuk untuk dibuat peraturan tersebut.
            Kekuasaan keamanan yaitu kekuasaan presiden untuk mengatur polisi dan angkatan bersenjata negara dalam rangka menjaga keamanan dan ketertiban negara. Selain itu, presiden juga mempunyai hak untuk menyatakan perang dengan negara lain apabila ada negara yang dianggap mengganggu keamanan dalam negeri. Kekuasaan yudikatif  adalah berupa grasi yaitu penghapusan atau pengurangan hukuman dan rehabilitasi atau pemulihan nama baik atas seseorang atau badan yang telah dicemarkan nama baiknya, dengan memperhatikan pertimbangan MA. Dalam hal member amnesti yaitu penghapusan semua penuntunan sebelum adanya putusan hakim dan abolisi atau penghentian penuntutan terhadap seorang atau segolongan orang yang telah melakukan tindak pidana, dengan memperhatikan pertimbangan DPR. Contoh pemberian grasi adalah adanya remisi kepada narapidana setiap hari raya idul fitri.
            Sedangkan kekuasaan diplomatik merupakan kekuasaan presiden untuk melakukan kerjasama dengan negara-negara lain. Contohnya Indonesia mengadakan kerjasama dengan negara-negara di Asia tenggara dalam hubungan kerjasama di bidang sosial, budaya, politik, ekonomi dan hukum.Selain itu, Indonesia juga bergabung dengan organisasi negara-negara, baik di tingkat regional seperti ASEAN, maupun di tingkat intenasional seperti PBB.
            Kekuasaan presiden juga dapat mengalami pasang surut. Ada tiga indicator yang dapat digunakan untuk menilai pasang surut kekuasaan presiden, yaitu:
1. Kekuasaan Presiden disebut “normal” apabila kekuasaannya sama dengan yang tercantum di dalam Undang-Undang Dasar tidak pasang dan tidak surut. Contoh: Presiden dalam sistem presidensil menjalankan kekuasaan sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan;
2. Kekuasaan presiden disebut “pasang atau besar atau naik atau kuat”, apabila kekuasaannya lebih besar dari yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar. Contoh: Presiden Soekarno pada waktu membentuk Dewan Nasional dan Front Nasional setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959;
3. Kekuasaan Presiden disebut “surut atau berkurang atau kecil atau lemah” apabila kekuasaannya berkurang dari yang tercantum di dalam Undang-Undang Dasar. Contoh: kekuasaan Presiden pada waktu berlakunya Maklumat Pemerintah pada tanggal 14 November 1945.
C. Reformasi Kekuasaan Presiden melalui Suksesi
            Seperti yang telah dikekmukakan sebelumnya bahwa suksesi merupakan proses pergantian kepemimpinan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Di Indonesia, peraturan tertinggi yang mengatur mengenai pergantian presiden adalah Undang-Undang Dasar 1945. Didalamnya sudah diatur mengenai syarat-syarat presiden dan wakil presiden beserta cara memilih presiden dan wakil presiden yang baru. Syarat-syarat untuk menjadi calon presiden dan calon wakil presiden menurut Pasal 6 adalah harus warga negara Indonesia yang sejak kelahirannya tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah menghianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
            Sedangkan tata cara memilih presiden dan wakil presiden diatur dalam Pasal 6A, yaitu:
1. Presiden dan wakil presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. Artinya bahwa presiden dan wakil presiden tidak boleh ketika Pemilu berlangsung tidak boleh berpasangan dengan orang lain;
2. Pasangan calon Presiden dan calon wakil Presiden diusungkan oleh partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaaan pemilihan umum. Dapat dipahami bahwa calon presiden dan wakil presiden merupakan hasil usulan dari suatu partai atau koalisi partai. Caoln harus diumumkan sebelum Pemilu berlangsung;
3. Pasangan calon Presiden dan calon wakil yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden;
4. Dalam hal tidak ada pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
            Kelebihan mekanisme suksesi melalui pemilu adalah lebih sesuai dengan asas kedaulatan rakyat dan terhindar dari rekayasa kalangan tertentu. Mekanisme pemilu langsung oleh rakyat akan semakin baik bila rakyat sudah dapat menilai secara kritis integritas dan kemampuan setiap calon. Bila belum dapat menilai secara kritis, bukan tidak mungkin kualitas presiden yang terpilih tidak sesuai dengan yang dikehendaki.
