BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Kecerdasan
intelektual seringkali menjadi ukuran sebagian besar orang untuk meraih
kesuksesan. Banyak orang berpikir, dengan kemampuan intelektual yang tinggi,
seseorang bisa meraih masa depan yang
cerah dalam hidupnya. Tidak heran, banyak orang tua selalu menekankan
anaknya untuk meraih nilai sebaik mungkin agar kelak memiliki masa depan yang
cemerlang. Sistem pendidikan di negara kita yang lebih menekankan pada prestasi
akademik siswa atau mahasiswa juga semakin mendukung argumen tersebut. Padahal
kenyataannya, kecerdasan intelektual bukanlah hal mutlak yang dapat menjamin
kesuksesan seseorang.
Mungkin
kita sering bertanya-tanya mengapa orang yang ber-IQ tinggi justru banyak yang
mengalami kegagalan dalam karirnya. Sedangkan orang yang ber-IQ sedang justru
dapat lebih sukses dari orang yang ber-IQ tinggi. Hal itu disebabkan karena ada
satu kecerdasan yang lebih berpengaruh dalam menentukan kesuksesan seseorang
yaitu Emotional Intelligence atau
kecerdasan emosional. Menurut penelitian yang dikemukakan oleh Daniel Golemen,
kontribusi IQ dalam seseorang hanya
sekitar 20% dan 80% lagi ditentukan oleh kecerdasan emosional. Oleh karena itu,
pemahaman mengenai kecerdasan emosional harus ditingkatkan agar kita dapat
menyeimbangkan antara kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional.
1.2
Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan emotional intelligence ?
2. Apa yang mempengaruhi perkembangan emotional intelligence dalam diri
seseorang?
3.Bagaimana sikap orang yang memiliki emotional intelligence yang tinggi?
4. Bagaimana penerapan konsep emotional intelligence dalam pembelajaran?
5. Bagaimana cara mengembangkan emotional
intelligence ?
1.Untuk mengetahui pengertian emotional intelligence
2.Untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi
perkembangan emotional intelligence dalam
diri seseorang
3.Untuk mengetahui sikap orang yang memiliki emotional intelligence yang tinggi
4.Untuk mengetahui penerapan emotional intelligence dalam pembelajaran
5.Untuk mengetahui cara mengembangkan emotional intelligence
1.4 Metode
Pengumpulan Data
Di dalam pembuatan makalah ini, kami menggunakan metode
kajian pustaka yaitu mencari informasi dan sumber-sumber dari buku mengenai emotional intelligence. Selain itu, kami
juga menambah sumber dari media
internet untuk melengkapi materi pembahasan emotional
intelligence.
1.5 Sistematika
Penelitian
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan Penulisan
1.4 Metode Penelitian
1.5 Sistematika Penulisan
BAB II ISI
2.1 Pengertian Emotional Intelligence
2.2 Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan
Emotional Intelligence
2.3 Sikap Individu yang Memiliki Emotional
Intelligence
2.4 Penerapan Emotional Intelligence dalam
Pembelajaran
2.5 Cara Mengembangkan Emotional Intelligence
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
BAB II
ISI
2.1 Pengertian Emotional
Intelligence
Istilah kecerdasan emosi pertama kali dilontarkan
oleh psikolog Petersolovey dari Harvard University dan John Mayer dari
University of New Hampshire pada tahun 1990, dengan menyebutkan
kualifikasi-kualifikasi emosi manusia yang meliputi empati, mengungkapkan dan
memahami perasaan, pengendalian amarah, kemandirian, kemampuan
menyesuaikan diri, kemampuan memecahkan masalah antar pribadi, ketekunan dan
kesetiakawanan, keramahan, dan sikap hormat.
Istilah ini populer pada tahun 1995 dan dipopulerkan
oleh Daniel Goleman, seorang psikolog dari Harvard University dalam karya
monumentalnya berjudul Emotional
Intelligence. Karyanya ini menjadikan beliau terkenal khususnya di bidang
psikologi. Hasil risetnya yang menggemparkan dengan mendefinisikan apa
arti cerdas, dan dengan adanya temuan baru tentang otak dan manusia, memperlihatkan
mengapa orang yang ber-IQ tinggi justru gagal sementara orang yang ber-IQ
sedang menjadi sukses.
