Langsung ke konten utama

BOOK REPORT FILSAFAT MORAL



BAB  I
PENDAHULUAN

1.1  Identitas Buku
Judul buku      : Filsafat Moral
Penulis              : James Rachels
Cetakan            : ke enam
Tahun terbit     : 2013
Penerbit            : Kanisius, Jl. Cempaka 9, Deresan, Yogyakarta 55011
Halaman           : 394 lembar
Harga               : Rp. 52.000,00
Penerjemah      : A. Sudiarja

1.2  Latar Belakang Penulisan
Persoalan-persoalan amoral dewasa ini dinilai semakin memprihatinkan. Banyak kalangan masyarakat yang berperilaku melawan aturan-aturan moral. Aturan yang semula ditaati demi terciptanya keteraturan sosial, kini dengan mudah ditentang oleh banyak kalangan. Perbuatan amoral seolah menjadi hal lumrah di masyarakat. Keteraturan sosial semakin jauh dari harapan. Perubahan zaman yang diwarnai dengan arus globalisasi dan modernisasi merubah segala etika dan aturan moral menjadi sesuatu yang kuno, sehingga banyak kalangan yang meninggalkannya.
Degradasi moral yang melanda generasi muda sebagai calon penerus bangsa semakin mengkhawatirkan. Perilaku kehidupan glamor dan pergaulan bebas sudah

meracuni banyak kaula muda sehingga mengakibatkan bobroknya moral di kalangan
remaja. Jika hal ini terus dibiarkan bukan tidak mungkin akan mengakibatkan kehancuran di berbagai segi kehidupan. Oleh karena itu, pelajaran nilai, moral dan etika harus mulai digiatkan kembali.
            Buku filsafat moral ini merupakan salah satu buku filsafat yang berisi pemikiran-pemikiran dari para filsuf mengenai teori-teori moral. Teori-teori moral diciptakan untuk membahas pemasalahan-permasalahan moral dari berbagai sudut pandang. Pikiran-pikiran kita akan diajak berkelana untuk melihat kebenaran suatu kasus dari berbagai sisi. Keyakinan kita pada kebenaran suatu kasus akan diuji dengan berbagai hipotesis yang diajukan oleh para filsuf. Terkadang keyakinan kita akan goyah sehingga menghasilkan kebingungan-kebingungan mengenai benar atau tidaknya teori moral tersebut.
Maksud buku ini memang bukan untuk menyediakan kebenaran aturan-aturan moral yang sudah mutlak. Filsafat bukanlah ilmu alam yang kebenarannya sudah tidak diragukan lagi. Didalam filsafat, segala sesuatu bersifat kontroversial. Kita akan menemukan suatu penelitian mengenai teori-teori, gagasan-gagasan, dan argumen-argumen yang saling bertentangan satu sama lain. Oleh karena itu, kita harus pandai dalam memberikan taksiran dari teori-teori moral yang ada agar dapat menemukan teori yang layak diteima atau tidak layak untuk diterima.
            Moralitas tidak diterangkan hanya sebagai kesadaran manusia akan kebaikan. Buku ini membahas moralitas secara rinci melalaui berbagai macam aliran, mulai dari relativisme, subjektivisme, etika religius, egoisme, utiloisme, utilitarianisme, etika kewajiban dan teori kontrak sosial. Aliran-aliran tersebut mengajarkan kita untuk tidak mudah mempercayai kebenaran suatu teori moral, tetapi harus berpikir kritis untuk mempertimbangkan teori moral yang terbaik dengan disertai alasan-alasan yang rasional.
1.3  Gambaran Penulis
James Rachel lahir di Columbus , Georgia . Ia  lulus dari Mercer University pada tahun 1962 . Dia menerima gelar Ph.D. pada tahun 1967 dari University of North Carolina di Chapel Hill , setelah belajar di bawah asuhan Profesor WD Falk dan EM Adams . Dia mengajar di Universitas Richmond , New York University, University of Miami , Duke University dan University of Alabama di Birmingham , di

mana ia menghabiskan dua puluh enam tahun karirnya . Ia menikah dengan Carol Williams pada tahun 1962 , dan mereka memiliki dua putra , David dan Stuart . Dia meninggal karena kanker pada tahun 2003 di Birmingham, Alabama .
           Selama karirnya , Rachel menulis enam buku dan 85 esai , diedit menjadi tujuh buku dan menulis 275 ceramah profesional. Dia berargumen untuk vegetarian dan hak-hak hewan moral, tindakan afirmatif , euthanasia , dan gagasan bahwa orang tua harus memberikan banyak pertimbangan moral yang mendasar untuk anak-anak orang lain, seperti yang mereka lakukan untuk anak mereka sendiri . Kemudian dalam karirnya , Rachel menyadari bahwa seumur hidup menganalisis isu-isu moral tertentu telah membuatnya mengadopsi etika umum utilitarianisme , yaitu teori  mengenai kebahagiaan diri sendiri dan orang lain.
Karyanya yang  paling terkenal adalah The Elements of Moral Philosophy  yang telah terbit sampai edisi keenam di tahun 2009 , lalu direvisi oleh putranya sendiri yaitu Stuart Rachel . Isi pembahasan buku tersebut  adalah etis dan subjektivisme  sederhana, Emotivisme , serta etika dan egoisme psikologis . Isi bukunya juga menggunakan contoh-contoh nyata untuk menyoroti poin mengenai prinsip-prinsip filosofis yang rumit . Buku ini terjual 100.000 eksemplar selama tiga edisi. .
           Pada tahun 1975 , Rachel menulis " Aktif dan Pasif  Euthanasia " , yang awalnya muncul di New England Journal of Medicine , dan berpendapat bahwa perbedaan begitu penting dalam hukum antara membunuh dan membiarkan mati (sering didasarkan pada prinsip efek ganda ) tidak memiliki secara rasional . Dia berargumen bahwa , jika kita membiarkan eutanasia pasif , kami juga harus mengizinkan euthanasia aktif , karena lebih manusiawi , dan karena tidak ada perbedaan yang signifikan antara moral yang membunuh dan memungkinkan untuk mati . The End of Life ( 1986) , sebuah risalah moral kehidupan dan kematian..
          Rachel menulis hanya beberapa karya yang tidak langsung terfokus pada etika, seperti created from Animals: the moral implication of Darwinisme ( 1990) yang membuat kasus bahwa pandangan Darwin  memiliki implikasi filosofis yang luas , termasuk implikasi drastis untuk membahas  entitas non-manusia . Karya etika pertamanya adalah  Can ethics provide answer ? ( 1997)   . Kedua , The Legacy of Socrates , diterbitkan secara anumerta pada tahun 2007 . Sesaat sebelum kematiannya
, ia menulis Masalah dari Filsafat (2005) dan pengantar filsafat .

1.4  Kelebihan dan Kekurangan Buku
Buku  ini memiliki kelebihan dalam hal penulisan materi . Bab-bab dalam buku ditulis berdasarkan pembahasan masing-masing teori sehingga setiap bab dapat dibaca sendiri-sendiri. Hal di sebabkan bab-bab tersebut merupakan esai lepas mengenai berbagai macam topik. Orang yang tertarik pada judul bab tertentu dapat langsung membaca bab tersebut tanpa harus membaca secara berurutan dari bab pertama buku. Namun, apabila kita membacanya secara berurutan, maka akan mendapatkan runtutan cerita ilustrasi yang dirangkai dari setiap bab. Kelebihan lain yang dimiliki buku ini memang menekankan contoh kasus yang diangkat dari kisah nyata, sehingga pembaca dapat lebih memahami maksud materi dengan menganilisnya melalui contoh-contoh kasus. Diakhir buku ini, penulis memberikan anjuran referensi  lain, sehingga memudahkan pembaca yang ingin memperdalam pemahaman buku ini dengan membaca materi yang ada pada buku lain tersebut.
Namun, buku ini juga memiliki kekurangan yang terletak pada penggunaan bahasa. Dikarenakan buku ini merupakan buku terjemahan, maka bahasa yang digunakan kadang sulit dimengerti. Banyak peristilahan yang membuat pembaca harus berpikir cukup keras untuk memahami maksudnya. Bagi orang yang pertama kali membaca buku filsafat akan terasa membingungkan jika membacanya. Namun disanalah letak tantangannya. Kita dilatih untuk focus dengan bacaan agar dapat memahami maknanya.
1.5  Perbandingan dengan Buku Lain
Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa buku Filsafat Moral hasil karya James Rachels ini hanyalah salah satu buku yang membahas mengenai persolan-persoalan moral. Masih banyak referensi-referensi buku lain yang dapat digunakan untuk mempelajari permasalahan nilai, moral dan etika. Salah satunya adalah buku Etika Dasar yang ditulis oleh Frans Magnis-Suseno. Buku Etika Dasar tersebut juga membahas masalah-masalah pokok filsafat moral.
Jika dibandingkan dengan buku Filsafat Moral, buku Etika Dasar memiliki penggunaan bahasa yang ringan sehingga mudah untuk dipahami. Walaupun jumlah halaman buku Etika Dasar lebih sedikit daripada buku Filsafat Moral, namun isi bukunya cukup lengkap. Berbeda dengan buku Filsafat Moral, buku Etika Dasar tidak dilengkapi dengan uraian contoh kasus yang banyak, hanya berupa uraian materi saja

yang terkadang dilengkapi dengan beberapa analogi. Namun, disetiap akhir pembahasan buku Etika Dasar dilengkapi dengan rangkuman pembahasan di setiap bab sehingga memudahkan pembaca untuk memahami poin-poin penting disetiap bab.
Secara keseluruhan, isi buku Filsafat Moral dan Etika Dasar ini hamper sama. Yaitu membahas mengenai permasalahan moral dan teori-teori moral yang berkembang. Namun, ada bebarapa materi dalam buku Filsafat Moral yang tidak terdapat dalam buku Etika Dasar dan begitupun sebaliknya. Sehingga buku ini dapat saling melengkapi satu sama lain. Di dalam buku Filsafat moral, aliran-aliran dalam teori moaral dibahas lebih lengkap, meliputi relativisme kultural, subjektivitisme etika, moralitas dan agama, egoime psikologis, egoisme etika, utilitarianisme, aturan untuk menghormati sendiri, kontrak sosial, feminisme dan etika kepedulian dan etika keutamaan. Didalam buku Etika Dasar hanya membahas mengenai utilitarianisme, etika kepedulian dan etika keutamaan. Namun, buku Etika Dasar juga memiliki kelebihan pada pembahasan etika yang tidak ada dalam buku filsafat moral.
Kedua buku sama-sama mengajarkan sikap untuk peduli kepada sesama,  berperilaku baik sesuai etika keutamaan, menghindari sikap hedonisme dan belajar untuk tidak bersikap egois. Setiap tindakan yang dilakukan harus memiliki alasan dan landasan yang kuat, sehingga kita tidak asal bertindak. Sebagai makhluk yang rasional kita harus mempertimbangkan segala akibat sebelum bertindak. Selain itu, kita harus belajar kritis menghadapi setiap persoalan, agar tidak gampang menilai baik buruknya sesuatu hanya berdasarkan subjektivitas semata.