            Aspek lain dari mekanisme suksesi yang perlu diperhatikan adalah bagaimana jika pergantian kepemimpinan itu terjadi ditengah-tengah masa jabatan. Pergantian ditengah masa jabatan disebabkan Presiden meninggal atau karena diberhentikan. Seperti yan tercantum dalam Pasal 7A yang menyatakan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabtannya oleh MPR atau usul DPR , apabila terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/ atau Wakil Presiden.
            Untuk mengatasi suksesi ditengah masa jabatan, Undang-Undang Dasar telah mengaturnya di dalam Pasal 8. Menurut Pasal 8 ayat 1 menyatakan bahwa jika Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia digantikan oleh Wakil Presiden sampai habis masa jabatannya. Namun, dalam Pasal 8 ayat 2 juga menyatakan jika terjadi kekosongan Wakil Presiden, selambat-lambatnya dalam waktu enam puluh hari, MPR menyelenggarakan siding untuk memilih Wakil Presiden dari dua calon yang diusulkan oleh Presiden.
            Apabila terjadi kasus Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya secara bersamaan, maka sesuai ketentuan Pasal 8 ayat 3, Pelaksana tugas kepresidenan adalah menteri luar negeri, menteri dalam negeri, menteri pertahanan secara bersama-sama. Selambat-lambatnya 30 hari setelah itu, MPR menyelenggarakan siding untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden dari dua pasangan calon Presiden dan Wakil presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang paket calon Presiden dan Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan sebelmnya, sampai habis masa jabatannya.
D. Moralitas untuk Mendukung Suksesi
            Moral dapat diartikan sebagai pengaturan perbuatan manusia sebagai manusia dilihat dari segi baik atau buruknya perilaku tersebut. Artinya, moral merupakan suatu indicator penilaian perilaku manusia, apakah tindakan yang dilakukannya baik atau buruk jika dipandang dari harkat dan martabatnya sebagai manusia. Moral tidak dapat dilepaskan dari berbagai bidang kehidupan, termasuk dari politik. Moral akan membuat politik lebih berjalan dengan baik. Tanpa moral, banyak para elit politik yang akan melanggar hukum yang dibuatnya sendiri. Contohnya saja kasus korupsi yang marak terjadi. Para pejabat negara sendiri yang membuat Undang-Undang, namun mereka sendiri yang akhirnya terjerat hukum yang dibuatnya.
            Namun, ada juga pihak yang menganggap bahwa politik dan moral adalah dua hal yang harus dipisahkan. Salah satu yang berpendapat demikian adalah Machiavelli, yang mengemukakan bahwa politik seringkali dianggap tidak memerlukan moral. Pendapat ini kemudian dibantah oleh Paul Ricouver yang menyatakan bahwa hubungan antara politik dan moral akan terlihat betapa politik mendapatkan martabat yang dimilikinya. Artinya, moral membuat politik lebih memiliki derajat yang tinggi karena para elit politik di dalamnya memiliki kepribadian yang baik untuk menunjang menjalankan sistem politik
            Sebagai pemegang kekuasaan untuk menjalankan negara, presiden dituntut untuk memiliki moralitas yang tinggi. Suksesi akan berhasil jika peralihan kekuasaan jatuh ke tangan orang yang tepat, yaitu orang yang memiliki kualitas kemampuan dan moral yang berkualitas sebagai orang yang menjadi nomor satu di negara ini. Moralitas seorang pemimpin harus sesuai dengan asas-asas moral yang terkandung di dalam Pancasila, seperti menghormati Hak Asasi Manusia (HAM), menggunakan milik publik untuk kepentingan public, perlakuan yang sama terhadap semua warga negara, mencegah ketidakadilan dan mewujudkan keadilan sosial, mengayomi dan melayani semua golongan.
            Lembaga kepresidenan hanya akan dapat membawa bangsa  dan negara ini ke tujuan yang terdapat dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, apabila:
a. Memiliki kekuasaan yang memadai untuk implementasi dan menegakkan hukum;
b. Mendapatkan kekuasaan dari rakyat melalui pemilu yang kompetitif dan adil (legitimasi dari rakyat);
c. Bertindak dengan persetujuan badan perwakilan rakyat (by consent of the people);
d. Menggunakan kekuasaan sesuai dengan konstitusi dan Undang-Undang (rule of law);
e. Mempertanggungjawabkan tindakannya secara politik kepada badan perwakilan rakyat dan secara hukum kepada badan peradilan yang independen.
            Sebagai warga negara kita dituntut kritis ketika memilih pemimpin yang akan meneruskan estafet kepemimpinan bangsa ini. Oleh karena itu, sebelum memilih, kita harus mengenal dengan jelas karakter dan kejelasan visi misi pemimpin tersebut. Jangan sampai kita menyesal karena memilih pemimpin yang salah. Presiden adalah orang yang memegang peran sentral dalam menjalankan roda pemerintahan.