Faktor inilah menurut Goleman yang dapat memacu seseorang pada suatu cara lain untuk menjadi cerdas yang disebutnya kecerdasan emosi.
Faktor inilah menurut Goleman yang dapat memacu seseorang pada suatu cara lain untuk menjadi cerdas yang disebutnya kecerdasan emosi.
Dalam risetnya Daniel Goleman memiliki kurang
lebih lima ribu
perusahaan yang tersebar di seluruh dunia, Goleman mendapatkan gambaran
ketrampilan yang dimiliki para bintang kinerja di segala bidang, yang
membuat mereka berbeda dengan yang lainnya. Dari pekerjaan tingkat bawah sampai
posisi eksekutif, faktor yang terpenting bukan kecerdasan intelektual,
pendidikan tinggi atau ketrampilan teknis, melainkan kecerdasan emosi.
Secara sederhana kecerdasan emosi dapat diartkan
kemampuan memahami perasaan diri sendiri, kemampuan memahami perasaan
orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, dan kemampuan mengelola
emosi dengan baik pada diri sendiri, dan dalam hubungan dengan orang
lain.
Goleman mengemukakan bahwa kecerdasan emosi adalah kemampuan memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustasi, mengandalkan dorongan hati dan tidak berlebih-lebihan dalam kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga agar bebas dari stres, tidak melumpuhkan kemampuan berfikir, berempati, dan berdoa. Sedangkan Cooper mengartikannya dengan suatu kemampuan untuk merasakan, memahami secara efektif, menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi, koneksi, dan pengaruh yang manusiawi. Kecerdasan emosi dalam perspektif sufi adalah kemampuan untuk tetap mengikuti tuntutan agama, ketika berhadapan dengan musibah, keberuntungan, perlawanan orang lain, tantangan hidup, kelebihan kekayaan, dan juga kemiskinan.
Goleman mengemukakan bahwa kecerdasan emosi adalah kemampuan memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustasi, mengandalkan dorongan hati dan tidak berlebih-lebihan dalam kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga agar bebas dari stres, tidak melumpuhkan kemampuan berfikir, berempati, dan berdoa. Sedangkan Cooper mengartikannya dengan suatu kemampuan untuk merasakan, memahami secara efektif, menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi, koneksi, dan pengaruh yang manusiawi. Kecerdasan emosi dalam perspektif sufi adalah kemampuan untuk tetap mengikuti tuntutan agama, ketika berhadapan dengan musibah, keberuntungan, perlawanan orang lain, tantangan hidup, kelebihan kekayaan, dan juga kemiskinan.
2.2 Faktor yang
Mempengaruhi Perkembangan Emotional Intelligence
Kemampuan emotional intelligence seseorang dapat dilihat dari kepribadiannya.
Emotional intelligence bukan
kecerdasan warisan biologis, tetapi tumbuh dan berkembang melalui proses
belajar seumur hidup yang didapat melalui pengalaman diri sendiri maupun orang
lain. Pengalaman yang bersifat konstruktif dapat membangun kepribadian sesorang
menjadi lebih baik. Kecerdasan emosional
sangat dipengaruhi oleh lingkungan dan pergaulan, tidak bersifat tetap,dan
dapat berubah setiap saat. Oleh karena itu, peranan lingkungan terutama orang
tua pada masa kanak-kanak sangat mempengaruhi dalam pembentukan kecerdasan
emosional.
Dalam bukunya yang berjudul emotional intellegent, Daniel Goleman menerangkan suatu
konsep bahwasannya ada dua macam kerangka kerja kecakapan emosi yaitu kecakapan
pribadi dan kecakapan sosial. Masing-masing dari kecakapan tersebut memiliki
ciri-ciri tertentu yang digabung menjadi lima
ciri. Adapun kelima ciri-ciri tersebut adalah:
a. Kesadarandiri
Secara sederhana kesadaran diri diartikan dengan mengetahui apa yang dirasakan oleh seorang individu pada suatu saat, dan menggunakannya untuk mengambil keputusan diri sendiri, memiliki tolak ukur yang realistis atas kemampuan diri, dan kepercayaan diri yang kuat.Para ahli psikologi menggunakan metakognisi untuk menyebutkan proses berfikir dan metamod untuk menyebut kesadaran seseorang akan emosinya sendiri. Adapun Goleman lebih menyukai istilah kesadaran diri untuk menyebut dua kesadaran di atas. Menurutnya kesadaran diri bukanlah perhatian yang larut ke dalam emosi akan tetapi lebih merupakan modus netral yang mempertahankan refleksi diri di tengah badai emosi.
