Langsung ke konten utama

Makalah Perang Kebudayaan



BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
            Pada dasarnya kebudayaan merupakan keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakannya untuk memahami dan menginterpretasikan lingkungan dan pengalamannya, serta menjadi landasan bagi tingkah lakunya. Namun pada saat ini, seiring berkembangnya zaman dan pesatnya arus globalisasi budaya mulai luntur, bahkan terjadi perang budaya antara orang barat dan orang timur. Contohnya seperti negara Korea dan negara-negara lainnya yang telah membentuk serangan budaya dengan fashion, film, food dan lain-lain.
            Perang kebudayaan merupakan suatu kekuatan politik dan ekonomi untuk melakukan penyerangan atau teror halus terhadap prinsip-prinsip dan unsur-unsur kebudayaan negara lain. Serangan tersebut bertujuan untuk merealisasikan keinginannya menundukan negara lain agar berada dibawah kendalinya. Disisi lain, perang kebudayaan dilakukan secara diam-diam tanpa menimbulkan kegaduhan. Perang kebudayaan bertujuan untuk menggantikan budaya setempat menjadi budaya asing. Selain itu untuk melakukan serangan budaya terhadap nilai-nilai  yang menyangga suatu negara dan bangsanya dengan berbagai cara  dan sarana. Oleh karena itu, dengan adanya perang kebudayaan ini, tidak dapat dipungkiri akan menimbulkan dampak buruk terhadap kebudayaan suatu negara. Akibatnya, budaya yang ada di negara setempat akan luntur, bahkan sudah tidak dipertahankan oleh masyarakatnya karena lebih peduli terhadap budaya asing.
1.2 Rumusan Masalah
            Ada banyak pertanyaan yang timbul saat kita mendengar tentang perang kebudayaan. Didalam makalah ini akan membahas mengenai:
1. Apa yang dimaksud dengan perang kebudayaan?
2. Apa saja dampak dari perang kebudayaan?
3. Bagaimana sikap untuk menghadapi perang kebudayaan?
1.3 Tujuan Penulisan
            Adapun tujuan penulisan dari makalah ini adalah:
1. Untuk mengetahui pengertian perang kebudayaan
2. Untuk mengetahui dampak dari perang kebudayaan
3. Untuk mengetahui sikap menghadapi perang kebudayaan
1.4 Manfaat Penulisan
1. Untuk menambah keterampilan penulis dalam membuat karya ilmiah
2. Sebagai sarana untuk menambah pengetahuan bagi penulis dan pembaca mengenai perang kebudayaan
3. Sebagai acuan pembaca dalam pembelajaran mengenai perang kebudayaan








BAB II
ISI
2.1 Pengertian Perang kebudayaan
            Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), perang adalah permusuhan antara dua negara (bangsa, agama, suku, dsb); pertempuran besar bersenjata antara dua pasukan atau lebih (tentara, lascar, pemberontak,dsb); perkelahian; konflik; cara mengungkapkan permusuhan. Pengertian tersebut menunjukan bahwa perang dimaknai sebagai suatu pertentangan yang terjadi diantara dua kelompok atau bahkan lebih, disertai aksi kekerasan untuk memperebutkan suatu tujuan. Penyebab dari terjadinya perang dapat disebabkan oleh berbagai alasan, seperti perbedaan ideology, keinginan untuk memperluas wilayah kekuasaan, perbedaan kepentingan, perampasan sumber daya alam, politik adu domba, dan keinginan untuk menguasai wilayah kekuasaan seluruh dunia.
            Perang yang identik dengan kekerasan sebagian besar hanya terjadi di masa dahulu. Saat ini, perang secara fisik sudah jarang ditemukan, kecuali perang Isarael dengan Palestina yang belum berujung damai. Perang di era modern lebih mengarah kepada penguasaan teknologi dan industri. Artinya, perang di era modern lebih menekankan pemikiran dan persaingan untuk menunjukan yang terbaik diantara negara-negara lain. Kita dapat merasakan betapa pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini. Berbagai penemuan-penemuan baru dicptakan oleh para ilmuan dari berbagai negara untuk menunjukan kualitas negaranya. Setiap negara menginginkan negaranya menjadi yang terbaik dan diakui di dunia internasional. Oleh karena itu, karya-karya yang telah diciptakan akan disebarluaskan ke berbagai penjuru dunia, sehingga produk-produknya merajai di berbagai negara. Selain karya, negara-negara di seluruh dunia juga berusaha untuk menyebarkan pemikiran, ideologi dan kebudayaan mereka ke negara lain.
           

Perang memiliki berbagai jenis yang dibedakan atas dasar cara berperang, yaitu:
a. Perang dingin, merupakan perang yang tidak menggunakan kekerasan bersenjata secara terbuka, namun kondisi dan suasana antara dua pihak yang bertentangan sangat mirip dengan keadaan perang. Artinya, tidak ada kekerasan yang dilakukan oleh pihak-pihak yang berperang. Kondisi kedua pihak tampak baik-baik saja. Namun, terjadi persaingan dari dalam, yaitu persaingan untuk menjadi negara yang paling hebat. Contohnya perang Uni Soviet dengan Amerika Serikat.
