Langsung ke konten utama

makalah emotional intelligence



BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
            Kecerdasan intelektual seringkali menjadi ukuran sebagian besar orang untuk meraih kesuksesan. Banyak orang berpikir, dengan kemampuan intelektual yang tinggi, seseorang bisa meraih masa depan yang  cerah dalam hidupnya. Tidak heran, banyak orang tua selalu menekankan anaknya untuk meraih nilai sebaik mungkin agar kelak memiliki masa depan yang cemerlang. Sistem pendidikan di negara kita yang lebih menekankan pada prestasi akademik siswa atau mahasiswa juga semakin mendukung argumen tersebut. Padahal kenyataannya, kecerdasan intelektual bukanlah hal mutlak yang dapat menjamin kesuksesan seseorang.
            Mungkin kita sering bertanya-tanya mengapa orang yang ber-IQ tinggi justru banyak yang mengalami kegagalan dalam karirnya. Sedangkan orang yang ber-IQ sedang justru dapat lebih sukses dari orang yang ber-IQ tinggi. Hal itu disebabkan karena ada satu kecerdasan yang lebih berpengaruh dalam menentukan kesuksesan seseorang yaitu Emotional Intelligence atau kecerdasan emosional. Menurut penelitian yang dikemukakan oleh Daniel Golemen, kontribusi IQ dalam  seseorang hanya sekitar 20% dan 80% lagi ditentukan oleh kecerdasan emosional. Oleh karena itu, pemahaman mengenai kecerdasan emosional harus ditingkatkan agar kita dapat menyeimbangkan antara kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan emotional intelligence ?
2. Apa yang mempengaruhi perkembangan emotional intelligence dalam diri seseorang?
3.Bagaimana sikap orang yang memiliki emotional intelligence yang tinggi?
4. Bagaimana penerapan konsep emotional intelligence dalam pembelajaran?
5. Bagaimana cara mengembangkan  emotional intelligence ?


1.3 Tujuan
1.Untuk mengetahui pengertian emotional intelligence
2.Untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi perkembangan emotional intelligence dalam diri seseorang
3.Untuk mengetahui sikap orang yang memiliki emotional intelligence yang tinggi
4.Untuk mengetahui penerapan emotional intelligence dalam pembelajaran
5.Untuk mengetahui cara mengembangkan emotional intelligence
1.4 Metode Pengumpulan Data
Di dalam pembuatan makalah ini, kami menggunakan metode kajian pustaka yaitu mencari informasi dan sumber-sumber dari buku mengenai emotional intelligence. Selain itu, kami juga menambah sumber dari media internet untuk melengkapi materi pembahasan emotional intelligence.
1.5  Sistematika Penelitian
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
1.2  Rumusan Masalah
1.3  Tujuan Penulisan
1.4  Metode Penelitian
1.5  Sistematika Penulisan
BAB II ISI
2.1 Pengertian Emotional Intelligence
2.2 Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Emotional Intelligence
2.3 Sikap Individu yang Memiliki Emotional Intelligence
2.4 Penerapan Emotional Intelligence dalam Pembelajaran
2.5 Cara Mengembangkan Emotional Intelligence
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran

