Langsung ke konten utama

BAB V LANJUTAN DISIPLIN SOSIOLOGI BAGIAN II



  1. PENDAHULUAN
   Setelah mempelajari berbagai seluk beluk sosialisasi, maka pada bahasan kali ini akan memberikan penjelasan menegenai paradigma sosiologi. Paradigma  ini akan memberikan penjelasan mengenai pokok persoalan yang dipelajari dalam sosiologi. Paradigma ini mencakup teori-teori, metoda-metoda, dan instrumen-instrumen yang ada dalam sosiologi. Jika kita sudah memahami konsep-konsep dasar yang akan dikupas dalam sosiologi, maka kita tidak akan mengalami kesulitan yang berarti ketika mendalami ilmu sosiologi.
Ada tiga paradigma sosiologi yang perlu dipahami yaitu paradigma fakta sosial, paradigma definisi sosial dan paradigma perilaku sosial. Setiap paradigma memiliki pusat perhatian yang berbeda dalam mengkaji objek sosiologi. Setiap teori memiliki persamaan dan perbedaan masing-masing. Suatu teori muncul untuk melengkapi, bahkan untuk menentang teori yang lama. Para penganut masing-masing teori memiliki pandangannya masing-masing yang menjadi landasan keyakinan mengenai kebenaran teori yang mereka kemukakan. Walaupun terdapat pertentangan diantara masing-masing teori, namun pada intinya tetap membahs mengenai pola kehidupan manusia yang dipenuhi konflik, tindakan sosial, nilai dan norma, dan keteraturan sosial.
Teori-teori yang ada memiliki objek kajian khusus yang mereka pelajari. Kita dapat menelaah masing-masing teori untuk menilai kelebihan dan kekurangan masing-masing teori. Pada dasarnya, setiap teori ingin memberikan penjelasan yang tepat mengenai kajian sosiologi. Dengan mempelajari teori-teori yang ada, kita dapat memahami sosiologi lebih mendalam. Pengetahuan kita akan lebih terbuka mengenai beragam persoalan yang dijadikan kajian oleh para ahli.

 B. SUBSTANSI RANGKUMAN

D.Teori
Salah seorang ahli sosiologi ternama, George Ritzer (1975) menjelaskan bahwa sosiologi memiliki beberapa paradigma. Paradigma menurut pandangannya adalah pandangan yang fundamental tentang apa yang menjadi pokok persoalan (subject-matter) disiplin tertentu. Paradigma menggolong-golongkan, mendefinisikan, dan menghubungkan teori-teori, metoda-metoda, dan instrumen-instrumen yang ada di dalamnya. Ada tiga paradigma sosiologi yang pelu dipahami unruk memahami berbagai persoalan pokok dalam disiplin sosiologi, yaitu paradigma fakta sosial, paradigma definisi sosial, dan pardigma perilaku sosial.   
1. Paradigma Fakta Sosial
     Pokok persoalan sosiologi adalah fakta-fakta sosial, yakni barang sesuatu (thing) yang berbeda dengan ide. Menurut Emile Durkheim, fakta sosial terdiri dari:
1.Dalam bentuk material: barang sesuatu yang dapat disimak, ditangkap, dan diobservasi.
2.Dalam bentuk non material : barang sesuatu yang dianggap nyata (external) yang merupakan fenomena yang bersifat inter subjective yang hanya dapat muncul dari dalam kesadarn manusia.
     Secara garis  besaenya fakta sosial dibedakan kedalam dua tipe, yakni stuktur sosial (social stucture) dan pranata  sosial (social institution). Secara lebih terinci fakta sosial terdiri atas kelompok, kesatuan masyarakt tertentu (societies), sistem sosial, status, peranan, nilai-nilai, keluarga, pemerintahan, dan sebagainya. Ada empat varian teori yang tergabung dalam paradigma fakta sosial yaitu teori fungsionalisme, teori konflik, teori sisitem, dan teori sosiologi makro. Dari keempat varian teori tersebut yang paling dominan adalah teori fungsionalisme struktural dan teori konflik yang akan diuraikan sebagai berikut:

a.Teori Fungsionalisme Struktural
     Teori ini menekankan keteraturan sosial (social order) dan mengabaikan konflik dan perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakt. Konsep-konsep utamanya adalah fungsi, disfungsi, fungsi laten, fungsi manifest, dan keseimbangan (equilibrium). Tokoh utama teori ini, yaitu Talcott Parson, memandang masyarakat sebagai suatu sistem yang terdiri atas bagian-bagian atau  elemen-elemen yang satu sama lain saling berhubungan dan menyatu dalam keseimbangan. Oleh karena itu, perubahan dalam satu bagian akan berpengaruh pada bagian atau elemen lain dan pada akhirnya akan berpengaruh pada sistem secara keseluruhan. Perubahan pada  masyarakat menurut teori ini berlangsung secara perlahan (evolusi). Para penganut teori ini berkecenderungan untuk memusatkan perhatian pada fungsi dari suatu fakta sosial terhadap fakta sosial lainnya.
     Fungsi adalah akibat-akibat yang dapat diamati yang menuju adaptasi atau penyesuaian dalam suatu sistem sosial. Salah seorang ahli teori Fungsionalisme Struktural yakni Robert K.Merton mengobservasi bahwa sebagaimana struktur sosial dan pranata sosial dapat menyumbang terhadap pemeliharaan fakta-fakta sosial lainnya, senaliknya juga dapat menimbulkan akibat-akibat yang bersifat negatif.  Suatu pranata atau institusi dapat fungsional bagi suatu unit sosial tertentu dan sebaliknya difungsional bagi unit sosial yang lain. Robert K. Merton meiliki konsep yang disebut sifat dari fungsi, yakni fungsi manifest dan fungsi latien. Fungsi manifest adalah fungsi yang diharapkan (intended), sedangkan fungsi laten adalah fungsi yang tidak diharapkan.
     Para penganut teroi fungsionalisme Struktural memandang segala pranata sosial yang ada dalam masyarakat serba fungsional baik fungsi mani juga dnifest maupun laten. Penganut teori  ini dipandang sebagai olongan konservatif karena mereka lebih memberikan penekanan terhadap keteraturan (order) dalam masyarakat dan mengabaikan konflik dan perubahan sosial.
  1. Teori Konflik
     Dibangunnya teori konflik yang tokoh utamanya adalah Ralf Dahrendorf menentang secara langsung pandangan-pandangan dari teori Fungsionalisme Struktural. Konsep utama teori konflik adalah wewenang dan posisi yang merupakan fakta sosial. Inti tesis dari teori konflik adalah bahwa distribusi kekuasaan dan wewenang secara tidak merata tanpa kecuali menjadi faktor  yang menentukan konflik sosial secara sistematis.
     Secara aktual kekuasaan itu selalu memisahkan dengan tegas antar penguasa dan yang dikuasai. Sehingga didalam masyarakat selalu terdapat dua golongan yang saling bertentangan, yakni golongan yang berkuasa dan golongan yang dikuasai. Golongan yang berkuasa sentiasa ingin mempertahankan status quo,sedangkan golongan yang dikuasai ingin mengadakan perubahan-perubahan. Aaspek yang memperlihatkan adanya kontras antara pandangan teori konflik dan teori fungsionalisme struktural adalah mata rantai antara teori konflik dan perubahan sosial.
     Pierre van de Berghe mengemukakan sejumlah fungsi dari konflik, yakni:
1.Sebagai alat solidaritas
2.Membantu menyiptakan ikatan aliansi dengan kelompok lain
3.Mengaktifkan peranan individu yang semula terisolasi
4.Fungsi komunikasi