b. Perang umum, yaitu perang yang mengejar tujuan luas dengan menggunakan seluruh kemampuan negara dan dilakukan di seluruh dunia. Maksudnya adalah, perang umum memiliki cakupan perang yang luas, hamper semua negara terlibat. Kekerasan senjata tidak dapat dihindarkan. Perang ini memakan banyak korban dan kerugian materil. Contohnya perang dunia
c. Perang terbatas, yaitu perang yang terjadi antara dua bangsa saja atau perang yang tidak melibatkan banyak pihak secara luas dilihat dari tujuan perang, penggunaan kekuatan dan ruang lingkup wilayahnya. Artinya, perang ini terjadi dalam ruang lingkup yang kecil, karena persoalan yang menjadi penyebab perang hanya menjadi kepentingan kedua pihak yang berperang. Contohnya perang Indonesia dengan Belanda
            Perang yang akan kami kupas lebih lanjut adalah menegnai perang dingin. Gejala perang dingin di era globalisasi saat ini sangat terasa, yaitu perang antara budaya barat dan budaya timur. Dunia seolah terbagi menjadi dunia barat dan dunia timur, yang berbeda dari segi ideologi, gaya hidup, dan cara pemikirannya. Sampai saat ini, pemikiran-pemikiran yang berbeda itu masih menimbulkan pertentangan. Bahkan, dunia barat selalu berusaha menyebarkan paham liberalisme yang dianutnya kepada dunia timur, melalui cara-cara halus agar rencana mereka berhasil tanpa dicurigai oleh dunia timur. Salah satu cara yang dilakukan oleh dunia barat adalah melalui budaya. Namun, semakin lama dunia timur akhirnya menyadari pengaruh dunia barat yang semakin merajalela. Akhirnya tumbuhlah kesadaran untuk melawan pengaruh barat tersebut melalui perang kebudayaan.
            Pengertian perang kebudayaan dapat kita dapat didalam buku Iman Ali Khamenei yang berjudul “Perang Kebudayaan”. Dalam bab pertama beliau menuliskan bahwa  makna dan maksud “perang kebudayaan” adalah saat suatu kekuatan politik atau ekonomi melakukan penyerangan atau teror halus terhadap prinsip-prinsip dan unsur-unsur kebudayaan umat lain. Perang semacam ini bercorak budaya, karena berlangsung diam-diam tanpa menimbulkan kegaduhan atau menarik perhatian. Kita dapat memahami bahwa perang kebudayaan adalah suatu bentuk penyerangan menggunakan cara-cara halus untuk menyebarluaskan prinsip, unsur-unsur dan paham yang diyakini oleh dunia barat kepada dunia timur.
            Perang kebudayaan dilakukan berdasarkan  dua pilar yang patut kita perhatikan dengan seksama. Pertama, menggantikan budaya setempat (lokal)  dengan budaya asing. Dunia barat berusaha menyebarluaskan budaya mereka melalui berbagai media agar dapat diketahui oleh dunia timur. Budaya timur akan merasa tertarik dengan budaya mereka karena melihat bahwa budaya barat lebih menarik dari budaya timur. Kedua, melakukan serangan budaya terhadap nilai-nilai yang menyangga negara  dan bangsanya dengan berbagai cara dan sarana. Hal ini berkaitan dengan strategi halus yang digunakan oleh bangsa barat dengan memasukan pemikiran mereka kedalam pola kehidupan orang timur tanpa disadari oleh orang timur sebagai suatu penjajahan dan perusakan.
Cara yang paling terkenal adalah melalui 3F, yaitu Fun (kesenangan), food (makanan) dan fashion (pakaian). Budaya barat menawarkan gaya hidup yang penuh dengan kesenagan, dimana tidak mempermasalahkan aturan moral dan agama. Alkohol, narkoba, dan pergaulan bebas dihalalkan asalkan mendapatkan kesenangan dan kebahagiaan hidup didunia. Kita dapat saksikan saat ini, generasi muda banyak yang terjerumus kedalam dunia hitam tersebut sehingga masa depan mereka hancur dan berakhir di penjara. Padahal generasi muda adalah penerus kehidupan bangsa.
 Budaya fun juga disebarkan melalui media, seperti televisi dan film. Adegan-adegan di film kini telah terkontaminasi oleh pengaruh barat, dimana menayangkan gaya hidup bebas yang glamor, perkelahian, dan aksi kriminalitas yang tidak mendidik.  Misalnya saja cerita-cerita di sinetron yang menampilkan adegan pacaran, perselingkuhan dan sikap saling memusuhi diantara pelajar. Melalui food, orang barat menyebarluaskan makanan yang dibuat semenarik mungkin dengan rasa yang menggoda, namun kita tidak mengetahui apakah bahan-bahan yang diolah terjamin halal atau tidak. Selain itu, fashion juga menjadi incaran dari orang barat. Busana orang timur yang tertutup, kini sudah terkontaminasi oleh busana orang barat yang terbuka. Sampai akhirnya, hasilnya dapat kita lihat banyak perempuan yang sudah tidak malu lagi memperlihatkan auratnya dimuka umum.
            Perang kebudayaan menghendaki generasi baru melucuti keyakinan dirinya dengan berbagai cara. Pertama, menghilangkan keyakinan mereka terhadap agamanya. Sekularisme mulai disebarkan, sehingga tanpa disadari banyak orang yang kini sudah mulai menjauh dari nilai-nilai agama. Mereka terbawa oleh berbagai kesenangan duniawi yang ditawarkan oleh orang barat. Hasilnya, kita rasakan saat ini betapa kita lebih mementingkan jalan-jalan di mall, mengerjakan tugas dan larut dalam pekerjaan daripada beribadah kepada Allah. Kedua, memutuskan hubungan mereka dari keyakinan mereka terhadap prinsip-prinsip revolusi. Salah satu prinsip revolusi yaitu ingin membaut negara menjadi lebih baik dalam persatuan antara rakyat dan pemerintahnya. Orang barat menanamkan kehidupan yang individualis sehingga kemakmuran dan kemajuan hidup hanya dirasakan oleh perseorangan. Dampaknya sangat terasa terutama di perkotaan, dimana tetangga yang satu sudah tidak mengenal tetangga yang lain karena jarang bertemu dan sibuk bekerja dari pagi sampai malam.