BAB II
ISI
2.1 Pengertian Emotional Intelligence
Istilah kecerdasan emosi pertama kali dilontarkan  oleh psikolog Petersolovey dari Harvard University dan John Mayer dari University of New Hampshire pada tahun 1990, dengan menyebutkan kualifikasi-kualifikasi emosi manusia yang meliputi empati, mengungkapkan dan memahami perasaan, pengendalian amarah, kemandirian,  kemampuan menyesuaikan diri, kemampuan memecahkan masalah antar pribadi, ketekunan dan kesetiakawanan, keramahan, dan sikap hormat.
Istilah ini populer pada tahun 1995 dan dipopulerkan oleh Daniel Goleman, seorang psikolog dari Harvard University dalam karya monumentalnya berjudul Emotional Intelligence. Karyanya ini menjadikan beliau terkenal khususnya di bidang psikologi. Hasil risetnya yang menggemparkan  dengan mendefinisikan apa arti cerdas, dan dengan adanya temuan baru tentang otak dan manusia, memperlihatkan mengapa orang yang ber-IQ tinggi justru gagal sementara orang yang ber-IQ sedang menjadi sukses.
Faktor inilah menurut Goleman yang dapat memacu seseorang pada suatu cara lain untuk menjadi cerdas yang disebutnya kecerdasan emosi.
Dalam risetnya Daniel Goleman memiliki  kurang lebih lima ribu perusahaan yang tersebar di seluruh dunia, Goleman mendapatkan gambaran ketrampilan yang dimiliki para bintang  kinerja di segala bidang, yang membuat mereka berbeda dengan yang lainnya. Dari pekerjaan tingkat bawah sampai posisi eksekutif, faktor yang terpenting bukan kecerdasan intelektual, pendidikan tinggi atau ketrampilan teknis, melainkan kecerdasan emosi.
Secara sederhana kecerdasan emosi dapat diartkan kemampuan memahami perasaan  diri sendiri, kemampuan memahami perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, dan  kemampuan mengelola emosi dengan  baik pada diri sendiri, dan dalam hubungan dengan orang lain.
Goleman mengemukakan bahwa kecerdasan emosi adalah kemampuan
memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustasi, mengandalkan dorongan hati dan tidak berlebih-lebihan dalam kesenangan, mengatur suasana hati  dan menjaga agar bebas dari stres, tidak melumpuhkan kemampuan berfikir,  berempati, dan berdoa. Sedangkan Cooper mengartikannya dengan suatu kemampuan untuk merasakan, memahami secara efektif, menerapkan  daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi, koneksi, dan pengaruh yang manusiawi. Kecerdasan emosi dalam perspektif sufi adalah kemampuan untuk tetap mengikuti tuntutan agama, ketika berhadapan dengan musibah, keberuntungan, perlawanan orang lain, tantangan hidup, kelebihan kekayaan, dan juga kemiskinan.

         Dengan demikian kecerdasan emosi merupakan kemampuan memahami perasaan diri sendiri dan kemampuan memahami perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, dan kemampuan mengelola emosi yang baik pada diri sendiri dan dalam hubungannya dengan orang lain. Kecerdasan emosi dalam perspektif sufi adalah kemampuan untuk tetap mengikuti tuntutan agama, ketika berhadapan dengan musibah, keberuntungan, perlawanan orang lain, tantangan hidup, kelebihan kekayaan, dan juga kemiskinan.

2.2 Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Emotional Intelligence
Kemampuan emotional intelligence seseorang dapat dilihat dari kepribadiannya. Emotional intelligence bukan kecerdasan warisan biologis, tetapi tumbuh dan berkembang melalui proses belajar seumur hidup yang didapat melalui pengalaman diri sendiri maupun orang lain. Pengalaman yang bersifat konstruktif dapat membangun kepribadian sesorang menjadi lebih baik.  Kecerdasan emosional sangat dipengaruhi oleh lingkungan dan pergaulan, tidak bersifat tetap,dan dapat berubah setiap saat. Oleh karena itu, peranan lingkungan terutama orang tua pada masa kanak-kanak sangat mempengaruhi dalam pembentukan kecerdasan emosional.