1.6  Tujuan Penulisan
  1. Manfaat secara teoritis
1.      Kita dapat mengetahui teori-teori moral yang dikemukakan oleh para filsuf terkemuka,
2.      Menambah pengetahuan mengenai aturan-aturan moral dari setiap teori,
3.      Belajar memahami bahasa filsafat,
4.      Memahami kelebihan dan kekurangan dari masing-masing teori moral sehingga dapat membedakan mana yang baik dan mana yang kurang baik.
  1. Manfaat secara praktis
1.      Mempraktekan teori moral yang dinilai baik kedalam perilaku sehari-hari,
2.      Memberikan pengarahan sikap untuk belajar mengatasi masalah dari

berbagai sudut pandang,
3.      Memberikan petunjuk mengenai sikap hidup yang baik dengan mempertimbangkan teori-teori moral.

1.7  Sistematika Penulisan

Kata Pengantar
Daftar Isi
 Bab I Pendahuluan
1.1  Identitas buku
1.2  Latar belakang penulisan
1.3  Gambaran penulis
1.4  Kelebihan dan kekurangan buku
1.5  Perbandingan dengan buku lain
1.6  Tujuan penulisan
1.7  Sitematika penulisan
Bab II Laporan isi buku
Bab III Pembahasan
Bab IV Penutup
4.1 Kesimpulan
4.2  Saran
Daftar pustaka












BAB II
LAPORAN ISI BUKU

Bab1 Apakah Moralitas itu?
Filsafat moral adalah upaya untuk mensistematiskan pengetahuan tentang hakikat moralitas dan apa yang dituntut dari kita selaku manusia. Sokrates memnilai bahwa moralitas itu berisi tentang bagaiman seharusnya kita hidup dan mengapa demikian. Banyak definisi-definisi moralitas yang mengutarakan konsep yang berbeda mengenai apa artinya hidup secara moral. Hal itu akan membuat kita bingung. Oleh karena itu muncullah konsepsi minimum dari moralitas. Konsepsi minimum merupakan pokok yang bisa diterima oleh setiap teori moral, paling tidak sebagai titik tolak.  
Ada dua pokok utama dalam moralitas yang harus kita catat sebagai pegangan dalam menghadapi kasus-kasus moralitas yang marak terjadi. Pertama, keputusan moral harus didukung oleh akal yang baik. Kedua, moralitas menuntut pertimbangan yang tidak berpihak kepada kepentingan satu pihak saja. Moralitas merupakan persoalan akal dan tidak hanya mengandalkan perasaan pribadi. Tindakan dalam suatu kasus dapat dinilai benar  secara moral jika dilandasi oleh alasan-alasan terbaik untuk melakukannya. Moralitas merupakan usaha untuk membimbing tindakan seseorang dengan akal yang dapat membedakan mengenai perbuatan baik dan buruk. Pelaku moral yang sadar adalah seseorang yang mempunyai kesadaran untuk mencari kebenaran menggunakan pikirannya dalam bertindak.

Bab 2 Tantangan Relativisme Kultural
            Setiap budaya memiliki kode moral yang berbeda.. Kunci untuk memahami moralitas adalah memahami bahwa setiap budaya memiliki nilai kebenaran yang berbeda. Relativisme kultural adalah teori tentang hakekat moralitas. Dasar relativisme kultural adalah argumentasi mengenai perbedaan kultural. Pokok utama yang ditekankan dalam relativisme kutural adalah kita tidak dapat mengatakan bahwa kebiasaan masyarakat lain lebih rendah derajat moralnya dari adat kebiasaan masyarakat kita. Kita harus menghentikan kecaman kepada masyarakat lain hanya karena budayanya berbeda. Namun, konsekuensi dari  relativisme kultural adalah kita tidak boleh mengkritik kebudayaan yang berisi tindakan-tindakan yang kurang mulia

dari masyarakat lain. Oleh karena itulah, kemajuan dalam relativisme kultural tidak berkembang. Masyarakat harus saling toleran terhadap kebudayaan lain, sekalipun itu tidak baik.
            Ada dua pelajaran yang dapat kita ambil dari teori relativisme kultural. Pertama, relativisme kultural mengajarkan bahwa tidak ada alasan objektif yang dapat membuktikan kebudayaan masyarakat yang satu lebih baik dari yang lainnya. Kedua, relativisme kultural membuka pikiran kita bahwa praktek dan sikap yang selama ini kita anggap baik ternyata hanya merupakan hasil kultur yang berlaku dalam kebudayan kita saja.

Bab 3 Subjektivisme dalam Etika
            Subjektivisme etis merupakan gagasan bahwa pendapat-pendapat moral kita berdasarkan perasaan-perasaan yang subjektif. Atas dasar pandangan ini, tidak ada yang disebut perilaku benar ataupun salah secara objektif, yang ada hanyalah pandangan secara subjektif. Perkembangan gagasan subjektivisme etis berkembang melalui beberapa tahapan seperti gagasan filsafat lainnya.        
Landasan yang menjadi dasar dari teori subjektivisme etis adalah subjektivisme sederhana. Gagasan ini bependapat bahwa seseorang mengatakan sesuatu itu baik atau buruk tergantung kepada penilaiannya terhadap perilaku tersebut.
Versi baru teori subjektivisme sederhana adalah emotivisme. Emotivisme dimulai dengan pengamatan bahwa bahasa digunakan dengan cara yang beraneka ragam. Salah satu penggunaan bahasa adalah untuk menyatakan fakta atau paling tidak untuk menyatakan apa yang kita yakini sebagai fakta. Bahasa moral dalam emotivisme digunakan sebagai sarana untuk mempengaruhi perilaku orang lain. Bagi kaum emotivis
            Suatu putusan moral atau jenis putusan nilai apapun harus  didukung oleh alasan-alasan (penalaran) yang baik. Suatu teori yang baik terutama yang menyangkut putusan moral harusnya dapat memberi penjelasan mengenai hubungan antara putusan moral dengan penalaran yang mendukungnya. Jika kita mau memahami hakekat etika, maka kita harus memusatkan diri pada penalaran. Kebenaran objektif mengenai suatu permasalahan hanya akan didapat jika seseorang dapat melepaskan diri dari penilaian subjektif.
             

Ada dua alasan yang memberikan kesan bahwa putusan moral itu tidak dapat dibuktikan kebenarannya. Pertama, orang salah mengartikan makna bukti dalam etika. Kedua, kita seringkali memulai mencari bukti dari kasus yang sukar, sehingga kita akan merasakan bahwa bukti dalam etika itu mustahil.

Bab 4 Apakah Moralitas Bergantung pada Agama?
            Pada umumnya orang percaya bahwa moralitas dan agama tidak dapat dipisahkan. Tidak sulit untuk melihat mengapa orang berpikir adanya hubungan ini.
Sebab dalam pandangan non religius, alam semesta ini tampaknya merupakan tempat yang dingin, tanpa arti, kosong dari nilai dan tujuan.   Dalam teori perintah Tuhan, Tuhan dilukiskan sebagai pemberi hukum, yang telah menetapkan hukum yang harus ditaati. Namun, Tuhan tidak memaksa kita untuk mentaatinya. Kita diciptakan sebagai makhluk yang bebas, dapat memilih untuk menerima atau menolak perintahNya. Tetapi, jika kita mau hidup seperti seharusnya agar dapat merasakan makna kehidupan, kita harus mengikuti hukum-hukum Tuhan. Banyak pemeluk agama yang percaya bahwa mereka harus menerima konsep teologis (ketuhanan) mengenai yang benar dan yang slah karena kalau tidak, mereka akan dianggap kafir.
            Dalam sejarah pemikiran kristen,  teori etis yang dominan adalah teori hukum kodrat. Teori ini mempunyai tiga bagian yaitu:
a).Teori ini berdasarkan pada sesuatu pandangan mengenai dunia,
b).Teori hukum kodrat tidak hanya melukiskan bagaimana adanya, tetapi juga merinci bagaimana seharusnya.
c). Bagian ketiga dalam teori ini adalah mengarahkan pada pertanyaan tentang pengetahuan moral.
            Moralitas itu menyangkut soal akal dan kesadaran, bukan iman keagamaan. Dalam kasus tertentu, kesadaran keagamaan tidaklah menjamin pemecahan terhadap masalah-masalah moral khusus yang kita hadapi.

Bab 5 Egoisme Psikologis
            Moralitas menuntut kita untuk tidak berkutat diri (unselfish).. Menurut teori egoisme psikologis setiap tindakan manusia dimotivasikan oleh kepentingan diri. Kita boleh yakin diri kita luhur dan suka berkorban, tetapi hal itu hanya ilusi. Dalam kenyataannya, kita hanya peduli pada diri sendiri. Setiap orang tahu bahwa terkadang

orang bertindak altruistik.. Thomas Hobbes menyatakan bahwa egoisme psikologis mungkin benar. Thomas Hobbes mencatat motif-motif manusia yang menyebabkan manusia berperilaku altruistik. Ada dua contoh motif  hasil pemikiran Hobbes yaitu cinta kasih dan belas kasih.
            Dua argument umum yang  sering diajukan untuk  egoisme psikologis Argumen ini mencoba  menetapkan bahwa semua tindakan secara menyeluruh, bukan hanya sekelompok tindakan tertentu, dimotivasikan oleh kepentingan diri (self interest). Dua argument itu yaitu:
  1. Argumen bahwa apa yang kita lakukan adalah apa yang paling kita inginkan
  2. Argumen bahwa yang kita lakukan adalah yang membuat kita merasa enak
Salah satu kecenderungan kuat dari sebuah teori adalah kesederhanaannya. Semakin sederhana sebuah teori ilmiah, semakin besar daya tariknya.Kemampuan teori untuk menyatukan fenomena yang berbeda-beda menjadi satu dibawah suatu prinsip penjelasan merupakan satu dari keutamaannya yang besar. Hal itu akan membuat kekacawan menjadi keteraturan.
            Namun , gagasan dasar Egoisme Psikologi tidak dapat diungkapkan tanpa jatuh dari kekacauan teori. Hal itu berdasarkan beberapa pemikiran. Pertama, Pertama, orang suka mencampuradukan antara berkutat diri (selfishness) dan kepentingan diri ( self interest). Jika dipikirkan, keduanya berbeda. Kedua adalah perilaku yang mementingkan diri dan mengejar kenikmatan. Kekacauan ketiga adalah anggapan umum tetapi keliru bahwa kepedulian untuk kesejahteraan seseorang tidak bertautan dengan kepedulian sejati kepada yang lain. Kesalahan dalam mendalami egoisme psikologis adalah asumsi pengontrol bahwa semua perilaku adalah kepentingan diri dan segala sesuatu yang terjadi dapat ditafsirkan sesuai dengan asumsi ini.