 Ketiga, menjauhkan mereka dari pemikiran yang mampu menghasilkan kekuatan besar yang berwibawa supaya menggiring mereka  untuk merasakan keadaan yang diliputi ketakutan dan ancaman. Orang barat meracuni pemikiran kita melalui kesenangan gaya hidup seperti alkohol yang akan membuat saraf otak kita melemah kinerjanya. Sehingga kita akan diperbudak oleh produk-produk setan yang dibuat oleh barat dan tidak mampu memikirkan pemikiran-pemikiran maju untuk memajukan dunia timur.
            Dalam perang kebudayaan, para musuh  berusaha memaksakan unsur budayanya kepada negeri yang diserangnya. Mereka menanamkan keinginan dan kepentingannya jauh di lubuk jiwa bangsa yang dijadikan targetnya. Tentunya sudah diketahui pasti ada kepentingan dan keinginan musuh tersebut. Namun, mereka pandai bersandiwara sehingga membuat kita tidak menyadari maksud terselubung dari mereka. Kita sudah dibutakan oleh budaya 3F yang mereka buat, sehingga tidak mengkaji lebih dalam menegani maraknya budaya barat yang sudah menyebar.
Seorang Antropolog bernama Samuel P Huntington pernah menulis buku  berjudul The Clash of Civilization. Inti dari buku ini adalah bahwa suatu ketika akan datang masa dimana kebudayaan-kebudayaan yang satu akan saling bersaing dengan kebudayaan-kebudayaan yang lain. Persaingan ini akan menyebabkan benturan-benturan kebudayaan. Akibat dari benturan ini adalah munculnya satu kebudayaan pemenang, yang artinya kebudayaan-kebudayaan lain yang mengalami kekalahan akan tersingkir bahkan terhapus dari muka bumi. Dengan kata lain perang kebudayaan melahirkan sang pemenang yang akan menjajah bangsa lain dengan budayanya. Dapat kita lihat sekarang ini sebut saja ketika budaya Barat mendominasi dunia. Bahkan sekarang ini kerap kali didengar bahwa peradaban dunia disebut sebagai peradaban dunia Barat. Ini merupakan salah satu kenyataan dari teori yang ditulis oleh Samuel P Hunington yang berisi tentang benturan kebudayaan.
            Teori Benturan Peradaban yang dipaparkan oleh Samuel Huntington, menunjukkan bahwa para ahli teori Barat, dalam rangka menyukseskan dan memaksakan pandangan-pandangan mereka, mencanangkan perang antara peradaban dan kebudayaan Barat melawan peradaban dan kebudayaan bangsa-bangsa lain. Berbagai media massa Barat juga melancarkan propaganda luas, menyerang nilai-nilai agama, kemanusiaan, dan nasionalisme, seperti perlawanan menentang penjajahan, perjuangan menegakkan keadilan, perdamaian dan sebagainya. Serangan propaganda ini dilakukan dengan metode-metode yang sangat halus, sehingga tidak terasa oleh masyarakat pada umumnya. Media-media ini, dalam berbagai film, berita dan laporan, secara tidak langsung, menyerang dan melecehkan kebudayaan dan peradaban bangsa-bangsa lain. Pelecehan terhadap kesucian-kesucian agama dan kehormatan nasional, termasuk diantara metode lain yang digunakan oleh media-media Barat, dengan tujuan merendahkan kesucian-kesucian tersebut dalam pandangan masyarakat umum. Dunia pernah digemparkan dengan pembuatan film tentang Nabi Muhammad yang sangat melecehkan umat Islam. Hal itu merupakan salah satu bukti yang menunjukan bahwa dunia barat tidak segan-segan membuat sesuatu untuk menyalurkan pikiran dan kebencian mereka kepada suatu agama.
            Mas Itempoeti pernah memberikan ulasan menarik tentang “imperialisme budaya” melalui proses rekayasa sosial yang melibatkan dua lembaga sosial-budaya yaitu pendidikan dan media massa. Menurut beliau, lembaga pendidikan dan media massa adalah dua alat yang sangat potensial untuk bisa mencetak manusia-manusia baru Indonesia yang bersikap dan berperilaku sesuai dengan standar spesifikasi yang mereka tentukan. Dari dua lembaga sosial-budaya tersebut akan lahir anak-anak bangsa yang tidak lagi mengenal nilai-nilai budaya bangsanya. Maka tidak heran jika saat ini bangsa yang pernah mengalami kejayaan dan kegemilangan di masa lalu telah mengalami keterpurukan yang luar biasa di berbagai aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Suka atau tidak, bangsa ini adalah bangsa yang telah kehilangan jati dirinya sebagai sebuah bangsa. Sebuah bangsa yang begitu bangga menjadi subordinasi dari imperialisme budaya bangsa lain.
            Bukti dari fenomena diatas adalah banyaknya anak-anak yang diperbudak oleh teknologi. Mereka lebih sering memainkan gadget  daripada membaca buku. Tayangan televise pada waktu magrib dan isya, membuat anak-anak mengabaikan waktu shalat dan kesempatan untuk membaca Alquran di masjid. Sedangkan sistem pendidikan, seolah membuat siswa terjebak dalam sekularisme. Pelajaran agama hanya diberikan waktu satu kali pertemuan dalam seminggu. Selain itu, jam pelajaran seringkali berbenturan dengan waktu shalat dzuhur, sehingga shalt dzuhur dilakukan di akhir waktu.