  1. Paradigma Definisi Sosial
     Pokok persoalan yang menjadi bahan kajian sosiologi menurut paradigma definisi sosial adalah tindakan sosial  anatar hubungan sosial dengan inti tesisnya adalah “tindakan yang penuh arti” dari individu. Max Weber mendefinisikan tindakan sosial sebagai tindakan individu yang mempunyai makna atau arti subjektif bagi dirinya dan diarahkan kepada tindakan orang lain. Ada tiga teori yang termasuk ke dalam paradigma definisi sosial, yaitu teori aksi (action theory), interaksionisme simbolik (simbolic interactionism), dan fenomenologi (phenomenology).
a.Teori Aksi
      Teori aksi sepenuhnya mengikuti pemikiran Max Weber. Pengikutnya, yaitu Talcott Parson berhasil mengembangkan teori ini sehinggaa memperoleh pengakuan yang luas. Tindakan manusia menurut Parson memiliki empat elemen sisitem, yaitu sistem budaya, sistem sosial, sitem kepribadian, dan sistem perilaku organisme. Keempat sitem tersebut berada dalam suatu hubungan yang hirarki. Sistem budaya merupakan orientasi nilai dasar dan pola normatif yang dilembagakan dalam sistem sosial dan diinternalisasikan dalam struktur kepribadian para anggotanya. Norma diwujudkan  dalam peran-peran tertentu dalam sistem sosial yang juga disatukan dalam struktur kepribadian anggota sistem itu. Perilaku organisme merupakan energi dasar yang dinyatakan dalam pelaksanaan peran dalam sistem sosial. Parsons melihat hubungan antara berbagai sistem tindakan itu menurut kontrol sibernetika ( cybernetic control) yang didasarkan pada arus informasi dari sistem budaya ke sistem sosial, ke sistem kepribadian, dan selanjutnya ke sistem perilaku organisme (johnson, 1986:133).
     Pelbagai sistem tindakan ini juga dihubungkan dengan keempat prasyarat fungsional yang ditunjuk dengan skema A-G-I-L  ( Adaptation, Goal Attainment, Integration, Latency). Sistem budaya berfungsi bagi pertahanan pola tingkah laku (latency0, yang berisi tata nilai, norma dan kaidah-kaidah sosial yang diwujudkan dalam pepatah-pepatah atau falsafah hidup, yang semuanya mengacu pada tujuan pemeliharaan tapal batas tertentu (boundary maintenance) sehingga terbentuk ketahanan pola tingkah laku (Johnson, 1986:130); Wallace and Wolf , 1986:30; Adiwikarta, 1988: 16). Dalam sistem sosial pola-pola tingkah laku itu diaplikasikan dalam berbagai status dan peranan individu dalam peringkat sosial (social rank), yang disertai dengan kekuasaan dan sanksi-sanksi sosial tertentu (reward and punishment), serta ditunjang oleh fasilitas-fasilitas yang tersedia (Bertrand, 1974:24)
     Kedua sistem tindakan beserta fungsi-fungsinya itu disosialisasikan kepada individu melalui proses-proses komunikasi dan kontrol sibernetika, sedemikian rupa sehingga melembaga (institutionalized) serta membatin (internalized) yang akhirnya mempribadi (personalized) pada diri individu. Hal ini akan membentuk kekuatan motivasional dalam keyakinan atau kepercayaan (belief) dan rasa perasaan (sentiment-emotion), yang berfungsi bagi penilaian dalam pemilihan alternatif tindakan pencapaian tujuan (goal attainment alternative). Sistem kepribadian individu “memaksakan” organisme manusia untuk mengadaptasikan perilakunya pada perilaku sosial yang telah menjadi kepribadiannya itu.