Bab 6 Egoisme Etis
            Moralitas menuntut kita untuk dapat menyeimbangkan kepentingan kita dengan kepentingan yang lain. Akal sehat mengandaikan bahwa kepentingan orang lain perlu diperhitungkan demi kepentingan mereka. Tetapi akal sehat seseorang bagi orang lain merupakan omong kosong. Didalam egoisme etis mengajarkan bahwa setiap orang harus mengejar kepentingannya sendiri secara eksklusif. Egoisme etis menyatakan bahwa kita tidak memiliki kewajiban moral selain menjalankan


perbuatan yang paling baik utnuk diri sendiri. Namun, egoisme etis tidak mengajarkan
bahwa anda tidak boleh menolong orang lain. Dalam berbagai kesempatan, anda mungkin saja dapat menolong diri sendiri dan orang lain secara bersamaan.
Ada tiga argument pendukung egoisme etis yaitu:
  1. Argument bahwa altruism dapat menghancurkan diri sendiri
  2. Argumen Ayn Rand
  3. Argumen egoisme etis dianggap cocok dengan moralitas akal sehat
Selain yang mendukung, ada argument yang menentang egoisme etis, yaitu:
  1. Argumen bahwa egoisme etis tiidak dapat memecahkan konflik kepentingan
  2. Argumen bahwa egoisme etis secara logis konsisten
  3. Argumen bahwa egoisme etis sewenang-wenang dan tidak dapat diterima

Bab 7  Persolan Utilitarianisme
            Moralitas menurut Bentham bukanlah soal menyenangkan hati Allah ataupun soal kesetiaan kepada hal abstrak. Moralitas tidak lain adalah upaya untuk dapat memperoleh kebahagiaan di dunia. Bentham berpendapat ada satu moral utama, yaitu prinsip utilitas. Bentham beruntung mempunyai murid seperti John Stuart Mill yang dapat mengembangkan utilitarisme menjadi lebih elegan dan persuasive. Moralitas tidak lagi dipahami sebagai kepercayaan pada  aturan yang diberikan oleh ilahi atau sejumlah perangkat aturan yang tidak bias diubah. Itulah yang pada waktu itu merupakan gagasan munculnya revolusioner.
            Kaum utilitarianis adalah para filsuf maupun pembaru social. Mereka berkeinginan agar ajaran mereka berbeda, tidak hanya dalam pemikiran, melainkan juga dalam praktek. Untuk menguji implikasi dari filsafat mereka, maka diujikan melalui dua isu yaitu euthanasia dan perlakuan terhadap binatang. Namun kedua isu tersebut belum menerapkan penerapan praktis menyeluruh dari teori utilitarianisme. Tetapi kedua isu tersebut dapat memberikan indikasi mengenai jenis pendekatan yang khas yang dianut oleh utilitarianisme.
           
Bab 8 Perdebatan Utilitarianisme
            Utilitarianisme klasik yang dikemukakan oeh Bentham dan Mill, dapat diringkas kedalam tiga pernyataan, yaitu: pertama, tindakan harus dinilai benar atau

salah hanya demi akibat-akibatnya. Kedua, dalam mengukur akibat-akibatnya, satu-satunya yang penting hanyalah jumlah kebahagiaan atau ketidakbahagiaan yang dihasilkan. Ketiga, kesejahteraan setiap orang dianggap sama pentingnya.
            Utilitarianisme menuntut orang untuk bersikap keras, tidak pilih kasih, berlaku seperti penonton yang baik hati dan tidak pamrih. Tindakan yang benar adalah yang menghasilkan pemerataan maksimal dari kebahagiaan diatas ketidakbahagiaan, dimana kebahagiaan setiap orang dipertimbangkan sama penting. Daya tarik dari teori utilitarisme begitu besar terutama bagi para filsuf, ekonomi, dan ahli-ahli lain. Teori ini bisa diterima secara luas, namun tidak sedikit pula yang menentangnya.        Utilitarianisme klasik menganggap bahwa tindakan manusia dinilai baik apabila mampu menghasilkan kebahagiaan. Sebagaimana dikatakan oleh Mill  bahwa ajaran utilitarianis menjadikan kebahagiaan sebagai sesuatu yang diinginkan dan untuk mencapainya dapat dilakukan dengan berbagai cara. Gagasan bahwa kebahagiaan merupakan tujuan terakhir dikenal dengan hedonisme.
            Gagasan bahwa hanya akibat yang menjadi ukuran merupakan bagian penting dari utilitarianisme. Gagasan inti yang menjadi dasar teori ini adalah bahwa  untuk menentukan apakah suatu tindakan bisa disebut benar , kita perlu melihat apa yang akan terjadi sebagai akibat dari tindakan itu. Pertimbangan itu meliputi keadilan, hak-hak dan alasan-alasan melihat ke belakang.
            Unsur terakhir dari utilitarian adalah gagasan bahwa kita harus mengupayakan kesejahteraan setiap orang secara sama penting. Utilitaritas akan menuntut kita untuk menyerahkan sebagian besar materi kita untuk kepentingan orang lain, bahkan membuat kita harus rela menderita demi kebahagiaan orang lain. Utilitarianisme kurang menghargai hubungan-hubungan pribadi kita yang akhirnya oleh para kritikus dianggap sebagai kesalahan besar.

Bab 9 Adakah Aturan-aturan Moral yang Absolut?
            Gagasan bahwa aturan moral ditaati tanpa pengecualian sulit untuk dipertahankan. Mudah untuk menjelaskan mengapa kita seharusnya membuat pengecualian terhadap suatu peraturan apabila kita menganggap bahwa peraturan itu mengakibatkan hasil yang mengerikan. Perintah itu menyatakan kepada kita tentang apa yang harus kita lakukan jika kita mempunyai keinginan yang relevan dengan perintah itu. Keharusan moral sebaliknya, tidak tergantung pada adanya keinginan-


keinginan khusus. Bentuk dari suatu kewajiban moral bukanlah  “jikalau anda menginginkan sesuatu maka anda wajib melakukan sesuatu”, melainkam “anda wajib melakukan ini-itu, titk.”
            Menjadi pelaku moral berarti mengarahkan perilakunya dengan “hukum-hukum universal”. Immanuel Kant beranggapan bahwa aturan yang melarang berbohong merupakan salah satu dari hukum universal. Kant menganggap bahwa kebohongan itu tidak  dapat dibenarkan meskipun berbohong untuk kebaikan. Dalam buku A Short History of Ethics (1966), Alasdair Maclntyre menyatakan bahwa “bagi banyak orang yang belum pernah mendengar filsafat, apalagi nama Kant, moralitas secara kasar merupakan apa yang dikatakan Kant yakni sebuah sistem aturan yang harus diikuti karena wajib tanpa peduli pada apa yang diinginkan atau dimaui seseorang. Seseorang tidak dapat memandang dirinya istimewa dari sudut pandang moral. Yang dituntut dari gagasan Kant ialah jika kita melanggar suatu aturan , maka kita melakukan itu demi suatu alasan yang bisa kita berlakukan juga untuk diterima oleh orang lain yang berada dalam posisi yang sama dengan kita.

Bab 10 Kant dan Hormat pada Pribadi
            Kant beranggapan bahwa manusia menduduki wilayah ciptaan yang istimewa.. Seperti para filsuf lainnya, Kant yakin bahwa moralitas itu dapat dirumuskan sebagai sesuatu yang mutakhir, yang dapat mengajarkan hak dan kewajiban. Ia menyebutnya prinsip Imperatif Kategoris. Ada dua fakta penting menyangkut pendapat Kant tentang manusia, yaitu: pertama manusia memiliki keinginan dan tujuan. Kedua yaitu manusia mempunyai martabat karena manusia merupakan pelaku rasional. Kant menganggap bahwa kita tidak boleh menggunakan orang untuk mencapai tujuan kita sendiri betapapun baiknya tujuan itu.
            Jeremy Bentham, teoritikus besar Utilitarianisme mengatakan bahwa semua hukuman merupakan kekeiruan. Maksudnya ialah hukuman senantiasa melibatkan perlakuan buruk terhadap orang yang diberi hukuman. Pandangan ini dikenal dengan istilah “retributivisme”. Menurut utilitarianisme, kewajiban kita adalah melakukan hal apapun yang dapat menambah jumlah kebahagiaan di dunia. Hukuman dipandang jahat karena merusak kebahagiaan. Hukuman dapat dibenarakan jika menghasilkan akibat-akibat baik yang dapat mengatasi  masalah kejahatan.

            Ada dua cara dimana praktek penghukuman bagi para pelanggar itu menguntungkan masyarakat. Pertama, hukuman bagi kriminal itu menolong masyarakat untuk mencegah kejahatan, atau paling tidak dapat mengurangi taraf kegiatan kriminal di masyarakat. Kedua, sistem penghukuman yang direncanakan dengan baik kiranya dapat mempunyai efek untuk merehabilitasi pelaku kejahatan. Hasil logis dari cara berpikir ini adalah kita harus meninggalkan paham hukuman dan menggantinya dengan perlakuan yang lebih manusiawi.
            Sebagaimana semua ajaran ortodoks lainnya, teori utilitariaisme mengenai hukuman menimbulkan perlawanan. Kebanyakan perlawanan ini karena melihat kenyataan bahwa rehabilitasi yang digunakan untuk menggantikan hukuman ternyata tidak berhasil. Selain itu, program rehabilitasi yang kedengarannya bagus, ternyata tak lebih dari usaha untuk mencetak manusia menjadi apa yang seharusnya menurut pemikiran kita. Kita memang mempunyai hak untuk merespon kenakalan mereka, tetapi kita tidak mempunyai hak untuk melanggar integritas mereka dengan mencoba memanipulasi kepribadian mereka menurut kemauan kita.
            Jadi, Kant tidak sependapat dengan pembenaran kaum utilitaris terhadap  prinsip hukuman. Pertama, orang harus dihukum hanya karena mereka melakukan kejahatan, dan tidak karena alasan lain. Kedua, pentinglah menghukum penjahat secara setimpal ( proportionality) sesuai dengan beratnya kejahatan yang dilakukannya. Menurut Kant, kita harus memperlakukan sesorang sebagai makhluk rasional.