2.3 Sikap Individu yang Memiliki Emotional Intelligence
Dalam bukunya yang berjudul emotional intellegent,  Daniel Goleman menerangkan suatu konsep bahwasannya ada dua macam kerangka kerja kecakapan emosi yaitu kecakapan pribadi dan kecakapan sosial. Masing-masing dari kecakapan tersebut memiliki ciri-ciri tertentu yang digabung menjadi lima ciri. Adapun kelima ciri-ciri tersebut adalah:
a. Kesadarandiri
         Secara sederhana kesadaran diri diartikan dengan mengetahui apa yang dirasakan oleh seorang individu pada suatu saat, dan menggunakannya untuk  mengambil keputusan diri sendiri, memiliki tolak ukur yang realistis atas kemampuan diri, dan kepercayaan diri yang kuat.Para ahli psikologi menggunakan metakognisi untuk menyebutkan proses berfikir dan metamod untuk menyebut kesadaran seseorang akan emosinya sendiri. Adapun Goleman  lebih menyukai istilah kesadaran diri untuk menyebut dua kesadaran di atas. Menurutnya kesadaran diri bukanlah perhatian yang larut ke dalam emosi akan tetapi lebih merupakan modus netral yang mempertahankan refleksi diri di tengah badai emosi.
            Menurut Goleman kesadaran seseorang terhadap titik lemah serta kemampuan pribadi seseorang juga merupakan bagian dari kesadaran diri. Ciri-ciri orang yang mampu mengukur diri tersebut antara lain, sadar tentang kekuatan-kekuatan dan kelemahan-kelemahannya, menyempatkan diri untuk merenung, belajar dari pengalaman, bersedia menerima perspektif  baru, mau terus belajar dan mengembangkan diri sendiri dan terakhir mampu menunjukkan rasa humor dan bersedia memandang diri sendiri dengan perspektif yang luas.
Kesadaran diri memang penting apabila seseorang  ceroboh, tidak memperhatikan dirinya secara akurat, maka hal itu akan merugikan dirinya dan berdampak negatif  bagi oarang lain.  Oleh sebab itu, manusia harus pandai-pandai mencari tahu siapa dirinya. Kesadaran diri juga tidak lepas dari rasa percaya diri. Percaya diri memberikan keberanian untuk terus maju. Walaupun demikian, percaya diri bukan berarti nekad. Rasa percaya diri erat kaitannya dengan  efektivitas diri.
b.PengaturanDiri
           Menurut Goleman pengaturan diri adalah  pengelolaan impuls dan perasaan yang menekan. Dalam kata Yunani kuno, kemampuan ini disebut sophrosyne yang berarti hati-hati dan cerdas dalam mengatur kehidupan, keseimbangan, dan kebijaksanaan yang terkendali, sebagaimana yang diterjemahkan oleh Page Dubois, seorang pakar bahasa Yunani.
c. Motivasi
Motivasi merupakan kekuatan mental yang mendorong terbentuknya perilaku yang memiliki tujuan tertentu. Istilah motivasi mengacu pada sebab atau mengapa, suatu organisme yang dimotivasi akan lebih efektif dari pada tidak dimotivasi. Dalam motivasi terkandung adanya keinginan, harapan, kebutuhan, tujuan, sasaran, dan insentif. Motivasi merupakan suatu energi yang dapat menimbulkan tingkat antusiasme dalam melaksanakan suatu aktivitas, baik yang bersumber dari dalam diri individu itu sendiri (motivasi intrinsik) maupun dari luar individu (motivasi ekstrinsik).
Menurut Goleman untuk menumbuhkan motivasi seseorang perlu adanya kondisi flow pada diri orang tersebut. Flow adalah keadaan lupa sekitar, lawan dari lamunan dan kekhawatiran, bukannya tenggelam dalam kesibukan yang tak tentu arah. Flow merupakan puncak kecerdasan emosional. Dalam flow emosi tidak hanya ditampung dan disalurkan, akan tetapi juga bersifat mendukung, memberi tenaga, dan selaras dengan tugas yang dihadapi. Terperangkap dalam kebosanan, depresi, atau kemeranaan kecemasan menghalangi tercapainya keadaan flow. Salah satu cara untuk mencapai flow adalah  dengan sengaja memusatkan perhatian sepenuhnya pada tugas yang sedang dihadapi. Keadaan konsentrasi tinggi merupakan  inti flow.
Adapun selain itu yang berkaitan dengan motivasi adalah optimisme. Menurut Goleman optimisme seperti harapan berarti memiliki pengharapan yang kuat bahwa secara umum, segala sesuatu dalam kehidupan akan sukses kendati ditimpa kemunduran dan frustasi.