Secara sederhana kesadaran diri diartikan dengan mengetahui apa yang dirasakan oleh seorang individu pada suatu saat, dan menggunakannya untuk mengambil keputusan diri sendiri, memiliki tolak ukur yang realistis atas kemampuan diri, dan kepercayaan diri yang kuat.Para ahli psikologi menggunakan metakognisi untuk menyebutkan proses berfikir dan metamod untuk menyebut kesadaran seseorang akan emosinya sendiri. Adapun Goleman lebih menyukai istilah kesadaran diri untuk menyebut dua kesadaran di atas. Menurutnya kesadaran diri bukanlah perhatian yang larut ke dalam emosi akan tetapi lebih merupakan modus netral yang mempertahankan refleksi diri di tengah badai emosi.
Menurut Goleman kesadaran seseorang terhadap titik lemah
serta kemampuan pribadi seseorang juga merupakan bagian dari kesadaran diri.
Ciri-ciri orang yang mampu mengukur diri tersebut antara lain, sadar tentang
kekuatan-kekuatan dan kelemahan-kelemahannya, menyempatkan diri untuk merenung,
belajar dari pengalaman, bersedia menerima perspektif baru, mau terus
belajar dan mengembangkan diri sendiri dan terakhir mampu menunjukkan rasa
humor dan bersedia memandang diri sendiri dengan perspektif yang luas.
Kesadaran diri memang penting apabila seseorang ceroboh, tidak
memperhatikan dirinya secara akurat, maka hal itu akan merugikan dirinya dan
berdampak negatif bagi oarang lain. Oleh sebab itu, manusia harus
pandai-pandai mencari tahu siapa dirinya. Kesadaran diri juga tidak lepas dari
rasa percaya diri. Percaya diri memberikan keberanian untuk terus maju.
Walaupun demikian, percaya diri bukan berarti nekad. Rasa percaya diri erat
kaitannya dengan efektivitas diri.
b.PengaturanDiri
Menurut Goleman pengaturan diri adalah pengelolaan impuls dan perasaan yang menekan. Dalam kata Yunani kuno, kemampuan ini disebut sophrosyne yang berarti hati-hati dan cerdas dalam mengatur kehidupan, keseimbangan, dan kebijaksanaan yang terkendali, sebagaimana yang diterjemahkan oleh Page Dubois, seorang pakar bahasa Yunani.
Menurut Goleman pengaturan diri adalah pengelolaan impuls dan perasaan yang menekan. Dalam kata Yunani kuno, kemampuan ini disebut sophrosyne yang berarti hati-hati dan cerdas dalam mengatur kehidupan, keseimbangan, dan kebijaksanaan yang terkendali, sebagaimana yang diterjemahkan oleh Page Dubois, seorang pakar bahasa Yunani.
c. Motivasi
Motivasi merupakan kekuatan mental yang mendorong
terbentuknya perilaku yang memiliki tujuan tertentu. Istilah motivasi mengacu
pada sebab atau mengapa, suatu organisme yang dimotivasi akan lebih efektif
dari pada tidak dimotivasi. Dalam motivasi terkandung adanya keinginan,
harapan, kebutuhan, tujuan, sasaran, dan insentif. Motivasi merupakan suatu
energi yang dapat menimbulkan tingkat antusiasme dalam melaksanakan suatu
aktivitas, baik yang bersumber dari dalam diri individu itu sendiri (motivasi intrinsik) maupun dari luar individu
(motivasi ekstrinsik).
Menurut Goleman untuk menumbuhkan motivasi seseorang
perlu adanya kondisi flow pada diri
orang tersebut. Flow adalah keadaan
lupa sekitar, lawan dari lamunan dan kekhawatiran, bukannya tenggelam dalam
kesibukan yang tak tentu arah. Flow
merupakan puncak kecerdasan emosional. Dalam flow emosi tidak hanya ditampung dan disalurkan, akan tetapi juga
bersifat mendukung, memberi tenaga, dan selaras dengan tugas yang dihadapi.