Bab 11 Gagasan tentang Kontrak Sosial
            Thomas Hobbes, seorang filsuf Inggris  yang terkemuka pada abad ke 17, mencoba memperlihatkan bahwa moralitas tidak tergantug pada Tuhan, fakta moral atau altruisme kodrati, melainkan harus dipahami sebagai solusi untuk suatu masalah praktis yang muncul karena manusia mempunyai kepentingan diri. Hobbes bepikir apa jadinya bila tidak ada aturan moral dan tidak ada mekanisme yang diterima secara untuk memaksa mereka berbuat teratur. Dalam situasi tersebut, kita akan hidup bebas tanpa aturan dan dapat melakukan apapun yang kita sukai. Hobbes menyebut hal ini dengan keadaan alami ( the state of nature).
            Hobbes menunjukan bahwa keadaan alami itu tidak menyenangkan. Hal itu berdasarkan beberapa fakta yang mendukung yaitu:

  1. Manusia sama-sama memiliki kebuthan dasar
  2. Kehidupan ini penuh dengan kekurangan
  3. Jika barang-barang pokok tidak mencukupi, maka kita harus bersaing untuk mendapatkannya
  4. Altruisme terbatas yang dimiliki setiap orang
Oleh karena itu, untuk melepaskan diri dari keadaan alami, orang lembaga harus setuju dengan pembentukan aturan-aturan dan  pembentukan sebuah lembaga Negara dengan kekuasaan yang diperlukan untuk memperkuat aturan-aturan itu. Menurut Hobbes,  persetujuan itu sungguh-sungguh ada dan itulah yang membuat kehidupan social teratur. Persetujuan ini dinamakn kontrak sosial ( the social contract). Teori moral kontrak social adalah gagasan bahwa moralitas merupakan seperangkat aturan yang merancang bagaimana seharusnya orang saling memperlakukan satu sama lain, bahwa orang yang rasional akan setuju untuk menerima, demi keuntungan timbal balik, asalkan orang lain mengikuti aturan-aturan itu juga.
Kekuatan teori ini dalam banyak hal terletak pada fakta bahwa teori itu menyediakan jawaban-jawaban sederhana dan masuk akal untuk persoalan-persoalan rumit yang senantiasa membingungkan para filsuf. Berikut adalah persoalan-persoalan rumit tersebut:
  1. Aturan-aturan moral mana yang mengikat kita dan bagaimanakah aturan-aturan itu bisa dibenarkan? Gagasan kuncinya ialah bahwa aturan-aturan yang mengikat secara moral hanyalah aturan-aturan yang diperlukan untuk kehidupan social.
  2. Mengapa masuk akal untuk menaati aturan-aturan? Kita setuju untuk menaati aturan moral karena menguntungkan bagi kita untuk hidup dalam masyarakat dimana ada aturan-aturan bersama. Masalah pokok dari kontrak social  adalah bahwa kita mampu mempercayai orang untuk setia pada aturan-aturan, kecuali mungkin dalam situasi amat darurat.
  3. Dalam situasi mana kita diperbolehkan melanggar aturan? Gagasan pokok dalam hal ini adalah resiprositas yaitu kita setuju untuk menaati aturan-aturan asalkan orang-orang lain pun  juga menaati.
  4. Apakah moralitas mempunyai dasar objetif? Moralitas bukan sekedar masalah

kebiasaan atau perasaan.  Tetapi, teori ini tidak perlu mengajukan sejenis “fakta” yang khusus untuk menjelaskan teori itu.  Moralitas adalah seperangkat aturan yang disetujui untuk diterima oleh orang-orang yang rasional, demi kebaikan mereka secara timbal balik.
Hasil dari teori kontrak social adalah bahwa kita mempunyai kewajiban untuk menaati hukum. Teori kontrak social merupakan satu dari empat pilihan besar dalam filsafat moral dewasa ini. Teori lain yaitu utilitarianisme, kantianisme, dan teori keutamaan. Teori kontrak social dapat menjelaskan kewajiban kita dalam kasus manusia normal, tetapi tidak demikian dalam kasus orang yang terbelakang.

Bab 12 Feminisme dan Etika Kepedulian
            Pandangan bahwa perempuan dan laki-laki berpikir secara berbeda, secara tradisional digunakan sebagi pembenaran untuk menaklukan satu sama lain. Kaum perempuan seringkali dianggap lemah dan laki-laki dipandang sebagai makhluk yang kuat. Dengan latar belakang ini, pengembangan gerakan perempuan antar tahun 1960 dan 1970an menolak pandangan yang membedakan laki-laki dan perempuan. Konsep tentang laki-laki sebagai makhluk yang berpikir secara rasional sedangkan permpuan sebagai makhluk yang emosional ditolak dan dianggap sebagai stereotip belaka. Namun, belakangan ini kaum feminis mempertimbangkan kembali masalah itu dan beberapa dari mereka menyimpulkan bahwa perempuan memang berpikir secara berbeda dari kaum laki-laki. Tetapi, mereka juga mengatakan bahwa cara berpikir kaum wanita tidak lebih rendah dari laki-laki. Etika diyakini untuk menyelesaikan perbedaan pandangan antara kedudukan laki-laki dan perempuan ini.
            Gillin menyatakan bahwa orientasi dasar dari moral perempuan  adalah kepedulian kepada yang lain, menaruh perhatian kepada orang lain secara personal, bukan hanya peduli pada kemanusiaan yang umum dan memenuhi kebutuhan mereka saja. Sejak buku Gillin diterbitkan, muncul sejumlah riset mengenai “suara-suara perempuan”, tetapi semuanya masih belum jelas apakah permpuan dan laki-laki memang berpikir secara berbeda. Namun, tampaknya ada satu hal yang pasti, bahwa kalaupun mereka berpikir secara berbeda, perbedaan itu tidak begitu besar.     
Bab 13 Etika Keutamaan
            Para filsuf abad pertengahan ketika mendiskusikan etika keutamaan masih dalam konteks hukum ilahi, yaitu berupa keutamaan-keutamaan teologis meliputi

iman, harapan, cinta dan tentu saja ketaatan. Sesudah Renaissans, filsafat moral mulai di sekularisasikan lagi, tetapi para filsuf tidak kembali ke jalan pikiran Yunani, melainkan menggantikan hukum Ilahi dengan padanan secular yaitu disebut hukum moral. Hukum moral ini lebih dianggap muncul dari akal budi manusia daripada perintah Tuhan, diterima sebagai sustu sistem dari hukum-hukum yang menetapkan mana yang tindakan yang baik. Tugas kita sebagai pelaku moral adalah mengikuti petunjuknya. Hal inilah yang mengantar para filsuf kearah yang berbeda. Mereka mengembangkan teori-teori kebenaran dan kewajiban bukan keutamaan.
            Belakangan ini para filsuf mengajukan gagasan radikal yang beranggapan bahwa filsafat moral modern sedang runtuh, dan untuk menyelamatkannya, kita harus kembali ke jalan pikiran Aristoteles yang menyangkut teori keutamaan. Ada banyak sifa-sifat keutamaan yang harus dimiliki manusia, namun ada empat sifat terpenting yang harus ada, yaitu berani, murah hati, jujur dan setia kepada keluarga dan teman-teman.. Kita dapat mengetahui bahwa sifat-sifat tersebut berharga karena alasan yang berbeda. Semua keutamaan itu mempunyai sifat-sifat umum sebagai nilai yang berlaku sama, bahwa keutamaan itu diperlukan untuk menghasilkan kehidupan yang manusiawi.
 Keutamaan itu berbeda dari satu orang ke orang lainnya karena setiap orang memiliki kepribadian yang berbeda-beda dan menduduki peran sosial yang beragam. Namun, anggapan tersebut berlawanan dengan anggapan Aristoteles bahwa ada keutamaan yang diperlukan oleh semua orang dalam segala waktu. Bahkan, dalam masyarakat terpencil sekalipun, orang menghadapi permasalahan dasar yang sama  dan mempunyai kebutuhan dasar yang sama pula. Keutamaan adalah kebijaksanaan yang berarti kemampuan untuk membayangkan dan melakukan apa yang secara keseluruhan paling baik. Teori keutamaan adalah bagian dari suatu teori etika, bukan sebagai teori etika yang lengkap. Teori etika muncul untuk melengkapi teori-teori etika lain yang sudah ada.

Bab 14 Teori Moral yang Memadai
            Filsafat moral mempunyai sejarah yang kaya dan mengagumkan. Banyak pemikir filsuf yang menganilisis masalah moral dari berbagai perspketif dan menghasilkan teori-teori yang menarik maupun yang menjengkelkan pembaca. Sebuah teori moral yang memuaskan kiranya haruslah sensitive dengan fakta tentang

kodrat manusia dan menempatkan manusia secara seimbang. Manusia adalah makhluk rasional yang mampu mengemukakan sejumlah fakta sebagai alasan untuk bertindak menurut cara tertentu, Kita harus melakukan tindakan yang didukung oleh alasan-alasan yang paling masuk akal.
             Atas dasar beberapa catatan mengenai kodrat manusia, kita dapat membri gambaran bahwa kita harus bertindak menurut aturan agar mendukung kepentingan setiap orang secara sama.  Tetapi, kita lantas member catatan bahwa hal semacam ini tidak dapat diperlakukan untuk semua kewajiban moral kita karena kita harus memperlakukan orang menurut kepantasan individu yang bersangkutan. Sekilas tampaknya memperlakukan orang menurut kepantasan masing- masing individu agak berbeda dengan memperhatikan kepentingan setiap orang secara sama. Namun, hal itu disesuaikan dengan nilai kepantasan dalam memperlakukan orang lain.
            Gagasan utama utilitarianisme motivasi adalah kita harus bertindak menurut kombinasi motif-motif yang terbaik dalam memperhatikan  kepentingan-kepentingan umum. Kita harus dapat menghasilkan peluang-peluang terbaik untuk hidup yang baik, sekaligus juga memberikan peluang-peluang terbaik bagi orang lain untuk menjalankan hidup mereka yang baik. Sebut saja peluang-peluang ini dengan rencana terbaikku. Hal yang benar untuk bertindak adalah melakukan rencana terbaik itu.
            Rencana terbaik setiap orang mungkin memiliki kesamaan, seperti melawan kebohongan, pencurian dan pembunuhan. Selain itu juga kesamaan dalam sifat-sifat keutamaan yang harus dimiliki diantaranya kesabaran, keramahan dan pengendalian diri.  Tetapi rencana terbaik setiap orang tidak harus sama. Hal itu disebabkan setiap orang memiliki kepribadian dan bakat yang berbeda-beda. Jadi, strategi untuk hidup bagi setiap orang mungkin berbeda-beda.
           