BAB IV
PENUTUP
            Undang-Undang Dasar 1945 merupakan dasar hukum tertinggi di Indonesia. Segala aturan kehidupan harus bersumber dari Undang-Undang Dasar. Tidak boleh ada ketentuan yang bertolak belakang dari ketentuan Pasal-pasal yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar. Kekuasaan presiden sebagai penggerak utama badan eksekutif juga harus sesuai dengan Undang-Undang Dasar. Aturan kekuasaan presiden dimaksudkan agar tidak terjadi pemerintahan yang otoriter, dimana kekuasaan yang dimiliki hanya digunakan untuk kepentingan pribadi dan mengabaikan kepentingan rakyat.
            Amandemen terhadap Undang-Undang Dasar dimaksudakan agar aturan yang terdapat dalam Undang-Undang Dasar dapat selaras dengan perkembangan kehidupan di masyarakat. Selain itu, amandemen Undang-Undang Dasar juga dilakukan untuk mengganti paal-pasal yang dianggap kurang jelas aturannya. Bunyi pasal yang kurang jelas dapat disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu untuk menyalahgunakan kekuasaan.
            Regenerasi kepemimpinan harus terjadi agar tidak terjadi kemungkinan pemerintah berubah menjadi otoriter karena terlalu lama memegang kekuasaan. Selain itu, regenerasi diharapkan dapat membawa perubahan yang lebih baik. Salah satu cara regenarasi adalah dengan suksesi, yaitu proses pergantian kepemimpinan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Di Indonesia, suksesi dilakukan melalui pemilu.
            Suksesi bukan hanya sekedar mengganti pemimpin yang lama dengan pemimpin yang baru. Lebih dari itu, suksesi diharapkan mampu mengubah program program pemerintah yang lama dengan program baru yang lebih baik. Suksesi juga harus memperhatikan mora dari calon pemimpin yang baru. Baik buruknya moral seorang pejabat akan mempengaruhi cara kerjanya dalam memimpin sebuah negara. Kita membutuhkan pemimpin yang memperhatikan kepentingan rakyat, bukan hanya sekedar memperhatikan kepentingan pribadi.
DAFTAR PUSTAKA