b..Teori Interaksionisme Simbolik
     Ketika teori aksi mandeg ditengah jalan baik secara teoritis maupun empiris, kalau dilihat dari segi intensitas aplikasi teorinya, maka dalam keadaan kosong itu muncul sustu perspektif baru yang kemudian menjadi kekuatan utama ilmu sosiologi. Perspektif yang dimaksud adalah interaksionisme simbolik. Teori interaksionisme simbolik pertama kali berkembang di universitas Chicago dan dikenal pula sebagai aliran Chicago. Interaksionisme Simbolik adalah teori yang paling sukar disimpulkan. Teori ini berasal dari berbagai sumber tetapi tak ada satu sumberpun yang dapat memberikan pernyataan tunggal tentang apa yang menjadi isi dari teori ini, kecuali satu hal, yakni bahwa ide dasar teori ini bersifat menentang behaviorisme radikal yang dipelopori oleh J.B Watson. Behaviorisme menunjukan, mepelajari tingkah laku manusia secara objektif dari luar. Sedangkan interaksionisme simbolik mempelajari tindakan sosial dengan menggunakan teknik intospeksi untuk dapat mengetahui barang sesuatu yang melatarbelakangi tindakan sosial itu dari sudut aktor.
     Bahasan lebih lanjut mengenai substansi dari teori inteaksionisme simbolik ini dikemukakan oleh Arnold Rose melalui asumsi dan proposisi umum sebagai berikut:
a.Asumsi 1: manusia hidup dalam lingkungan simbol-simbol. Manusia memberikan tanggapan terhadap simbol-simbol itu seperti ia memberikan tanggapan terhadap rangsangan yang bersifat fisik.
b.Asumsi 2: Melalui simbol-simbol manusia berkemampuan menstimulir orang lain dengan cara –cara yang mungkin bebeda dari stimuli yang diterimanya dari orang lain itu.
c.Asumsi 3: Melalui komunikasi simbol-simbol dapat dipelajari sejumlah besar arti dan nilai-niali, dan karen itu dapat dipelajari cara-cara tindakan orang lain.
d.Proposisi umum (deduksi) II: dengan mempelajari kultur atau sub kutur, manusia dapat memprediksi tindakan antara sesamanya sepanjang waktu dan mengeksploitasi tindakannya sendiri untuk memprediksi tindakan orang lain.
e.Asumsi 4: Simbol, makna serta nilai-nilai yang berhubungan dengan mereka tidak hanya terpikirkan oleh mereka dalam bagian-bagian yang terpisah, tetapi dalam kelompok
f.Preposisi umum (deduksi0 II: individu menentukan sendiri barang sesuatu yang bermakana bagi dirinya sendiri
g.Asumsi 5: Berpikir merupakan suatu proses pencarian kemungkinan yang bersifat simbolis dan unttuk mempelajari tindakan-tindakan yang akan datang

  1. teori Fenemonologi ( Phenomenological Sociology)
     Persoalan pokok yang hendak diterangkan dalam teori ini justru menyangkut persoalan pokok ilmu sosial sendiri, yakni bagaimana kehidupan masyarakat itu terbentuk. Ada empat unsur pokok dalam teori ini, yaitu:
a.Perhatian terhadap aktor
b.Memusatkan perhatian kepada kenyataan yang penting atau yang pokok
c.Memusatkan perhatian kepada masalah makro
d.Memperhatikan pertumbuhan, perubahan, dan proses tindakan

4.Penganut Metode
     Paradigma definisi sosial cenderung mempergunakan metode observasi dalam penelitian mereka agar memahami realitas intrasubjective dan intersubjective dari tindakan sosial dan interaksi sosial. Tipe Teknik Observasi merupakan teknik yang paling ringan adalah observasi yang bersifat eksplorasi. Ada empt tipe observasi, yaitu:
  1. Participant observation
  2. Participant as observer
  3. Observes as participant
  4. Coplete observer


  1. ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Sosiologi memiliki beberapa paradigma. Paradigma menurut pandangannya adalah pandangan yang fundamental tentang apa yang menjadi pokok persoalan (subject-matter) disiplin tertentu. Paradigma menggolong-golongkan, mendefinisikan, dan menghubungkan teori-teori, metoda-metoda, dan instrumen-instrumen yang ada di dalamnya. Ada tiga paradigma sosiologi yang pelu dipahami unruk memahami berbagai persoalan pokok dalam disiplin sosiologi, yaitu paradigma fakta sosial, paradigma definisi sosial, dan pardigma perilaku sosial.   
Paradidgama fakta sosial menekankan kepada pokok persoalan sosiologi yaitu fakta-fakta sosial, yakni barang sesuatu (thing) yang berbeda dengan ide. Fakta sosial terdiri dari bentuk material dan bentuk non material. Sedangkan paradigma definisi sosial memiliki pokok persoalan yaitu tindakan sosial  anatar hubungan sosial dengan inti tesisnya adalah “tindakan yang penuh arti” dari individu.
Ada empat varian teori yang tergabung dalam paradigma fakta sosial yaitu teori fungsionalisme, teori konflik, teori sisitem, dan teori sosiologi makro. Dari keempat varian teori tersebut yang paling dominan adalah teori fungsionalisme struktural dan teori konflik. Teori fungsionalisme menekankan keteraturan sosial dan mengabaikan konflik beserta perubahan-perubahan sosial. Teori konflik menentang teori fungsinalisme. Teori konflik menilai bahwa didalam masyarakat selalu ada pertentangan keinginan yang menimbulkan konflik.
Paradigma definisi sosial memiliki tiga teori yaitu teori aksi, interaksionisme simbolik dan fenomenologi. Ketiga teori memiliki cukup banyak perbedaan, namun masih ada pula sejumlah persamaan. Misalnketiganya memiliki ide dasar yang sama yang menyatakan bahwa manusia merupakan aktor yang kreatif dari realitas sosial.bahwa Teori aksi menilai bahwa tindakan manusia memiliki empat elemen sisitem, yaitu sistem budaya, sistem sosial, sitem kepribadian, dan sistem perilaku organisme. Teori interaksionisme simbolik menentang behaviorisme radikal yang berpendirian bahwa perilaku individu merupakan sesutu yang dapat diamati.