BAB III
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Bab  I Apakah Moralitas Itu?
            Jika kita membahas mengenai pengertian moralitas, maka kita menemukan banyak definisi-definisi yang menjelaskan hal tersebut. Terkadang hal itu akan membuat kita bingung. Para filsuf memiliki pendapat tersendiri mengenai pengertian moral yang diyakini paling benar. Bahkan tidak jarang akan mengakibatkan pertentangan antara fisuf satu dengan filsuf yang lain. Oleh karena itu, kita harus memahami konsep sederhana dari definisi moral yang dapat dijadikan pegangan untuk dikembangkan lebih lanjut. Konsep sederhana itu merujuk pada pengertian moral yang di definisikan oleh Sokrates yaitu moral adalah bagaimana cara kita hidup. Konsepsi minimum ini akan coba kita pelajari melalui contoh berikut:
  1. Contoh pertama: Bayi Theresa
Theresa Ann Campo Pearson, seorang anak penderita rumpang otak (anencephaly) yang dikenal public sebagai “bayi Theresa”, lahir di Florida tahun1992. Rumpang otak adalah cacat bawaan yang paling buruk. Bayi yang lahir dalam keadaan rumpang otak sering disebut bayi tanpa otak. Hal tersebut dikarenakan ada bagian-bagian penting otak   yakni cerebrum dan cerebellum, dan bagian atas dari tengkorak  yang hilang. Namun, batang otak masih tetap ada. Fungsi-fungsi otonomik juga masih berfungsi seperti pernapasan dan detak jatung masih berfungsi.
Mengetahui keadaan anaknya tidak dapat bertahan lama dan kalaupun hidup ia tidak akan memiliki kesadaran, maka orangtua bayi  Theresa  meminta agar organ-organ tubuh bayi Theresa di transplantasikan. Dengan demikian organ tubuh bayi Theresa seperti ginjal, hati, jantung dan paru-paru dapat disumbangkan untuk anak-anak lain. Namun, menurut hukum di Florida hal itu baru dapat dilakukan setelah bayi meninggal. Namun, setelah bayi Theresa meninggal, transplantasi sudah terlambat untuk dijalankan karena organnya sudah rusak.
Kisah bayi Theresa menimbulkan banyak pertentangan. Satu pihak mendukung keputusan orangtua bayi Theresa untuk mentransplantasikan organ tubuh anaknya yang memang memiliki harapan hidup yang rendah. Namun, sebagian lagi menentang keputusan orang tua bayi Theresa. Mereka menganggap bahwa orangtua bayi Theresa sangat kejam. Mereka rela mengorbankan nyawa anaknya demi menolong anak lain. Bagaimanapun alasannya tidaklah dibenarkan untuk membunuh


sesorang demi menyelamatkan orang lain.
Namun, marilah kita kaji kasus ini dari segi pertimbangan moral yang lain. Ada beberapa argumen yang dapat digunakan untuk mengkaji benar atau tidaknya tindakan orantua dan dokter terhadap bayi Theresa. Pertama  megenai argumentasi keuntungan. Kalau kita dapat menarik keuntungan dari seseorang tanpa merugikan orang lain maka kita harus melakukannya. Transplantasi organ itu menguntungkan orang lain dan tidak merugikan bayi Theresa. Kehidupan tidak akan menguntungkan bayi Theresa, malah akan membuatnya menderita. Hidupnya  akan lebih berarti jika dapat bermanfaat bagi orang lain. Oleh karena itu argumentasi keuntungan memiliki alasan yang kuat untuk melakukan transplantasi organ.
Argumen kedua adalah kita tidak boleh memperlakukan orang lain sebagai sarana untuk mencapai tujuan. Mempergunakan orang untuk mencapai tujuan disebut pelanggaran apabila melanggar otonomi seseoranag. Pelanggaran otonomi terjadi ketika seseorang dipaksa melakukan sesuatu yang bertentangan dengan keinginan mereka. Dalam konteks ini kita dapat mengetahui bahwa bayi Theresa tidak mempunyai akal pikiran untuk mengetahui mana yang ia inginkan. Kecacatan yang dimilikinya membuat ia menjadi seperti makhluk hidup namun mati. Hal itu membuat orangtua bayi Theresa berhak mengambil keputusan yang terbaik.
Argumen terakhir adalah mengenai kesalahan membunguh. Membunuh seseorang untuk menyelamatkan orang lain aadalah keliru. Dalam kasus transplantasi organ bayi Theresa dinilai sebagai suatu pembunuhan. Namun, mari kita berpikir ulang. Cepat  atau lambat bayi Theresa akan segera meninggal, dan transplantasi akan memberikan kebaikan untuk hidup Theresa yang sebentar. Setidaknya organ bayi Theresa dapat memberikan harapan hidup bagi anak lain.
Contoh kedua: Jodie dan Marie
            Jodie dan Marie adalah bayi kembar  yang saling meekat di perut bagian bawah. Tulang belakang mereka menyatu, mereka hanya mempunyai satu hati dan sepasang paru-paru. Kedua bayi itu harus segera dipisahkan, namun hanya satu yang akan selamat. Kedua orangtua mereka adalah penganut Katolik yang taat, sehingga tidak mengizinkan apabila salah satu dari anak mereka harus mati demi menyelamatkan saudaranya. Namun, pihak rumah sakit tidak menyerah, mereka lalu


membawa kasus itu ke pengadilan. Akhirnya pengadilan menyetujui untuk melakukan
operasi. Hasil operasi tersebut dapat menyelamatkan Jodie, sementara Marie meninggal.
            Dalam situasi tersebut, benar atau salahkah tindakan yang dilakukan oleh pengadilan dan rumah sakit itu? Ada beberpa argument yang akan dibahas. Pertama adalah argument perlunya untuk menyelamatkan sebanyak mungkin orang. Lebih baik menyelamatkan satu nyawa daripada membiarkan dua nyawa melayang. Argumen kedua adalah mengenai kesucian hidup. Orangtua Jodie dan Marie sangat mencintai kedua anaknya, sehingga tidak tega apabila harus mengorbankan salah satu diantara mereka. Gagasan bahwa semua hidup manusia berharga, tanpa pandang usia, ras, kelas sosial atau kecacatan merupakan inti dari tradisi moral barat. Membunuh orang memang salah, namun dalam hal tertentu itu dibenarkan demi tujuan kebaikan.

Contoh ketiga adalah Tracy Latimer
            Tracy Latimer adalah anak berusia 12 tahun yang memiliki lumpuh otak. Ia dibunuh oleh ayahnya sendiri. Ayahnya melakukan itu karena tidak tega melihat penderitaan yang dialami oleh anaknya. Atas kasus pembunuhan itu, sang ayah mendapat hukuman penjara 25 tahun.
            Banyak pihak yang menentang keras tindakan sang ayah, namun tidak sedikit pula yang membenrkan. Pertentangan yang paling keras dating dari ketua Saskatoon Voice of People with Disabilities, yaitu kelompok orang-orang sklerosis ( pengerasaan otak atau sumsum tulang belakang). Dia mengatakan bahwa tidak ada seorang pun yang berhak untuk memutuskan apakah hidupku kurang berharga dari hidupmu. Orang-orang cacat harus dihormati dengan hak-hak yang sama sebagaimana orang lain. Diskriminasi terhadap suatu kelompok memang tidak bisa dibenarkan. Namun, adakalnya perlakuan terhadap orang cacat yang sedikit di bedakan dapat dibenarkan. Orang cacat memerlukan perlakuan dan perhatian khusus yang tidak dapat disamakan dengan orang normal.
            Kasus pembunuhan Tracy Latimer memang seolah menunjukan bahwa orang cact itu tidak berharga. Namun, menurut ayahnya, ia membunuh anaknya bukan karena maslah ia cacat. Ayahnya hanya tidak mampu melihat anaknya semakin menderita. Kehidupan hanya akan menambah kesakitan bagi anaknya.
            Dari ketiga kasus diatas, kita dapat mengambil pelajaran mengenai hakikat

moralitas. Pertama, keputusan moral harus didukung dengan akal yang baik. Kedua, moralitas menuntut pertimbangan yang tidak berpihak dari setiap kepentingan individu. Moralitas menuntut kita berpikir mengenai alasan-alasan untuk membenarkan ataupun menolak suatu argument. Kita juga jangan memperlakukan orang secara diskriminatif jika tidak ada suatu sebab yang  kuat. Kita harus menjadi pelaku moral yang sadar, yaitu seseorang yang mempunyai keprihatinan tanpa pandang bulu terhadap kepentingan setiap orang yang yang terkena dampak dari perilaku yang ia lakukan.

Bab II Relativisme Kultural
            Relativisme kultural adalah sebuah teori moral yang menyatakan bahwa aturan moral untuk setiap kebudayaan tidak mungkin sama. Hal itu disebabkan karena setiap kebudayaan memiliki nilai-nilai yang berbeda. Adat istiadat yang berlaku di suatu daerah berbeda dengan daerah lainnya. Apa yang dianggap benar oleh suatu kelompok mungkin dianggap tidak benar oleh kelompok lain. Cara hidup yang kita anggap benar ternyata akan dianggap aneh oleh orang lain yang memiliki kebiasaan hidup berbeda dengan kita.
            Kita dapat mengambil contoh mengenai kebudayaan yang berlaku di Yahudi dan Callatia. Orang-orang Yahudi percaya bahwa makan jenazah tidakbisa dibenarkan, sedangkan orang-orang Callatia justru percaya bahwa makan jenazah itu dibenarkan. Oleh karena itu, makan jenazah tidak benar dan tidak salah secara objektif. Hal itu tergantung kepada penilaian budaya masing-masing.
            Di dalam kasus lain kita dapat  menganalisis perbedaan aturan yang berlaku di Eskimo dan Amerika. Orang Eskimo merasa bahwa membunuh bayi merupakan hal biasa dan dibolehkan, sementara orang Amerika menganggap bahwa itu adalah perbuatan amoral yang sangat bertentangan dengan aturan.
            Dari kedua kasus diatas kita dapat menarik kesimpulan bahwa setiap kebudayaan memiliki aturan-aturan moral yang berbeda. Tidak ada kebenaran yang objektif dalam moralitas. Penilaian terhadap suatu kasus tergantung kepada penilaian masing-masing kebudayaan. Inilah yang dinamakan argumentasi perbedaan kultural. Argumentasi perbedaan kultural mencoba menarik suatu kesimpulan dari isi permasalahan mengenai suatu persoalan moralitas dari fakta-fakta yang berasal dari perbedaan pandangan.