            Senjata budaya yang lain adalah teknologi, dengan mengangkat isu korelasi budaya dan teknologi. Isu yang menciptakan opini bahwa setiap teknologi itu menyimpan budaya yang khas. Dan, dimana saja teknologi itu masuk ke suatu negara, secara otomatis budayanya pun turut masuk ke dalamnya. Maka itu, kita dipaksa memilih dua pilihan; menerima teknologi dengan segenap budaya yang dikandungnya, atau sama sekali menolak secara mutlak teknologi berikut budayanya. Karena teknologi itu diperoleh dari dunia Barat, maka mau tidak mau budaya pun harus datang dari sana pula.
2.2 Dampak perang kebudayaan
            Kita akan menguraikan dampak perang budaya yang terjadi dengan mengambil salah satu contoh negara yang ada di belahan dunia timur, yaitu Indonesia. Dampak perang kebudayaan dari masa ke masa, yaitu:
A. Masa Penjajahan
Belanda dengan kongsi dagangnya (VOC) yang di pimpin oleh Cornelis De Houtman memasuki bumi Nusantara (1595), mendarat di Banten dengan tujuan merampok kekayaan alam dengan kedok berdagang rempah-rempah. Pada awal abad ke 17 (tahun 1602), kedok itu terbuka. Parlemen Belanda mengutus VOC sebagai wakil dari pemerintahan Belanda, yang bertugas untuk memonopoli perdagangan rempah-rempah di Nusantara dan mengisi kas Belanda yang pada masa itu sedang menghadapi perang dengan Spanyol.
            Dalam usaha mempertahankan dominasinya, VOC merasa perlu melakukan penyelidikan kebudayaan masyarakat Nusantara. Awalnya para misionaris dibebankan tugas untuk melakukan penelitian terhadap kebudayaan dan masyarkat Nusantara. Kegiatan tersebut tidak berjalan dengan baik karena pemuka agama Islam dengan cepat mengantisipasinya dengan cara menghalang-halangi misionaris masuk ke daerahnya.  Pada tahun 1778, Inggris menyerbu Jawa, dan kekuasaan VOC direbut oleh Inggris. Raffles ditunjuk sebagai Gubernur Jendral. Raffles mempunyai perhatian serius terhadap kajian ilmu pengetahuan dan kajian terhadap masyarakat Jawa. Raffles mendirikan Bataviasche Genootschap van Kusten en Westenscappen sebuah lembaga penelitian yang akan bekerja untuk mempelajari bahasa, hubungan sosial, adat dan kebudayaan masyarakat Jawa. Dari data-data yang telah dikumpulkan lembaga tersebut, Thomas Stamford Raffles menulis ”History of Java” pada abad ke 19.
            Kesimpulan masyarakat Jawa kuno seperti yang dilukiskan Pramoedya dalam tetralogi Pulau Buru dengan mengutip Mpu Tantular menerangkan bahwa bangsa Jawa adalah masyarakat yang mudah menyesuaikan diri akibat peristiwa peperangan-peperangan masa lalu (konflik Mahayana dan Hinayana dalam Budha) yang banyak memakan korban nyawa, yang akhirnya melahirkan watak kompromi, karena hanya ada dua pilihan bagi bangsa yang kalah, yakni menyesuaikan diri atau melarikan diri. Kompromi ini juga bisa di lacak dari penggabungan dua keyakinan, yakni Wangsa Syailendra yang Budha dan Wangsa Sanjaya yang Hindu, hingga melahirkan Shiwa Budha ditandai dengan perkawinan Rakai Pikatan dan Pramodawardhani. Untuk persatuan Shiwa – Budha, dalam kitab Sutasoma, Mpu Tantular Menulis: ”Siwa Budha Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa”.
            Akhirnya, Jawa juga menyesuaikan diri dengan pemerintahan kolonial Belanda, dengan menerima beban pajak, sewa tanah, tanam paksa (culturstelsel), dan hukum kolonial Belanda. Pemerintahan Hindia Belanda mereorganisasi tatanan pemerintahan raja-raja di Jawa dalam beberapa jabatan kepegawaian, yakni: Bupati, Wedana dan Asisten Wedana yang semuanya berada dibawah kendali Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Buitenzorg (Bogor).
            Untuk mengukuhkan kekuasaannya, Belanda mendirikan sekolah–sekolah berbahasa Belanda, menyebarkan agamanya (Kristen), mengeluarkan hukum kolonial untuk mengadili perkara pribumi, mengajarkan kebiasaan–kebiasaan Belanda sebagai kebiasaan yang terpuji dan beradab, mengeluarkan paket kebijakan rasial yang intinya rakyat pribumi berkedudukan lebih rendah dari peranakan Belanda (Indo) dan Belanda totok, dan menjejali pikiran masyarakat pribumi dengan koran-koran berbahasa Belanda.
Koran sebagai produk kebudayaan mempunyai arti penting dalam menundukan kebudayaan suatu bangsa. Didalam koran terbitannya sendiri, Belanda selalu memuji-muji pemerintahannya yang lebih baik daripada pemerintahan raja-raja Jawa yang memandang rendah kemanusiaan, gemar kawin dan berlaku bebas untuk mengambil anak gadis siapa saja yang hendak di peristrinya. Belanda mengutuk kekuasaan raja-raja jawa terdahulu dengan memberi label ”terbelakang dan biadab”, sementara dibawah pemerintahannya, Hindia Belanda menjadi beradab. Pendeknya, koran dijadikan media untuk membenarkan apa saja yang diperbuat pemerintahan Belanda.