Terperangkap dalam kebosanan, depresi, atau kemeranaan kecemasan menghalangi
tercapainya keadaan flow. Salah satu
cara untuk mencapai flow adalah
dengan sengaja memusatkan perhatian sepenuhnya pada tugas yang sedang dihadapi.
Keadaan konsentrasi tinggi merupakan inti flow.
Adapun selain itu yang berkaitan dengan motivasi adalah
optimisme. Menurut Goleman optimisme seperti harapan berarti memiliki
pengharapan yang kuat bahwa secara umum, segala sesuatu dalam kehidupan akan
sukses kendati ditimpa kemunduran dan frustasi.
d. Empati
Empati dimaksudkan dengan memahami perasaan dan masalah orang lain dan berfikir dengan sudut pandang mereka, menghargai perbedaan perasaan orang mengenai berbagai hal. Menurut Goleman kemampuan mengindera perasaan seseorang sebelum yang bersangkutan mengatakannya merupakan intisari empati.
Orang sering mengungkapkan perasaan mereka lewat kata-kata, sebaliknya mereka memberi tahu orang lewat nada suara, ekspresi wajah, atau cara komunikasi nonverbal lainnya. Kemampuan memahami cara-cara komunikasi yang sementara ini dibangun di atas kecakapan-kecakapan yang lebih mendasar, khususnya kesadaran diri (self awareness) dan kendali diri (self control). Tanpa kemampuan mengindra perasaan individu atau menjaga perasaan itu tidak mengombang-ambingkan seseorang, manusia tidak akan peka terhadap perasaan orang lain.
Empati dimaksudkan dengan memahami perasaan dan masalah orang lain dan berfikir dengan sudut pandang mereka, menghargai perbedaan perasaan orang mengenai berbagai hal. Menurut Goleman kemampuan mengindera perasaan seseorang sebelum yang bersangkutan mengatakannya merupakan intisari empati.
Orang sering mengungkapkan perasaan mereka lewat kata-kata, sebaliknya mereka memberi tahu orang lewat nada suara, ekspresi wajah, atau cara komunikasi nonverbal lainnya. Kemampuan memahami cara-cara komunikasi yang sementara ini dibangun di atas kecakapan-kecakapan yang lebih mendasar, khususnya kesadaran diri (self awareness) dan kendali diri (self control). Tanpa kemampuan mengindra perasaan individu atau menjaga perasaan itu tidak mengombang-ambingkan seseorang, manusia tidak akan peka terhadap perasaan orang lain.
Empati menekankan pentingnya mengindra perasaan dari
perspektif orang lain sebagai dasar untuk membangun hubungan
interpersonal yang sehat.
Tingkat empati tiap individu berbeda-beda. pada tingkat yang paling rendah, empati mempersyaratkan kemampuan membaca emosi orang lain, pada tataran yang lebih tinggi, empati mengharuskan seseorang mengindra sekaligus menanggapi kebutuhan atau perasaan seseorang yang tidak diungkapkan lewat kata-kata. Di antara yang paling tinggi, empati adalah menghayati masalah atau kebutuhan-kebutuhan yang tersirat di balik perasaan seseorang.
Tingkat empati tiap individu berbeda-beda. pada tingkat yang paling rendah, empati mempersyaratkan kemampuan membaca emosi orang lain, pada tataran yang lebih tinggi, empati mengharuskan seseorang mengindra sekaligus menanggapi kebutuhan atau perasaan seseorang yang tidak diungkapkan lewat kata-kata. Di antara yang paling tinggi, empati adalah menghayati masalah atau kebutuhan-kebutuhan yang tersirat di balik perasaan seseorang.
e. KeterampilanSosial
Keterampilan sosial (social skills), adalah kemampuan untuk menangani emosi dengan baik ketika berhubungan dengan orang lain dan dengan cermat membaca situasi dan jaringan sosial, berinteraksi dengan lancar, menggunakan ketrampilan untuk mempengaruhi dan memimpin, bermusyawarah, menyelesaikan perselisihan untuk bekerjasama dalam tim.