            Menurut William Graham Sumner mengatakan bahwa tidak ada ukuran benar atau salah kecuali standar dari masyarakat itu sendiri. Hal itu mengakibatkan konsekuensi-konsekuensi yaitu:
  1. Kita tidak dapat mengatakan bahwa kebiasaan masyarakat lain lebih rendah derajat moralnya dari adat kebiasaan kita. Hal itu memang baik agar membuat kita saling menghargai kebudayaan lain. Namun, ada sisi negatifnya, kita tidak boleh  mengkritik tindakan-tindakan yang kurang mulia dari masyarakat lain . Kita harus memaklumi kebiasaan buruk masyarakat lain seperti kebiasaan orang Eskimo yang suka membunuh bayi.
  2. Kita dapat menilai apakah tindakan kita itu benar atau salah , cukup dengan mengukurnya dengan standar masyarakat kita. Perilaku kita yang kurang baik akan tetap benar jika tetap sesuai dengan nilai budaya di masyarakat kita. Contohnya saja kebiasaan masyarakat Callatia yang suka memakan jenazah. Dalam relativisme kultural selain tidak boleh mengkritik budaya orang lain kita juga dilarang untuk mengkritik budaya sendiri, walaupun kita menganggap ada kesalahan aturan dalam budaya kita.
  3. Gagasan tentang kemajuan moral patut diragukan kemungkinannya. Kemajuan hanya dapat dilakukan dengan menggantikan segala sesuatu dengan cara yang lebih baik. Dalam gagasan relativisme cultural, pembaruan terhadap aturan moral merupakan hal yang tidak mungkin. Hal itu disebabkan kita tidak boleh mengkritik kebudayaan masyarakat sendiri maupun kebudayaan masyarakat lain. Seseorang yang ingin melakukan perubahan justru dianggap menyimpang dari aturan masyarakat.
Walaupun aturan-aturan moral ada yang hanya berlaku untuk suatu kebudayaan saja, namun ada juga aturan moral yang berlaku secara universal. Ada aturan-aturan moral tertentu yang dianut secara bersama-sama oleh semua masayarakat, karena aturan-aturan itu penting untuk kelestarian masyarakat. Contohnya saja aturan moral untuk berkata jujur, berperilaku sopan, saling menyayangi, saling membantu dan sebagainya.
Ada dua pelajaran yang didapat dari relativisme kultural. Pertama, relativisme kultural mengajarkan bahwa tidak ada alasan objektif yang dapat membuktikan kebudayaan masyarakat yang satu lebih baik dari yang lainnya. Setiap kebudayaan terbentuk berdasarkan kebiasaan masyarakat setempat. Kebudayaan merupakan

cerminan dari pola hidup masyarakat tersebut. Kedua, relativisme kultural membuka pikiran kita bahwa praktek dan sikap yang selama ini kita anggap baik ternyata hanya merupakan hasil kultur yang berlaku dalam kebudayan kita saja. Kita mengenal nilai, norma dan aturan-aturan dari kebudayaan yang berlaku di masyarakat kita. Oleh karena itu, kita hanya mengenal aturan-aturan yang berlaku di masyarakat kita saja dan menganggap bahwa itu merupakan aturan terbaik.

Bab III Subjektivisme dalam Etika
Subjektivisme etis merupakan gagasan bahwa pendapat-pendapat moral kita berdasarkan perasaan-perasaan yang subjektif. Artinya, baik atau buruknya suatu perbutan seringkali dibayang-bayangi oleh perasaan kita bahwa perbuatan itu baik atau buruk, menyenangkan atau tidak, dan pantas atau tidak untuk dilakukan. Atas dasar pandangan ini, tidak ada yang disebut perilaku benar ataupun salah secara objektif, yang ada hanyalah pandangan secara subjektif. Kita menyatakan bahwa sesuatu itu baik atau buruk tanpa didasari oleh fakta yang mendukung pernyataan tersebut.
 Perkembangan gagasan subjektivisme etis berkembang melalui beberapa tahapan seperti gagasan filsafat lainnya. Mula gagasan subjektivisme  diajukan dalam bentuk sederhana dan banyak orang yang tertarik dengan gagasan itu. Kemudian muncullah kritik dari orang-orang yang menentang gagasan tersebut. Beberapa orang kemudian meninggalkan gagasan itu, namun sebagian yang lain mencoba bertahan dan memperbaiki kekurangan gagasan. Setelah diperbaiki, muncul lagi kritikan dari pihak lain, ada yang meninggalkan, namun ada juga yang tetap mencoba memperbaikinya. Begitulah seterusnya gagasan filsafat terbentuk.
Teori subjektivisme etis dimulai dari gagasan sederhana yaitu subjektivisme sederhana. Subjektivisme sederhana menyatakan bahwa kalau sesorang mengatakan bahwa sesuatu itu baik atau buruk secara moral, itu berarti bahwa ia menyetujui atau tidak  menyetujui hal itu dilakukaan. Apabila ia menilai itu baik, maka berdasarkan perasaannya  bahwa itu baik. Namun, apabila ia mengatakan bahwa itu buruk, maka perasaannya mengatakan bahwa itu buruk. Hal yang menjadi pertentangan teori ini adalah subjektivisme sederhana mengimplikasikan bahwa setiap orang tidak akan salah dalam menilai suatu perbuatan. Padahal, setiap orang pasti  dapat melakukan kesalahan dan kekeliruan dalam menilai suatu tindakan. Selain itu, hal yang menjadi

 pertentangan berikutnya adalah teori ini menilai tidak ada perdebatan mengenai penilaian  yang dilakukan oleh orang yang satu dengan orang lainnya terkait benar atau salahnya suatu perbuatan. Padahal, perbedaan itu selalu ada dan harus dicarikan solusinya agar dapat diketahuamana yang benar atau salah. Oleh karena itu, teori subjektivisme sederhana dinilai sebagai teori yang cacat. Namun, masih ada orang yang mengolah teori ini dalam versi yang lebih baik.
Versi subjektivisme sederhana yang sudah diperbarui disebut dengan emotivisme. Teori ini dikembangkan oleh filsuf Amerika yang bernama Charles L. Stevenson (1908-1979). Pada abad kedua puluh, teori ini menjadi teori etika yang paling bepengaruh. Emotivisme menyatakan bahwa bahasa dapat digunakan untuk berbagai fungsi. Ada yang digunakanakan untuk menyatakan fakta, misalnya Abraham Lincoln adalah presiden Amerika Serikat. Namun, ada juga bahasa yang digunaka sebagai perintah, contohnya tutuplah pintu itu!.
Menurut emotivisme bahasa moral bukanlah bahasa yang menyatakan fakta, karena tidak digunakan secara khusus untuk menyampaikan suatu informasi. Bahasa moral digunakan untuk mempengaruhi orang lain. Misalnya dengan mengatakan “kamu tidak boleh untuk melakukan itu”. Ini berarti anda sedang mencegah orang lain untuk melakukan sesuatu. Selain itu, bahasa moral digunakan untuk mengunkapkan sikap seseorang, seperti Abraham Lincoln adalah orang yang baik.
Perbedaan antara emotivisme dan subjektivisme adalah sederhana adalah subjektivisme sederhana mengartikan kalimat-kalimat etis sebagai pernyataan mengenai fakta khusus, yakni sebagai laporan-laporan tentang sikap si pembicara, sedangkan emotivisme etis sebaliknya, yaitu menyangkal bahwa ucapannya sebagai suatu fakta. Suatu putusan moral yang baik harus didukung oleh alasan-alasan (penalaran) yang baik. Teori moral yang memadai adalah teori yang dapat menjelaskan mengenai hubungan antara putusan moral dengan alasan yang mendukungnya. Contohnya mengenai aturan moral yang menentang kebohongan, maka harus dijelaskan alsan yang mendukungnya dengan disertai fakta.
Namun, banyak yang beranggapan bahwa keputusan moral tidak dapat didukung kebenarannya. Ada dua alasan yang memberikan kesan bahwa putusan moral itu tidak dapat dibuktikan kebenarannya. Pertama, orang salah mengartikan makna bukti dalam etika. Bukti dalam etika bukan seperti bukti ilmu yang didapat melalui percobaan dan pengamatan. Bukti dalam etika yaitu berupa pemikiran yang

rasional meliputi pemberian alasan dan analisis argumen yang tepat. Kedua, kita seringkali memulai mencari bukti dari kasus yang sukar, sehingga kita akan merasakan bahwa bukti dalam etika itu mustahil. Misalnya saja kita tidak boleh mencuri karena akan menimbulkan banyak kerugian untuk diri sendiri dan orang lain. Kerugia untuk diri sendiri yaitu diliputi rasa bersalah, tidak tenang, bahkan bisa terkena hukuman penjara. Sedangkan kerugian untuk orang lain dapat mengakibatkan orang tersebut bersedih, kebingungan dan kesusahan karena harta bendanya dicuri.

Bab  IV Moralitas dan Agama
Ada anggapan yang sudah terkenal di masyarakat bahwa moralitas dan agama merupakan dual hal yang tidak bisa dipisahkan. Bahkan, pada umumnya orang percaya bahwa moralitas dan agama tidak dapat dipisahkan. Kaum religius seperti pendeta, usatad, biksu dan sebagainya, dianggap lebih mengetahui tentang moralitas. Tidak sulit untuk melihat mengapa orang berpikir adanya hubungan ini. Sebab dalam pandangan non religius, alam semesta ini tampaknya merupakan tempat yang dingin, tanpa arti, kosong dari nilai dan tujuan. Agama muncul untuk menjadi pedoman hidup manusia, agar manusia hidupnya lebih terarah. Agama berkaitan  dengan moralitas karena berkaitan dengan aturan-aturan perilaku yang harus ditaati oleh manusia. Bagi kaum agamawan, hubungan antara moralitas dan agama merupakan hal yang langsung dan praktis yang berpusat pada isu moral khusus. Seperti larangan untuk mencuri, berbohong, berzina, dan sebagainya yang juga dilengkapi dengan sanksi.
            Ada beberapa teori yang digunakan untuk menjelaskan hubungan antara moralitas dan agama. Pertama adalah teori pertintah Allah. Teori perintah Allah memberikan gambaran kepada kita bahwa sebagai makhluk ciptaan Tuhan, kita diberi kebebasan untuk menaati atau melanggar aturan-aturan yang telah diciptakan oleh Allah. Jika kita ingin hidup bahagia, maka kita harus menaatinya, namun jika kita ingin hidup bebas namun tanpa ketenangan, kita dapat melanggarnya. Tetapi Tuhan juga mengancam bahwa perbuatan kita kelak akan dipertanggung jawabkan kelak di akhirat. Hidup dengan kesenangan melanggar perintah Allah maka memilih menderita di akhira. Sebailiknya, hidup dalam perjuangan menaati perintah Allah maka akan hidup bahagia di akhirat.
Kedua adalah  teori hukum kodrat. Dibandingkan dengan teori perintah Allah, teori hukum kodrat lebih dominan dalam sejarah pemikiran Kristen. Isi dari teori ini

ada tiga bagian, yaitu:
a).Teori ini menyatakan bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini diciptakan karena memiliki tujuan. Contohnya saja hujan. Hujan diturunkan Tuhan agar tanaman tumbuh. Tanaman yang subur akan menjadi incaran binatang. Binatang yang sehat akan menjadi santapan manusia. Jadi terjadi sebuah hubungan berantai. Nilai dan tujuan dianggap sebagai bagian dasar dari teori hukum  kodrat, karena dengan mengetahui niali dan tujuan, kita dapat menemukan rahasia mengapa Tuhan menciptakan alam semesta dan segala isinya.
b). Teori hukum kodrat tidak hanya menjelaskan sesuatu apa adanya , tetapi juga memberikan penjelasan bagaimana seharusnnya sesuatu terjadi. Contohnya saja kewajiban untuk berbuat baik. Kita ditutut untuk berbuat baik karena sesuai kodrat kita sebagai makhluk sosial. Makhluk sosial adalah makhluk yang tidak bisa hidup sendiri. Oleh karena itu sebagai makhluk sosial seharusnya kita saling membantu satu sama lain.
c). Bagian ketiga dalam teori ini adalah mengarahkan pada pertanyaan tentang pengetahuan moral. Berbeda dengan teori perintah Allah yang menyatakan bahwa kita harus bertindak sesuai perintah Allah, teori hukum kodrat menyatkan bahwa tindakan kita harus berdasarkan pertimbangan akal pikiran . Menurut teori hukum kodrat, tindakan kita dianggap benar apabila sesuai dengan akal pikiran yang paling rasional.
            Moralitas itu menyangkut soal akal dan kesadaran, bukan iman keagamaan. Kaum agamawan dan non agamawan berada dalam posisi yang sama yaitu sama-sama memiliki penalaran akal untuk memikirkan mana tindakan yang patut dilakukan. Kekurangan kaum non agamawan hanya terletak pada ketidak percayaan mereka pada Tuhan yang telah menciptakan akal pikiran tersebut.