            Dalam hal ini, Belanda sudah mengukuhkan kebudayaan baru yang hendak ditujukan untuk menghabisi kebudayaan lama. Generasi awal intelektual Indonesia pun memuji-muji kemajuan Belanda dan Eropa, serta enggan berpakaian daerah (Jawa) dan lebih menyukai cara berpakaian Belanda, dan juga menulis dalam Belanda. Sedangkan bahasa Melayu di cap sebagai bahasa terbelakang dan hanya dipakai oleh rakyat pribumi yang terbelakang.
B. Perjuangan Membangun Kebudayaan Nasional di Zaman Pergerakan
            Sumpah Pemuda (1928) adalah sebuah tekad untuk membentuk nation yang mempunyai arti penting dalam perkembangan membangun kebudayaan nasional. Satu bahasa Indonesia adalah tekad meruntuhkan dominasi bahasa Belanda sebagai bahasa penguasa, dan menjadikan bahasa Melayu (yang disempurnakan) menjadi bahasa persatuan nasional, menjadi bahasa pergerakan, dan bahasa perjuangan untuk kemerdekaan.
            Perjuangan untuk mengukuhkan bahasa Melayu menjadi bahasa persatuan (resmi) juga mengalami perdebatan yang panjang. Periode 1935–1939 adalah masa penyempurnaan bahasa Indonesia dengan beberapa karya tulis dari intelektual Indonesia sebagai bahan acuannya, antara lain, karangan St. Takdir Alisyahbana, Amrin Pane, Amir Hamzah dan angkatan Balai Pustaka lainnya. Sebelum periode ini, beberapa tulisan Bung Karno dan Bung Hatta masih merupakan bahasa campuran, yakni bahasa Melayu bercampur Belanda. Kemudian diadakan kongres Bahasa Indonesia di Solo pada tahun 1938 untuk menyempurnakan bahasa Indonesia.
            Sejak Medan Priyayi merintis kelahiran koran pribumi dan dapat diterima baik oleh rakyat pribumi, beberapa koran berbahasa melayu pun bermunculan dan berposisi sebagai organ-nya organisasi pergerakan, seperti Pewarta Oemoem (Parindra), Adilpalametra dan Toentoenan Desa (Budi Utomo), Oetoesan Hindia (SI), Sinar Djawa dan lain-lain. Koran pribumi adalah counter opini dari koran-koran Belanda yang pro pada kepentingan politik dan akumulasi modal Belanda.
            Pada masa pendudukan Jepang, lagu-lagu perjuangan menjadi bagian yang tak kalah penting dalam menyuarakan kemerdekaan kepada rakyat pribumi. Tahun 1942, saat negara sekutu dikalahkan oleh Jepang, lagu Indonesia Raya yang diciptakan oleh WR. Supratman dikumandangkan radio pusat di Jakarta. Untuk mengambil hati rakyat Indonesia, Jepang juga mengumandangkan lagu tersebut bersamaan dengan lagu Nippon Hosyo Kanri di radio Jepang yang berpusat di Tokyo. Tapi ternyata kegiatan itu hanya berlangsung singkat dan hanya bertujuan untuk menjinakkan bangsa Indonesia, dan segera melarangnya saat bangsa Indonesia tengah serius menyempurnakan kemerdekaannya dengan membentuk sistem pertahanan rakyat. Jepang yang sejak semula ingin berkuasa atas Asia lantas menghentikan sandiwara empati tersebut, dan menggantikannya dengan kewajiban mengumandangkan lagu ”Kimigayo” dalam setiap upacara kenaikan bendera Jepang.
            Lahirnya lagu-lagu perjuangan Indonesia seperti ”Maju Tak Gentar” yang diciptakan oleh Cornel Simanjuntak, ”Satu Nusa Satu Bangsa” ciptaan Liberty Manik, ”Berkibarlah Bendera-ku” ciptaan Bintang Sudibyo (Ibu Sud), ”Syukur” ciptaan Husein Mutahar, dan ”Halo-halo Bandung” ciptaan Ismail Marzuki adalah hasil dari persatuan seniman yang tergabung didalam Badan Pusat Kesenian Indonesia (BPKI) pada tahun 1942 yang dipimpin oleh Sanusi Pane dan Mr. Sumanang, dan nama-nama diatas yang juga menjadi pengurusnya.
            Setelah Jepang menyerah kepada sekutu, tantara NICA (Belanda) masuk kembali ke Indonesia dengan membonceng pada pasukan sekutu yang dikomandoi Inggris selaku wakil negara sekutu pada tahun 1945. Dua tahun kemudian muncullah ketegangan yang berlanjut pada Agresi Militer Belanda pertama dan setahun kemudian tindakan yang sama terulang yakni Agresi Militer Belanda ke II. Lagu-lagu perjuangan seperti yang tersebut diatas juga berperan penting dalam membakar semangat juang tentara rakyat yang masih bayi, laskar-laskar rakyat dan pemuda-pemuda Indonesia untuk berjuang mengangkat senjata membela dan mempertahankan kemerdekaan.
C. “Imperialisme Budaya” dan peran Media Massa
            Herb Schiller dalam Communication and Cultural Domination berpendapat bahwa kemunculan teori Imperialisme Budaya dapat dilihat dari dominasi barat atas media diseluruh dunia. Barat sebagai perwakilan kekuatan modal, dengan kekuatan modalnya menguasai pemberitaan di dunia ini. Mereka cukup mempunyai akses diseluruh dunia, begitu juga dengan jaringannya. Dengan kecanggihan tekhnologi, kekuatan modal dan luasnya jaringan, media barat menjadi sangat mengesankan bagi dunia ketiga.