d. Empati
            Empati dimaksudkan dengan memahami perasaan dan masalah orang lain dan berfikir dengan sudut pandang mereka, menghargai perbedaan perasaan orang mengenai berbagai hal. Menurut Goleman kemampuan mengindera perasaan seseorang sebelum yang bersangkutan mengatakannya merupakan intisari empati.
Orang sering mengungkapkan perasaan mereka lewat kata-kata, sebaliknya mereka memberi tahu orang lewat nada suara, ekspresi wajah, atau cara komunikasi nonverbal lainnya. Kemampuan memahami cara-cara komunikasi yang sementara ini dibangun di atas kecakapan-kecakapan yang lebih mendasar, khususnya kesadaran diri (self awareness)  dan kendali diri (self control). Tanpa kemampuan mengindra perasaan individu  atau menjaga perasaan itu tidak mengombang-ambingkan seseorang, manusia tidak akan peka terhadap perasaan orang lain.
Empati menekankan pentingnya mengindra perasaan dari perspektif orang lain sebagai dasar untuk  membangun hubungan interpersonal yang sehat.
Tingkat empati tiap individu berbeda-beda. pada tingkat yang paling rendah, empati mempersyaratkan kemampuan  membaca  emosi orang lain, pada tataran yang lebih tinggi, empati mengharuskan seseorang mengindra sekaligus menanggapi  kebutuhan atau perasaan seseorang yang tidak diungkapkan lewat kata-kata. Di antara yang paling tinggi, empati adalah menghayati masalah  atau kebutuhan-kebutuhan yang tersirat di balik perasaan seseorang.
e. KeterampilanSosial
            Keterampilan sosial (social skills), adalah kemampuan untuk menangani emosi dengan baik ketika berhubungan dengan orang lain dan dengan cermat membaca situasi dan jaringan sosial, berinteraksi dengan lancar, menggunakan ketrampilan untuk mempengaruhi dan memimpin, bermusyawarah, menyelesaikan perselisihan untuk bekerjasama dalam tim.
2.4 Penerapan Emotional Intelligence dalam Pembelajaran
          Banyak cara yang dapat dilakukan guru dalam pembelajaran, agar siswa dapat menemukan konsep dengan caranya sendiri, diantaranya memberi waktu yang cukup kepada siswa untuk berpikir, menyediakan sarana pembelajaran yang cocok, bekerja sama dengan temannya, serta memberikan bantuan bimbingan seperlunya. Cara-cara tersebut disamping untuk menumbuhkan pemahaman konsep pembelajaran juga dapat digunakan untuk membangun kecerdasan emosionalsiswa.
          Pendidikan  pada semua jenjang pendidikan formal di negara kita saat ini masih lebih mementingkan aspek kognitif. Aspek afektif seperti kecerdasan emosional (EI) nampaknya masih ditelantarkan sebagaimana halnya system nilai (value system). Dalam membentuk kepribadian siswa inilah diperlukan kecerdasan emosional (emotional intelligence).
Tidaklah mudah untuk membentuk pribadi siswa dengan membangun kecerdasan emosional yang ideal, perlu kesabaran, kreativitas dan ketelitian dari seorang guru. Goleman (2007) mengatakan bahwa apabila  dua orang melakukan interaksi, arah perpindahan suasana hati adalah dari orang yang lebih kuat dalam mengungkapkan perasannya menuju ke orang yang lebih pasif..
Pendapat diatas, jika diterapkan dalam suatu pembelajaran di kelas, maka gurulah yang dapat mempengaruhi perasaan siswa, sehingga akan terjadi interaksi guru dengan siswa yang sinkron..
Mengingat akan pentingnya kecerdasan emosional bagi anak, diperlukan usaha dan kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran sehingga napas dari kecerdasan emosional akan muncul dalam setiap pembelajaran yang dilakukan.
            Ada beberapa cara yang dapat diterapkan oleh guru dalam menerapkan konsep pembelajaran yang menyisipkan nilai emotional intelligence, yaitu:
1.Mengembangkan empati dan kepedulian: pengajar mengajarkan siswanya untuk  menolong orang, bersedia berbagi dengan temannya, meminjamkan peralatan tulis kepada teman yang tidak membawa
2.Mengajarkan kejujuran dan integritas: disetiap pelajaran yang diajarkan pengajar juga menyisipkan nasehat-nasehat tentang nilai-nilai positif, pengajar memberikan kepercayaan kepada sisiwa untuk berperilaku jujur dan integritas
ketika pengajar meminta siswa untuk menilai hasil ulangan
3. Menghargai privasi anak didik: pengajar berusaha untuk tidak membeberkan hal buruk tentang anak didiknya di depan umum yang akan membuat anak didik itu merasa malu dan minder
4.Mengajarkan memecahkan masalah : pengajar memberikan pelajaran mengenai cara berpikir sistematis agar dapat menyelesaikan persoalan dengan baik
2.5 Cara Mengembangkan Emotional Intelligence
Cooper dan Sawaf (2000)  mengemukakan model empat batu untuk menjalankan teori kecerdasan emosi dalam kehidupan sehari-hari:
1.Kesadaran emosi (emotional literacy): membangun kepiawaian dan rasa percaya diri melalui kejujuran, enerji, tanggung jawab, koneksi. Individu harus melawan rasa tidak percaya diri dan mulai terbuka kepada orang lain.
2.Kebugaran emosi ( emotional fitness) : mengembangkan sifat dapat dipercaya, keuletan, kepercayaan, mendengarkan orang lain, mengelola konflik, mengelola kekecewaan. Individu harus mulai menghilangkan keegoisannya. Jangan hanya ingin diperhatikan orang lain, tetapi juga harus mencoba untuk mengembangkan rasa empati kepada orang lain.
3.Kedalaman emosi ( emotional depth) : mengeksplorsi cara menyelaraskan hidup dan kerja anda dengan potensi yang anda miliki. Mulailah menggali bakat dan minat yang ada di dalam diri. Jangan takut mencoba dan gagal.
4.Alkali emosi ( emotional alchemy) : memperdalam naluri dan kemampuan kreatif untuk menangani masalah dan bersaing demi masa depan untuk membangun keterampilan yang lebih peka terhadap kemungkinan solusi yang masih tersembunyi dan peluang yang masih terbuka. Bukalah pikiran kita dan hilangkan rasa putus asa ketika menghadapi masalah. Yakinkan diri bahwa setiap masalah itu pasti memiliki jalan keluarnya.
 