Bab V Egoisme Psikologis
Moralitas menuntut kita untuk tidak berkutat diri (unselfish). Perilaku berkutat diri adalah perilku yang hanya mementingkan kepentingan diri sendiri tanpa peduli dengan penderitaan orang lain. Kita diharapkan dapat peduli kepada kepentingan orang lain meskipun hanya berupa pertolongan kecil. Dalam keseharian kita tolong menolong memang sudah menjadi hal  wajar. Kita seringkali melihat ada orang yang membantu nenek untuk menyebrang, pemadam kebakaran membantu memadamkan rumah yang kebakaran dan orang yang suka menyumbang ke panti asuhan. Namun,

menurut teori egoisme psikologis setiap tindakan manusia dimotivasikan oleh kepentingan diri sendiri. Kita menolong orang seringkali diiringi oleh motif altruistic yaitu suatu hasrat untuk dikenal umum, hasrat kepuasan karena dapat meringankan pederitaan orang lain dank arena ingin mendapatkan surga. Menurut Thomas Hobbes, perilaku altruistic itu didasari oleh beberapa motif. Dua diantaranya adalah motif cinta kasih dan belas kasih. Kita sering  mengira bahwa orang yang suka menolong orang memiliki rasa cinta kasih yang besar untuk sesamanya. Namun, itu tidak selamanya benar. Dibalik pertolongannya, ia ingin menunjukan bahwa ia memiliki cinta kasih yang lebih besar daripada yang lain. Ia ingin dianggap lebih peduli dan ia paling mampu untuk menolong orang lain. Belas kasih seringkali diartikan sebagai perasaan simpati terhadap penderitaan orang lain sehingga kita mencoba untuk menolong orang yang kesulitan. Menurut Hobbes, kita menolong mereka dengan harapan bahwa ketika kita berada dalam kesulitan, orang lain juga akan membantu kita. Seolah ada semacam hubungan timbale balik.
            Egoisme psikologi memiliki argument-argumen yang menguatkan kebenaran isi teori ini, yaitu:
  1. Argumen bahwa apa yang kita lakukan adalah apa yang paling kita inginkan.
Orang ingin menolong orang lain seringkali didasari atas keinginan yang di rasakannya. Jika seseorang melihat kesusahan orang lain namun ia tidak memiliki keinginan untuk menolongnya, maka ia tidak akan melakukannya.
  1. Argumen bahwa yang kita lakukan adalah yang membuat kita merasa enak .
Kita menolong orang lain hanya dengan tujuan mencari perasaan nyaman setelah menolong yang kesusahan dan menghindarkan perasaan bersalah karena membiarkan orang lain menderita.
Salah satu kecenderungan kuat dari sebuah teori adalah kesederhanaannya. Semakin sederhana sebuah teori ilmiah, semakin besar daya tariknya.Karena kita akan mudah memahami maksud dari teori itu jika dimulai dengan penjelasan yang sederhana. Keutamaan sebuah teori adalah dapat menjelaskan berbagai macam gejala dalam sebuah konsep sederhana yang mudah dimengerti.
            Gagasan dasar Egoisme Psikologi tidak dapat terhindar dari kekacauan teori. Hal itu berdasarkan beberapa pemikiran. Pertama,  orang suka mencampuradukan antara berkutat diri (selfishness) dan kepentingan diri ( self interest). Jika dipikirkan, keduanya berbeda.  Perilaku berkutat diri adalah perilaku yang mementingkan

kesenangannya sendiri sedangkan yang lain kesulitan.Sedangkan perilaku kepentingan diri lebih berdasarkan melakukan tindakan karena kebutuhan. Kedua adalah perilaku yang mementingkan diri dan mengejar kenikmatan. Kita melakukan banyak hal karena kita menyenanginya, namun bukan berarti kita hanya mementingkan kesenangan sendiri.  Kekacauan ketiga adalah anggapan umum tetapi keliru bahwa kepedulian untuk kesejahteraan seseorang tidak bertautan dengan kepedulian sejati kepada yang lain. Tentu saja hal ini salah. Kita peduli pada orang lain bukan untuk mendapatkan balasan kepedulian dari orang lain juga. Kita menolongnya, karena dorongan rasa nurani kita kepada sesama manusia.
            Kesalahan dalam mendalami egoism psikologis adalah asumsi pengontrol bahwa semua perilaku adalah kepentingan diri dan segala sesuatu yang terjadi dapat ditafsirkan sesuai dengan asumsi ini. Jadi, kita menolong orang lain tidak selamanya diiringi oleh perasaan tidak ikhlas. Hal itu tergantung kepada kepribadian masing-masing individu.

Bab VI Egoisme Etis
Setiap tahun, jutaan anak meninggal karena kelaparan. Banyak saudara-saudara kita di belahan dunia lain yang hidup serba kekurangan. Sementara orang-orang yang hidup di Negara maju justru sibuk menghambur-hamburkan uang dan membeli barang-barang mewah. Seharusnya, kita membantu mereka yang kesulitan daripada sibuk memperkaya diri sendiri.
Moralitas menuntut kita untuk dapat menyeimbangkan kepentingan kita dengan kepentingan yang lain. Tidak salah bersikap membahagiakan diri sendiri, namun alangkah lebih indah jika kita dapat berbagi kebahagiaan itu dengan yang lain. Jika tindakan yang kita lakukan dapat member manfaat bagi orang lain, maka kita harus melakukannya. Akal sehat mengatakan bahwa kita harus peduli pada kepentingan orang lain.
Namun, egoisme etis menyatakan sebaliknya. Didalam egoisme etis mengajarkan bahwa setiap orang harus mengejar kepentingannya sendiri secara eksklusif. Egoisme etis menyatakan bahwa kita tidak memiliki kewajiban moral selain menjalankan perbuatan yang paling baik utnuk diri sendiri. Namun, egoisme etis tidak mengajarkan bahwa anda tidak boleh menolong orang lain. Anda justru dianjurkan untuk menolong orang yang memberi anda peluang mencapai kebahagiaan. Dalam

berbagai kesempatan, anda mungkin saja dapat menolong diri sendiri dan orang lain secara bersamaan. Misalnya menolong seorang pengusaha dengan harapan anda ditawari pekerjaan.
Ada tiga argument pendukung egoisme etis yaitu:
  1. Argument bahwa altruisme dapat menghancurkan diri sendiri. Artinya, apabila kita menolong orang tetapi tidak sesuai dengan apa yang dibutuhkannya, maka itu hanya akan menghancurkan penilaian orang terhadap kita. Selain itu, menolong orang juga berarti ikut campu terhadap urusan orang lain. Kita akan menjadi pribadi yang menganggap orang lain lemah menghadapi kesulitanya.
  2. Argumen Ayn Rand. Menurut argument ini jika kita ingin menolong orang lain maka kita akan mengorbankan kepentingan kita demi kepentingan orang lain. Hal itu akan mengakibatkan kesulitan bagi diri sendiri
  3. Argumen egoisme etis dianggap cocok dengan moralitas akal sehat. Dalam pernyataan ini dijelaskan bahwa kita berbuat baik untuk orang lain agar orang lain berbuat baik untuk kita. Menurut akal sehat itu benar. Karena jika kita berbuat baik untuk orang lain, maka orang lain akan merasa berhutang budi dan berusaha membalas kebaikan kita lagi.
Selain yang mendukung, ada argument  yang menentang egoisme etis, yaitu:
  1. Argumen bahwa egoisme etis tiidak dapat memecahkan konflik kepentingan. Dalam buku The Moral of View (1958), Kurt Baier berpendapat bahwa egoisme etis tidak dapat dibenarkan karena tidak memberikan pemecahan mengenai konflik-konflik kepentingan. Kita memerlukan aturan moral karena kepentingan kita saling bertentangan satu sama lain, namun egoisme etis tidak dapat memberikan jawaban untuk menyelasaikan konflik kepentingan. Egoisme etis hanya menyauruh setiap individu berusaha semaksimal mungkin untuk mencapai kepentingannya sehingga ia dapat memenangkan konflik.
  2. Argumen bahwa egoisme etis secara logis konsisten. Sejumlah filsuf Barat, termasuk Baier menyatakan perlawanan terhadap egoisme etis karena mereka menganggap bahwa egoisme etis secara logis tidak konsisten. Artinya,menurut mereka ajaran itu membawa kontradiksi logis. Sebuah teori tidak bisa dibenarkan jika berlawanan dengan dirinya sendiri. Sesorang pasti memiliki hati nurani untuk menolong, namun egoisme etis melarang orang untuk

menolong orang jika dia tidak diuntungkan. Menghalangi seseorang untuk menjalankan kewajiban sebagai makhluk sosial yaitu membantu sesamanya jelas keliru.
  1. Argumen bahwa egoisme etis sewenang-wenang dan tidak dapat diterima. Egoisme etis hamper sama dengan rasisme. Ajaran ini mengajarkan kita untuk mengutamakan kepentingan kelompok kita daripada kelompok lain, dan menganggap bahwa kelompok lain itu tidak berharga. Hal itu jelas keliru. Kita harus memperlakukan semua manusia sama, kecuali ada perbedaan yang memang dapat di toleransi.

Bab VII Persoalan Utilitarianisme
Banyak para filsuf mengira bahwa gagasan mereka dapat mengubah masyarakat. Namun, harapan itu seringkali hanya menjadi harapan kosong. Hal itu disebabkan karena karya para filsuf yang ditulis dalam buku, hanya dibaca oleh bebrapa orang yang memiliki pandangan yang sama dengan filsuf itu. Sementara orang lain yang berbeda pandangan cenderung tidak terpengaruh, karena meyakini bahwa pandangan mereka lebih benar.
Setelah masyarakat mengalami kejeuhan terhadap nilai-nilai kehidupan lama, maka terjadilah kekacauan kehidupan. Untuk menghindari kekacauan semakin parah, maka muncullah revolusi dalam etika, dengan salah satu pendukungnya adalah Bentham. Menurut Bentham moralitas tidak berhubungan dengan kelakuan baik kita yang dimaksudkan untuk menuruti perintah Tuhan ataupun menuruti aturan moral lainnya. Moralitas adalah upaya supaya hidup kita bahagia, tentram dan damai.
            Bentham berpendapat ada satu moral utama, yaitu prinsip utilitas. Prinsip ini berpendapat bahwa ketika kita dihadapkan pada pilihan-pilihan hidup, kita harus memilih pilihan terbaik yang dapat menyebabkan kebahagiaan dalam hidup. Bentham merupakan pemimpin dari kelompok radikal yang bertujuan memperbarui hukum dan lembaga Inggris sesuai dengan garis utilitarianisme. Bentham beruntung mempunyai murid seperti John Stuart Mill yang dapat mengembangkan utilitarisme menjadi lebih elegan dan persuasive. John Stuart Mill adalah seorang filsuf, ahli sejarah dan ekonomi. Mill memperlihatkan gagasan yang amat sederhana mengenai moralitas yaitu tindakan yang dapat memberikan kebaikan bagi diri sendiri dan orang lain.