            Barat kemudian meracuni alam pikiran rakyat dunia ketiga dengan berita-beritanya yang mewakili kepentingan korporasi modal dunia, menyensor berita-berita perjuangan rakyat dunia ketiga dan berita-berita lain yang menentang dominasinya, menyensor berita bahkan tidak memberitakan kejahatan-kejahatan yang dilakukannya (seperti kudeta terhadap Hugo Chavez tahun 2002), membelokan sejarah dengan film-filmnya (seperti film perang Vietnam misalnya), meracuni para pemuda dengan style berpakaian ala mereka, berpenampilan glamour, budaya kekerasan liar, gengster, mafia, sex bebas, narkoba, menayangkan kedermawanan mereka terhadap orang miskin dengan tayangan reality show dan lain-lain.
            Kehebatan media barat dengan propaganda massif yang terus menerus di konsumsi oleh negara dunia ketiga akan berbuah menjadi pengekoran, yakni peniruan secara vulgar apa-apa saja yang mereka lihat dan ditayangkan dalam kehidupan sehari-hari. Proses peniruan ini terjadi tanpa sadar. Proses peniruan inilah yang menghancurkan budaya asli negera dunia ketiga. Kita tentunya masih ingat bagaimana media barat mempropagandakan ”terorisme dan penjahat perang” serta merasionalisasi tindakan AS menginvasi Irak sebagai upaya menciptakan demokrasi di Irak, begitu juga di Libya, Afghanistan, dan yang baru-baru ini sedang menghangat, yakni ketegangan AS dengan Iran dan Korea Utara. Begitulah media barat menyebarkan kebohongan-kebohongan di pikiran rakyat dunia ketiga.
            Media barat juga mengkampanyekan ”klub malam” sebagai gaya hidup kaum profesional, sebagai hiburan pelepas penat bekerja, merendahkan derajat perempuan dengan menjadikannya bintang iklan mobil mewah (berpose seksi dengan menari eksotis dibadan mobil), mengkampanyekan kelestarian alam dan hutan padahal perusahaan mereka adalah pelaku pembalakan liar, menghapus ingatan sejarah dengan cerita-cerita kepahlawanan super hero dari negeri paman Sam, hingga anak-anak di Indonesia lebih mengenal Spider Man ketimbang Untung Suropati yang gagah berani, lebih mengenal Cat Women ketimbang Kartini dll.
            Sepak terjang media barat yang begitu hebat dan massif juga di jadikan standard oleh media massa kita. Stasiun TV kita misalnya, berlomba-lomba mirip dengan media barat. Bahkan beberapa acara memang sengaja di impor ke Indonesia, seperti Indonesian Idol, Take Me Out dan Xfactor misalnya. Begitu juga dengan perfilm-an kita, yang ramai-ramai memproduksi film horror dengan kombinasi cerita porno di dalamnya. Tayangan-tayangan yang menjauhkan orang miskin dari kesadaran kritisnya, dipelopori oleh tayangan reality show yang berempati terhadap orang miskin dan mengaburkan masalah kemiskinan menjadi persoalan takdir hidup dan tidak menyentuh akar persoalannya yakni tanggung jawab negara mensejahterakan rakyatnya.
            Perjuangan mempertahankan kebudayaan di Indonesia akan menjadi berat, karena saat ini yang sedang dilawan adalah ”Imperialisme budaya” yang berbentuk Industri (komersil) yang mengedepankan laba (keuntungan) dan pelipatgandaan keuntungan (akumulasi). Yang dilawan saat ini adalah dominasi kebudayaan ala ”Amerika” yang mengedepankan ”life style” rupanya tengah menjerumuskan rakyat dunia ketiga dalam pola hidup konsumtif, berbeda dengan dominasi kebudayaan kolonial yang berupa sekolah dan perguruan-perguruan tinggi yang mewakili gagasan kolonialismenya. Pengaruh AS masuk ke institusi-institusi pendidikan (negara dunia ketiga) terutama untuk mengembangkan kurikulum pendidikan yang hanya bisa melahirkan para konsumen, tidak lagi produsen. Selain itu juga masuk kedalam institusi agama untuk menyebarkan kepasrahan akan nasib kemiskinan yang di derita sebagai takdir dan ketetapan Tuhan.
            Sekarang, dalam masa demokrasi liberal jalannya kesenian dan kesastraan berjalan dalam bingkai industri. Musik dimonopoli industri, tari-tarian juga demikian, film apa lagi, bahkan karya sastra pun begitu. Dalam masa demokrasi liberal sekarang ini, jalannya kebudayaan tidak identik dengan haluan politik tertentu. Sesuai bangunan sistemnya yang ”liberal” maka kesenian dan kesastraanya juga demikian nasibnya. Namun secara keseluruhan, kehadirannya justru merusak pikiran rakyat.
Perang gagasan adalah hal penting yang harus dilakukan terus menerus. Gagasan akan kebudayaan yang bergaris ”Realisme Revolusioner”  harus lahir mengiringi setiap karya yang mewakilinya. Menjadi sangat penting untuk mengurai sejarah lagu-lagu perjuangan dimasa pergerakan kemerdekaan saat mengulas sebuah album yang berisikan lagu-lagu perjuangan. Begitu juga dengan uraian  sejarah seni rupa yang melukiskan tentang penderitaan dan cita-cita perjuangan kemerdekaan, dan hal yang sama untuk karya-karya sastra yang mewakili semangat revolusioner. Uraian sejarah menjadi penting sebagai upaya mengembalikan ingatan sejarah, bahwa lahirnya seniman musik Indonesia berawal dari lagu-lagu perjuangan, lahirnya karya sastra Indonesia juga demikian bahkan film ”Nyai Dasima” produksi tahun 60-an juga lahir dari semangat yang sama.