Komentar

Popular post

makalah emotional intelligence

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang             Kecerdasan intelektual seringkali menjadi ukuran sebagian besar orang untuk meraih kesuksesan. Banyak orang berpikir, dengan kemampuan intelektual yang tinggi, seseorang bisa meraih masa depan yang   cerah dalam hidupnya. Tidak heran, banyak orang tua selalu menekankan anaknya untuk meraih nilai sebaik mungkin agar kelak memiliki masa depan yang cemerlang. Sistem pendidikan di negara kita yang lebih menekankan pada prestasi akademik siswa atau mahasiswa juga semakin mendukung argumen tersebut. Padahal kenyataannya, kecerdasan intelektual bukanlah hal mutlak yang dapat menjamin kesuksesan seseorang.             Mungkin kita sering bertanya-tanya mengapa orang yang ber-IQ tinggi justru banyak yang mengalami kegagalan dalam karirnya. Sedangkan orang yang ber-IQ sedang justru dapat lebih sukses dari orang yang ber-IQ tinggi. Hal itu disebabkan karena ada satu kecerdasan yang lebih berpengaruh dalam menentukan kesuksesan seseoran

BOOK REPORT FILSAFAT MORAL

BAB   I PENDAHULUAN 1.1   Identitas Buku Judul buku       : Filsafat Moral Penulis                : James Rachels Cetakan              : ke enam Tahun terbit      : 2013 Penerbit              : Kanisius, Jl. Cempaka 9, Deresan, Yogyakarta 55011 Halaman             : 394 lembar Harga                 : Rp. 52.000,00 Penerjemah       : A. Sudiarja 1.2   Latar Belakang Penulisan Persoalan-persoalan amoral dewasa ini dinilai semakin memprihatinkan. Banyak kalangan masyarakat yang berperilaku melawan aturan-aturan moral. Aturan yang semula ditaati demi terciptanya keteraturan sosial, kini dengan mudah ditentang oleh banyak kalangan. Perbuatan amoral seolah menjadi hal lumrah di masyarakat. Keteraturan sosial semakin jauh dari harapan. Perubahan zaman yang diwarnai dengan arus globalisasi dan modernisasi merubah segala etika dan aturan moral menjadi sesuatu yang kuno, sehingga banyak kalangan yang meninggalkannya. Degradasi moral yang melanda generasi m

Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan

A.     Pendahuluan Bahasa merupakan   alat komunikasi yang penting   agar manusia dapat saling berinteraksi dan berbagi informasi dengan manusia yang lain. Bahasa ada yang digunakan secara lisan, adapula yang digunakan dalam bentuk tulisan. Bahasa melengkapi anugerah yang diberikan Tuhan kepada manusia. Melalui bahasa, manusia dapat terus mengembangkan kemampuan menalar yang dimilikinya. Kemampuan menalar tersebut sangat penting untuk mengembangkan kemampuan manusia agar terus berkembang kearah kemajuan. Hal itulah yang membuat perkembangan manusia cenderung dinamis. Mengingat pentingnya bahasa dalam kehidupan manusia, maka penggunaan bahasa harus benar agar dapat dimengerti oleh manusia lain dan tidak menimbulkan kesalah pahaman, terutama dalam penggunakan bahasa tulisan. Dalam menulis, manusia tidak bisa sekehendak hati, tetapi harus mematuhi aturan-aturan yang berlaku. Di Indonesia, aturan menulis harus sesuai dengan Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan. Penetapan atur