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Secara sederhana kecerdasan emosi dapat diartkan kemampuan memahami perasaan  diri sendiri, kemampuan memahami perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, dan  kemampuan mengelola emosi dengan  baik pada diri sendiri, dan dalam hubungan dengan orang lain.
2.Kemampuan emotional intelligence seseorang dapat dilihat dari kepribadiannya. Emotional intelligence bukan kecerdasan warisan biologis, tetapi tumbuh dan berkembang melalui proses belajar seumur hidup.
3. Daniel Goleman mengemukakan ada lima ciri kepribadian individu yang memiliki emotional intelligence yaitu kesadarn diri, pengaturan diri, motivasi, empati, dan keterampilan sosial.
4. Ada beberapa cara yang dapat diterapkan oleh guru dalam menerapkan konsep pembelajaran yang menyisipkan nilai emotional intelligence, yaitu mengembangkan empati dan kepedulian, mengajarkan kejujuran dan integritas, menghargai privasi anak didik, dan mengajarkan memecahkan masalah.
5. Cooper dan Sawaf (2000) mengemukakan model empat batu untuk menjalankan teori kecerdasan emosi dalam kehidupan sehari-hari yaitu kesadaran emosi (emotional literacy), kebugaran emosi ( emotional fitness), kedalaman emosi ( emotional depth), dan alkali emosi ( emotional alchemy).
3.2 Saran
            Sebaiknya para pengajar, orang tua dan siswa tidak hanya mengejar kempuan intelektual semata, tetapi harus dibarengi dengan kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual. Dengan demikian, akan terdapat sinkronisasi pada kepribadian individu yang akan menunjang untuk kesuksesan kelak. Selain itu, pemerintah juga harus mengubah sitem pembelajaran di Indonesia. Jangan hanya menekankan pada kognitif semata, tetapi juga harus ditingkatkan kepada nilai afektif . hal itu agar menciptakan generasi penerus bangsa yang memiliki moralitas yang baik.