Perang gagasan juga harus beriringan dengan perang media. Perang media adalah upaya membuat media massa alternatif untuk berdiri dengan jujur dalam pemberitaan, memfilter opini sesat dan berpihak pada rakyat sebagai pelaksana perubahan kemajuan jaman. Tentunya hal ini tidak mudah, terutama jika kita sadari musuh yang kita hadapi adalah industri besar. Menjadi tidak mudah karena situasi sekarang berbeda dengan situasi dahulu dimana idiologi-idiologi politik sangat berakar kuat dalam pikiran masyarakat. Bagaimanapun sulit dan peliknya jalan revolusi kebudayaan, kita tetap harus membuka jalan.
 Perang budaya, seperti halnya perang-perang yang lain, juga memiliki pemenang dan pihak yang merana karena kalah. Uniknya, perang budaya bukan hanya antara satu orang melawan seseorang lainnya. Perang budaya juga bukan antara satu negara melawan negara yang lain. Perang budaya adalah suatu perang tanpa ampun di mana pihak-pihak tertentu sedang melakukan ekspansi besar-besaran untuk memaksakan budaya tertentu kepada seluruh dunia.
            Apa akibatnya? sungguh sangat fatal, dunia tempat kita tinggal bersama sedang menjadi saksi bagaimana punahnya jutaan kebudayaan yang terjadi dalam hitungan detik. Coba kumpulkan semua orang yang bisa atau yang masih mau disebut "wong Jowo" dan tanyakan, apa mereka masih bisa nembang, main wayang, mengerti silsilah pandawa atau sekedar dapat menulis dalam aksara Jawa. Begitu pula seberapa banyak orang Bali yang bisa yang bisa menari legong dan kecak, atau orang sunda yang lihai bermain angklung.
            Perang budaya ini, juga menggunakan media perang yang jauh lebih ganas dari rudal Taepodong Korea Utara atau misil Scud Amerika Serikat. Perang budaya terjadi setiap menit, bahkan setiap detik, melalui layar-layar televisi, handphone, personal computer, tablet, blackberry, dan lain sebagainya. Perang budaya juga terjadi di mall-mall,di mana sebuah kain berwarna coklat dan bermotifkan kotak-kotak dengan sembarangan di sebut batik, atau ketika bahasa nasional dibelokkan dengan kata-kata populer khas anak yang mengaku gaul. Setiap detik, di atas dipan kayu di desa-desa di Jawa, di dalam pura-pura sakral di Bali, di halaman perkampungan di Papua dan di sanggar-sanggar seni di Sunda, kebudayaan daerah berjuang habis-habisan untuk bertahan, dari penghapusan sistematis melalui gerakan massal budaya elektrik yang garang, beringas dan tak mengenal ampun.Semangat untuk memperpanjang budaya Jawa, Sunda, Minang, Toraja, Alor, Melayu dan lainnya bukannya tidak ada. Tetapi sejauh apakah rakyat pemilik asli budaya itu sadar, bahwa perang budaya sedang terjadi, lalu lantas tergugah untuk menyelamatkan harta benda yang merupakan warisan nenek moyang mereka.
2.3       Sikap untuk menghadapi perang kebudayaan
            Perang butuh kepercayaan dan keyakinan terlebih perang budaya yang bersifat non-fisik yang berlangsung diam-diam tanpa menimbulkan kegaduhan atau menarik perhatian. Kita harus benar-benar mempercayai dan meyakini bahwasanya sekarang kita menjadi target serangan bertubi-tubi perang kebudayaan dari berbagai arah baik barat maupun timur. Serangan budaya ini bersifat menyeluruh, terorganisir dan terencana.
            Perang kebudayaan lebih menyerupai bom kimia yang meledak di kegelapan malam yang tak seorangpun merasakannya. Namun, setelah ledakan itu terjadi beberapa saat, niscaya kita menyaksikan banyak orang yang wajah dan tangannya terluka parah. Perang kebudayaan berlangsung dalam bentuk seperti itu (ledakan bom kimia); secara tiba-tiba kita akan melihat akibat dan dampaknya secara jelas di sekolah-sekolah, jalan-jalan, organisasi, dan diberbagai pejuru tempat lainnya.
            Hal-hal yang wajib diperhatikan masyarakat dan tidak boleh dibiarkan seperti ini adalah, pertama, berjaga-jaga menghadapi serangan budaya. Kita harus pandai memilih mana budaya yang boleh diikuti dan mana yang tidak. Kedua, menjaga iman, yaitu tetap memegang teguh ajaran agama dan tidak melupakan Allah dalam setiap aktivitas. Ketiga, tidak melupakan musuh dan tidak mengabaikan terhadap permusuhannya. Kita harus ingat bahwa musuh kita adalah orang barat. Jangan sampai kita teralalu menyanjung budaya mereka. Kita harus tetap mencintai budaya dalam negeri.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Seiring dengan berkembangnya perkembangan zaman yang diiringi dengan kemajuan di bidang iptek serta sarana-sarana teknologi yang semakin cangggih, kita dituntut untuk dapat mengikuti perkembangan zaman tersebut agar menjadi suatu bangsa yang tidak tertinggal dari bangsa lain. Akan tetapi dalam mengikuti perkembangan zaman tersebut kita sebagai bangsa indonesia yang kental akan budaya khasnya dituntut untuk bisa mempertahankan budaya yang menjadi nilai tambah bagi bangsa indonesia, mengingat dalam perkembangan zaman ini banyak sekali pengaruh-pengaruh budaya yang datang dari luar, khususnya datang dari budaya barat yang sifatnya merusak budaya indonesia yang cenderung berbudaya timur yang jelas kedua budaya ini saling bertiolak belakang.