Budiarjo, Miriam. 2008. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Manan, Bagir. 2001. Teori dan Politik Konstitusi. Bandung: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional
Nurtjahjo, Hendra. 2008. Filsafat Demokrasi. Jakarta: PT Bumi Aksara
Sarjadi, Soegeng. 1998. Drama Politik tanpa Skrip. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Suharto, Susilo. 2006. Kekuasaan Presiden RI dalam Periode Berlakunya UUD 1945. Yogyakarta: Graha Ilmu
Surbakti, A.Ramlan. 1998. Reformasi Kekuasaan Presiden. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia
Team MGMP PKn SMA. 2012. Pendidikan Kewarganegaraan. Bandung: Creative Computer Graphic. CV

Komentar

Popular post

makalah emotional intelligence

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang             Kecerdasan intelektual seringkali menjadi ukuran sebagian besar orang untuk meraih kesuksesan. Banyak orang berpikir, dengan kemampuan intelektual yang tinggi, seseorang bisa meraih masa depan yang   cerah dalam hidupnya. Tidak heran, banyak orang tua selalu menekankan anaknya untuk meraih nilai sebaik mungkin agar kelak memiliki masa depan yang cemerlang. Sistem pendidikan di negara kita yang lebih menekankan pada prestasi akademik siswa atau mahasiswa juga semakin mendukung argumen tersebut. Padahal kenyataannya, kecerdasan intelektual bukanlah hal mutlak yang dapat menjamin kesuksesan seseorang.             Mungkin kita sering bertanya-tanya mengapa orang yang ber-IQ tinggi justru banyak yang mengalami kegagalan dalam karirnya. Sedangkan orang yang ber-IQ sedang justru dapat lebih sukses dari orang yang ber-IQ tinggi. Hal itu disebabkan karena ada satu kecerdasan yang lebih berpengaruh dalam menentukan kesuksesan seseoran

BOOK REPORT FILSAFAT MORAL

BAB   I PENDAHULUAN 1.1   Identitas Buku Judul buku       : Filsafat Moral Penulis                : James Rachels Cetakan              : ke enam Tahun terbit      : 2013 Penerbit              : Kanisius, Jl. Cempaka 9, Deresan, Yogyakarta 55011 Halaman             : 394 lembar Harga                 : Rp. 52.000,00 Penerjemah       : A. Sudiarja 1.2   Latar Belakang Penulisan Persoalan-persoalan amoral dewasa ini dinilai semakin memprihatinkan. Banyak kalangan masyarakat yang berperilaku melawan aturan-aturan moral. Aturan yang semula ditaati demi terciptanya keteraturan sosial, kini dengan mudah ditentang oleh banyak kalangan. Perbuatan amoral seolah menjadi hal lumrah di masyarakat. Keteraturan sosial semakin jauh dari harapan. Perubahan zaman yang diwarnai dengan arus globalisasi dan modernisasi merubah segala etika dan aturan moral menjadi sesuatu yang kuno, sehingga banyak kalangan yang meninggalkannya. Degradasi moral yang melanda generasi m

Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan

A.     Pendahuluan Bahasa merupakan   alat komunikasi yang penting   agar manusia dapat saling berinteraksi dan berbagi informasi dengan manusia yang lain. Bahasa ada yang digunakan secara lisan, adapula yang digunakan dalam bentuk tulisan. Bahasa melengkapi anugerah yang diberikan Tuhan kepada manusia. Melalui bahasa, manusia dapat terus mengembangkan kemampuan menalar yang dimilikinya. Kemampuan menalar tersebut sangat penting untuk mengembangkan kemampuan manusia agar terus berkembang kearah kemajuan. Hal itulah yang membuat perkembangan manusia cenderung dinamis. Mengingat pentingnya bahasa dalam kehidupan manusia, maka penggunaan bahasa harus benar agar dapat dimengerti oleh manusia lain dan tidak menimbulkan kesalah pahaman, terutama dalam penggunakan bahasa tulisan. Dalam menulis, manusia tidak bisa sekehendak hati, tetapi harus mematuhi aturan-aturan yang berlaku. Di Indonesia, aturan menulis harus sesuai dengan Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan. Penetapan atur