Keterampilan sosial (social skills), adalah kemampuan untuk menangani emosi dengan baik ketika berhubungan dengan orang lain dan dengan cermat membaca situasi dan jaringan sosial, berinteraksi dengan lancar, menggunakan ketrampilan untuk mempengaruhi dan memimpin, bermusyawarah, menyelesaikan perselisihan untuk bekerjasama dalam tim.
2.4 Penerapan Emotional
Intelligence dalam Pembelajaran
Banyak cara yang
dapat dilakukan guru dalam pembelajaran, agar siswa dapat menemukan konsep
dengan caranya sendiri, diantaranya memberi waktu yang cukup kepada siswa untuk berpikir, menyediakan sarana
pembelajaran yang cocok, bekerja sama dengan temannya, serta memberikan bantuan
bimbingan seperlunya. Cara-cara tersebut disamping untuk menumbuhkan pemahaman
konsep pembelajaran juga dapat digunakan untuk membangun kecerdasan
emosionalsiswa.
Pendidikan pada semua jenjang pendidikan formal di negara
kita saat ini masih lebih mementingkan aspek kognitif. Aspek afektif seperti
kecerdasan emosional (EI) nampaknya
masih ditelantarkan sebagaimana halnya system nilai (value system). Dalam membentuk kepribadian siswa inilah diperlukan
kecerdasan emosional (emotional
intelligence).
Tidaklah mudah untuk membentuk pribadi siswa dengan membangun kecerdasan emosional yang ideal, perlu kesabaran, kreativitas dan ketelitian dari seorang guru. Goleman (2007) mengatakan bahwa apabila dua orang melakukan interaksi, arah perpindahan suasana hati adalah dari orang yang lebih kuat dalam mengungkapkan perasannya menuju ke orang yang lebih pasif..
Pendapat diatas, jika diterapkan dalam suatu pembelajaran di kelas, maka gurulah yang dapat mempengaruhi perasaan siswa, sehingga akan terjadi interaksi guru dengan siswa yang sinkron..
Mengingat akan pentingnya kecerdasan emosional bagi anak, diperlukan usaha dan kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran sehingga napas dari kecerdasan emosional akan muncul dalam setiap pembelajaran yang dilakukan.
Tidaklah mudah untuk membentuk pribadi siswa dengan membangun kecerdasan emosional yang ideal, perlu kesabaran, kreativitas dan ketelitian dari seorang guru. Goleman (2007) mengatakan bahwa apabila dua orang melakukan interaksi, arah perpindahan suasana hati adalah dari orang yang lebih kuat dalam mengungkapkan perasannya menuju ke orang yang lebih pasif..
Pendapat diatas, jika diterapkan dalam suatu pembelajaran di kelas, maka gurulah yang dapat mempengaruhi perasaan siswa, sehingga akan terjadi interaksi guru dengan siswa yang sinkron..
Mengingat akan pentingnya kecerdasan emosional bagi anak, diperlukan usaha dan kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran sehingga napas dari kecerdasan emosional akan muncul dalam setiap pembelajaran yang dilakukan.
Ada beberapa cara yang dapat diterapkan oleh
guru dalam menerapkan konsep pembelajaran yang menyisipkan nilai emotional
intelligence, yaitu:
1.Mengembangkan empati dan kepedulian: pengajar mengajarkan siswanya
untuk menolong orang, bersedia berbagi
dengan temannya, meminjamkan peralatan tulis kepada teman yang tidak membawa
2.Mengajarkan kejujuran dan integritas: disetiap pelajaran yang diajarkan
pengajar juga menyisipkan nasehat-nasehat tentang nilai-nilai positif, pengajar
memberikan kepercayaan kepada sisiwa untuk berperilaku jujur dan integritas
ketika pengajar meminta siswa untuk menilai hasil ulangan
3. Menghargai privasi anak didik: pengajar berusaha untuk tidak membeberkan
hal buruk tentang anak didiknya di depan umum yang akan membuat anak didik itu
merasa malu dan minder
4.Mengajarkan memecahkan masalah : pengajar memberikan pelajaran mengenai
cara berpikir sistematis agar dapat menyelesaikan persoalan dengan baik
2.5 Cara Mengembangkan
Emotional Intelligence
Cooper dan Sawaf (2000) mengemukakan model empat batu untuk
menjalankan teori kecerdasan emosi dalam kehidupan sehari-hari:
1.Kesadaran emosi (emotional literacy): membangun kepiawaian dan rasa percaya diri
melalui kejujuran, enerji, tanggung jawab, koneksi. Individu harus melawan rasa
tidak percaya diri dan mulai terbuka kepada orang lain.