Efek dari kemajuan zaman ini tidak dapat dipungkiri pada akhirnya menimbulkan perang kebudayaan yang didalamnya terjadi penyerangan atau teror-teror yang dilakukan secara halus terhadap prinsip-prinsip dan unsur-unsur kebudayaan negara-negara lain atau umat lain. Bangsa indonesia sendiri dapat dikatakan menjadi korban dalam perang kebudayaan ini sebab dalam fakta sehari-hari budaya indonesia mulai digerogoti oleh budaya lain, baik itu dalam sisi pergaulan, busana, gaya hidup, makanan dan masih banyak hal lainnya.
3.2 Saran
            Kita harus dapat memfilter budaya luar yang datang, jangan kita terima tanpa memilih budaya yang sesuai dengan kepribadian orang timur, terutama kepribadian bangsa Indonesia. Selain itu, kita harus mulai memperkenalkan budaya kita kepada negara lain. Misalnya melalui pertunjukan seni yang ditonton oleh orang asing. Kita harus dapat menunjukan bahwa budaya kita tidak kalah hebat dibandingkan dengan budaya mereka.
DAFTAR PUSTAKA
Andriani Salam Kusni & JJ. Kusni. (2009). Perang Kebudayaan Oleh Imam Ali Khamenei. [online]. Tersedia: https://jurnaltoddoppuli.wordpress.com/2009/08/30/perang-kebudayaan/. 12 April 2014
Khamenei Imam Ali. Perang Kebudayaan. 2005. Jakarta Selatan :Penerbit Cahaya,
Kopral cepot. (2010). Perang Kebudayaan. [online]. Tersedia: https://jurnaltoddoppuli.wordpress.com/2009/08/30/perang-kebudayaan/. 12 April 2014

 

Komentar

Popular post

makalah emotional intelligence

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang             Kecerdasan intelektual seringkali menjadi ukuran sebagian besar orang untuk meraih kesuksesan. Banyak orang berpikir, dengan kemampuan intelektual yang tinggi, seseorang bisa meraih masa depan yang   cerah dalam hidupnya. Tidak heran, banyak orang tua selalu menekankan anaknya untuk meraih nilai sebaik mungkin agar kelak memiliki masa depan yang cemerlang. Sistem pendidikan di negara kita yang lebih menekankan pada prestasi akademik siswa atau mahasiswa juga semakin mendukung argumen tersebut. Padahal kenyataannya, kecerdasan intelektual bukanlah hal mutlak yang dapat menjamin kesuksesan seseorang.             Mungkin kita sering bertanya-tanya mengapa orang yang ber-IQ tinggi justru banyak yang mengalami kegagalan dalam karirnya. Sedangkan orang yang ber-IQ sedang justru dapat lebih sukses dari orang yang ber-IQ tinggi. Hal itu disebabkan karena ada satu kecerdasan yang lebih berpengaruh dalam menentukan kesuksesan seseoran

BOOK REPORT FILSAFAT MORAL

BAB   I PENDAHULUAN 1.1   Identitas Buku Judul buku       : Filsafat Moral Penulis                : James Rachels Cetakan              : ke enam Tahun terbit      : 2013 Penerbit              : Kanisius, Jl. Cempaka 9, Deresan, Yogyakarta 55011 Halaman             : 394 lembar Harga                 : Rp. 52.000,00 Penerjemah       : A. Sudiarja 1.2   Latar Belakang Penulisan Persoalan-persoalan amoral dewasa ini dinilai semakin memprihatinkan. Banyak kalangan masyarakat yang berperilaku melawan aturan-aturan moral. Aturan yang semula ditaati demi terciptanya keteraturan sosial, kini dengan mudah ditentang oleh banyak kalangan. Perbuatan amoral seolah menjadi hal lumrah di masyarakat. Keteraturan sosial semakin jauh dari harapan. Perubahan zaman yang diwarnai dengan arus globalisasi dan modernisasi merubah segala etika dan aturan moral menjadi sesuatu yang kuno, sehingga banyak kalangan yang meninggalkannya. Degradasi moral yang melanda generasi m

Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan

A.     Pendahuluan Bahasa merupakan   alat komunikasi yang penting   agar manusia dapat saling berinteraksi dan berbagi informasi dengan manusia yang lain. Bahasa ada yang digunakan secara lisan, adapula yang digunakan dalam bentuk tulisan. Bahasa melengkapi anugerah yang diberikan Tuhan kepada manusia. Melalui bahasa, manusia dapat terus mengembangkan kemampuan menalar yang dimilikinya. Kemampuan menalar tersebut sangat penting untuk mengembangkan kemampuan manusia agar terus berkembang kearah kemajuan. Hal itulah yang membuat perkembangan manusia cenderung dinamis. Mengingat pentingnya bahasa dalam kehidupan manusia, maka penggunaan bahasa harus benar agar dapat dimengerti oleh manusia lain dan tidak menimbulkan kesalah pahaman, terutama dalam penggunakan bahasa tulisan. Dalam menulis, manusia tidak bisa sekehendak hati, tetapi harus mematuhi aturan-aturan yang berlaku. Di Indonesia, aturan menulis harus sesuai dengan Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan. Penetapan atur