DAFTAR PUSTAKA

Goleman,D.1996.Kecerdasan Emosional. Jakarta: P.T Gramedia
Haryanto.(2013). Emotional Intelligence. [online]. Tersedia: http://belajarpsikologi.blogspot.com.[12November 2013]
Matmun,A.B.2007. Psikologi Pendidikan. Bandung: P.T Remaja Rosdakarya Offset
Miftahul Anwar. (2013). Pembelajaran Kontekstual. [online]. Tersedia: http://pembelajarandisekolah.blogspot.com.[12 November 2013]
Solihudin Ichsan.2012.Rahasia Menjadi Pribadi Unggul.Bandung: Brainside Intelligence






Komentar

Popular post

BOOK REPORT FILSAFAT MORAL

BAB   I PENDAHULUAN 1.1   Identitas Buku Judul buku       : Filsafat Moral Penulis                : James Rachels Cetakan              : ke enam Tahun terbit      : 2013 Penerbit              : Kanisius, Jl. Cempaka 9, Deresan, Yogyakarta 55011 Halaman             : 394 lembar Harga                 : Rp. 52.000,00 Penerjemah       : A. Sudiarja 1.2   Latar Belakang Penulisan Persoalan-persoalan amoral dewasa ini dinilai semakin memprihatinkan. Banyak kalangan masyarakat yang berperilaku melawan aturan-aturan moral. Aturan yang semula ditaati demi terciptanya keteraturan sosial, kini dengan mudah ditentang oleh banyak kalangan. Perbuatan amoral seolah menjadi hal lumrah di masyarakat. Keteraturan sosial semakin jauh dari harapan. Perubahan zaman yang diwarnai dengan arus globalisasi dan modernisasi merubah segala etika dan aturan moral menjadi sesuatu yang kuno, sehingga banyak kalangan yang meninggalkannya. Degradasi moral yang melanda generasi m

Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan

A.     Pendahuluan Bahasa merupakan   alat komunikasi yang penting   agar manusia dapat saling berinteraksi dan berbagi informasi dengan manusia yang lain. Bahasa ada yang digunakan secara lisan, adapula yang digunakan dalam bentuk tulisan. Bahasa melengkapi anugerah yang diberikan Tuhan kepada manusia. Melalui bahasa, manusia dapat terus mengembangkan kemampuan menalar yang dimilikinya. Kemampuan menalar tersebut sangat penting untuk mengembangkan kemampuan manusia agar terus berkembang kearah kemajuan. Hal itulah yang membuat perkembangan manusia cenderung dinamis. Mengingat pentingnya bahasa dalam kehidupan manusia, maka penggunaan bahasa harus benar agar dapat dimengerti oleh manusia lain dan tidak menimbulkan kesalah pahaman, terutama dalam penggunakan bahasa tulisan. Dalam menulis, manusia tidak bisa sekehendak hati, tetapi harus mematuhi aturan-aturan yang berlaku. Di Indonesia, aturan menulis harus sesuai dengan Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan. Penetapan atur