2.Kebugaran emosi ( emotional fitness) : mengembangkan sifat dapat dipercaya,
keuletan, kepercayaan, mendengarkan orang lain, mengelola konflik, mengelola
kekecewaan. Individu harus mulai menghilangkan keegoisannya. Jangan hanya ingin
diperhatikan orang lain, tetapi juga harus mencoba untuk mengembangkan rasa
empati kepada orang lain.
3.Kedalaman emosi ( emotional depth) : mengeksplorsi cara menyelaraskan hidup dan
kerja anda dengan potensi yang anda miliki. Mulailah menggali bakat dan minat
yang ada di dalam diri. Jangan takut mencoba dan gagal.
4.Alkali emosi (
emotional alchemy) : memperdalam naluri dan kemampuan kreatif untuk
menangani masalah dan bersaing demi masa depan untuk membangun keterampilan
yang lebih peka terhadap kemungkinan solusi yang masih tersembunyi dan peluang
yang masih terbuka. Bukalah pikiran kita dan hilangkan rasa putus asa ketika
menghadapi masalah. Yakinkan diri bahwa setiap masalah itu pasti memiliki jalan
keluarnya.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
1. Secara sederhana
kecerdasan emosi dapat diartkan kemampuan memahami perasaan diri sendiri,
kemampuan memahami perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri,
dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri, dan
dalam hubungan dengan orang lain.
2.Kemampuan emotional
intelligence seseorang dapat dilihat dari kepribadiannya. Emotional
intelligence bukan kecerdasan warisan biologis, tetapi tumbuh dan berkembang
melalui proses belajar seumur hidup.
3. Daniel Goleman mengemukakan ada lima ciri
kepribadian individu yang memiliki emotional intelligence yaitu kesadarn diri,
pengaturan diri, motivasi, empati, dan keterampilan sosial.
4. Ada beberapa cara
yang dapat diterapkan oleh guru dalam menerapkan konsep pembelajaran yang menyisipkan
nilai emotional intelligence, yaitu mengembangkan
empati dan kepedulian, mengajarkan kejujuran dan integritas, menghargai privasi anak didik, dan mengajarkan
memecahkan masalah.
5. Cooper dan Sawaf (2000) mengemukakan model
empat batu untuk menjalankan teori kecerdasan emosi dalam kehidupan sehari-hari
yaitu kesadaran emosi (emotional literacy),
kebugaran emosi ( emotional fitness),
kedalaman emosi ( emotional depth),
dan alkali emosi ( emotional alchemy).
3.2
Saran
Sebaiknya
para pengajar, orang tua dan siswa tidak hanya mengejar kempuan intelektual
semata, tetapi harus dibarengi dengan kecerdasan emosional dan kecerdasan
spiritual. Dengan demikian, akan terdapat sinkronisasi pada kepribadian
individu yang akan menunjang untuk kesuksesan kelak. Selain itu, pemerintah
juga harus mengubah sitem pembelajaran di Indonesia. Jangan hanya menekankan
pada kognitif semata, tetapi juga harus ditingkatkan kepada nilai afektif . hal
itu agar menciptakan generasi penerus bangsa yang memiliki moralitas yang baik.
DAFTAR
PUSTAKA
Goleman,D.1996.Kecerdasan Emosional. Jakarta: P.T Gramedia
Haryanto.(2013). Emotional Intelligence. [online].
Tersedia: http://belajarpsikologi.blogspot.com.[12November 2013]
Matmun,A.B.2007. Psikologi Pendidikan. Bandung: P.T Remaja Rosdakarya Offset
Miftahul Anwar. (2013). Pembelajaran Kontekstual. [online].
Tersedia: http://pembelajarandisekolah.blogspot.com.[12 November 2013]
Solihudin Ichsan.2012.Rahasia Menjadi Pribadi Unggul.Bandung:
Brainside Intelligence
Komentar
Posting Komentar