Kaum utilitarianis adalah para filsuf maupun pembaru social. Mereka  berkeinginan agar ajaran mereka berbeda, tidak hanya dalam pemikiran, melainkan juga dalam praktek. Untuk menguji implikasi dari filsafat mereka, maka diujikan melalui dua isu yaitu euthanasia dan perlakuan terhadap binatang. Eutanasia adalah pemebnaran terhadap kelakuan yang melawan hukum asalkan akibatnya dapat meberikan kebahagiaan bagi korban. Misalnya membunuh orang yang sudah sakit keras agar penderitaannya segera berakhir. Menurut utilitalitas manusia dan binatang mempunyai kedudukan moral yang berbeda. Binatang dianggap tidak memiliki kepentingan moral. Sehingga kita bebas memperlakukan binatang sesuka kita asalkan hal itu menguntungkan kita
Argumentasi kaum utilitas sangat sederhana. Kita harus menilai tindakan benar atau salah tergantung pada apakah tindakan itu mendatangkan lebih banyak kebahagiaan atau ketidakbahagiaan.Utilitarianisme menekankan bahwa komunikasi moral harus diperluas meliputi makhluk-makhluk yang kepntingannya dipengaruhi oleh apa yang manusia lakukan. Moralitas harus mengakui bahwa manusia hanyalah salah satu makhluk yang tinggal di planet ini. Masih ada makhluk lain yang juga bertempat tinggal dibumi. Oleh karena itu, moralitas harus mampu memberikan pengarahan tingkah laku manusia agar tidak bertindak sewenang-wenang terhadap makhluk lain.

Bab VIII Perdebatan tentang Utilitarianisme
Utilitarianisme klasik yang dikemukakan oeh Bentham dan Mill, dapat diringkas kedalam tiga pernyataan, yaitu: pertama, tindakan harus dinilai benar atau salah hanya demi akibat-akibatnya. Artinya jika akibatnya baik maka tindakan itu dibenarkan, namun jika akibatnya buruk, maka tindakan itu salah. Kedua, dalam mengukur akibat-akibatnya, satu-satunya yang penting hanyalah jumlah kebahagiaan atau ketidakbahagiaan yang dihasilkan. Jika jumlah kebahagiaan lebih besar dibandingkan ketidakbahagiaan maka tindakan itu adalah benar. Ketiga, kesejahteraan setiap orang dianggap sama pentingnya. Kebahagiaan dalam utilitarianisme bukanlah kebahagiaan untuk diri sendiri, tetapi juga kebahagiaan untuk orang lain. Utilitarianisme menuntut agar orang berperilaku baik, tidak pilih kasih dan tidak pamrih kepada orang lain.
            Walaupun teori utilitarianisme memiliki daya tarik yang kaut bagi para filsuf


serta dapat diterima luas, namun masih tetap ada yang menentangnya.. Argumen-argumen anti utilitarisme ini begitu banyak jumlahnya dan dapat mempengaruhi orang lain untuk meninggalkannya. Namun, kaum     utilitarianisme klasik menganggap bahwa argument pertentangan itu hanya memperlihatkan bahwa teori utilitarianisme memerlukan perbaikan. Gagasan yang benar dari utilitarianisme harus dipertahankan sementara yang kurang baik harus disusun lagi agar lebih baik.
            Argumen pertentangan yang pertama adalah mengenai tujuan utilitarianisme yang hanya mengejar kebahagiaan sebagai tujuan akhir. Sebagaiman dikatakan oleh Mill  bahwa ajaran utilitarianis menjadikan kebahagiaan sebagai sesuatu yang diinginkan dan untuk mencapainya dapat dilakukan dengann berbagai cara. Gagasan bahwa kebahagiaan merupakan tujuan terakhir dikenal dengan hedonisme. Hedonisme merupakan teori yang sudah terkenal sejak zaman Yunani Kuno. Hedonisme salah memahami hakikat kebahagiaan. Kebahagiaan bukanlah sesuatu yang dikenal sebagai yang baik dan dicari demi dirinya, sementara yang lain dianggap sekedar sarana untukmenghasilkannya. Sesugguhnya kebahagiaan merupakan respons yang kita punyai terhadap tercapainya hal-hal yang kita kenal sebagai yang baik.
            Gagasan inti yang menjadi dasar teori utilitarianisme  adalah bahwa  untuk menentukan apakah suatu tindakan bisa disebut benar , kita perlu melihat apa yang akan terjadi sebagai akibat dari tindakan itu. Pertimbangan itu meliputi keadilan, hak-hak dan alasan-alasan melihat ke belakang. Inilah yang menjadi dasar kritikan utilitarianisme. Utilitarianisme membenarkan tindakan yang melanggar hak seseorang asalkan memberikan kebahagiaan bagi orang lain. Kelemahan pertimbangan utilitarianisme yang lain adalah hanya membatasi diri pada apa yang akan terjadi di masa depan sebagai akibat tindakan kita. Namun, tidak memperhatikan pertimbangan ke belakang. Contohnya, di masa lampau seseorang melakukan kebaikan kepada anda, oleh karena itu anda memiliki alasan untuk membantunya di masa sekarang.
            Unsur terakhir dari utilitarian adalah gagasan bahwa kita harus mengupayakan kesejahteraan setiap orang secara sama penting. Utilitaritas akan menuntut kita untuk menyerahkan sebagian besar materi kita untuk kepentingan orang lain, bahkan membuat kita harus rela menderita demi kebahagiaan orang lain.Tidak sesorang pun diantara kita yang berkeinginan memperlakukan semua orang secara sama, karena hal itu akan membuat kita melepaskan hubungan-hubungan khusus dengan teman dan

keluarga. Namun, utilitarianisme kurang menghargai hubungan-hubungan pribadi kita yang akhirnya oleh para kritikus dianggap sebagai kesalahan besar. Teori ini mengajak kita   yang begitu berarti bagi kita. Walaupun dikritik secara tajam, para penganut teori utilitarianisme memiliki pembelaan-pembelaan terhadap kebenaran teori mereka.

Bab XI Adakah aturan-aturan Moral yang Absolut?
Aturan moral dapat kita langgar apabila kita menganggapnya sebagai hal yang membahayakan. Namun, hal itu sepertinya sulit untuk dilakukan. Salah satu dasarnya adalah aturan moral adalah  perintah Allah yang tidak bisa dilanggar. Banyak “kewajiban” yang harus kita laksanakan agar keinginan untuk hidup damai dan teratur dapat tercapai. Bentuk dari suatu kewajiban moral bukanlah  “jikalau anda menginginkan sesuatu maka anda wajib melakukan sesuatu”, melainkam “anda wajib melakukan ini-itu, titk.” Artinya kewajiban moral itu tidak mengenal toleransi walaupun anda tidak ingin melakukannya.
            Manusia adalah pelaku moral yang huarus tunduk kepada hukum universal. Hukum universal adalah hukum yang berlaku untuk semua orang tanpa kecuali. Contoh hukum universal adalah aturan yang melarang untuk berbohong. Berbohong timbul karena ada anggapan bahwa jika kita mengatakan kejujuran maka akan berakibat buruk. Padahal, kebohongan akan berdampak lebih buruk jika keberanya sudah terungkap. Daripada menduga-duga dampak dari kebohongan, lebih baik kita mengatakan yang sejujurnya. Jujur akan membuat hati tenang.
            Dalam buku A Short History of Ethics (1966), Alasdair Maclntyre menyatakan bahwa “bagi banyak orang yang belum pernah mendengar filsafat, apalagi nama Kant, moralitas secara kasar merupakan apa yang dikatakan Kant “ yaitu  sebuah sistem aturan yang harus diikuti karena wajib tanpa peduli pada apa yang diinginkan atau dimaui seseorang. Moralitas itu tidak pandang bulu. Suka atau tidak tetap harus dilakukan.

Bab X Kant dan Hormat pada Pribadi
Kant beranggapan bahwa manusia menduduki wilayah ciptaan yang istimewa. Gagasan ini bukan hanya diungkapkan oleh Kant saja, karena gagasan ini sudah dikenal sangat lama sekali. Sejak zaman kuno, manusia menganggap dirinya sebagai

makhluk yang paling sempurna. Manusia memiliki nilai intrinsik atau martabat yang membedakan manusia dengan makhluk lain. Lain halnya dengan binatang. Binatang hanya memiliki nilai jika berguna bagi manusia. Sebagai makhluk yang memiliki martabat, kita tidak boleh dijadikan alat untuk mencapai tujuan. Misalnya memanfaatkan anak kecil untuk mengamen agar mendapat uang. Moralitas dapat dirumuskan untuk membedakan tugas dan kewajiban sebagai pelaku moral yang disebut imperatif kategoris.
            Ada dua fakta penting menyangkut pendapat Kant tentang manusia, yaitu: pertama manusia memiliki keinginan dan tujuan. Keinginan dan tujuan ini membuat manusia mempunyai nilai dalam membuat rencana agar dapat mencapai keinginan dan tujuannya. Misalnya jika anda ingin pandai dalam bermain catur, maka buku tentang catur merupakan nilai yang harus anda pelajari dan kuasai agar dapat mencapai tujuan. Kedua yaitu manusia mempunyai martabat karena manusia merupakan pelaku rasional. Pelaku rasional adalah pelaku-pelaku bebas yang mampu mengambil keputusan untuk diri merka sendiri, menempatkan tujuan-tujuan mereka sendiri dan menuntun perilaku mereka dengan akal budi..
            Jeremy bentham, teoritikus besar Utilitarianisme mengatakan bahwa semua hukuman merupakan kekeiruan . kaum utilitarian tidak setuju dengan adanya hukuman karena hukuman dapat menimbulkan kesengsaraan bagi orang yang dihukum. Pemberian hukuman dimaksudkan agar seseorang mendapatkan balasan yang setimpal dengan perbuatannya. Jika seseorang mencederai orang lain, maka keadilan menuntut agar ia juga dicederai. Pandangan ini dikenal dengan istilah “retributivisme”.
Retributivisme ditentang karena hukuman hanya akan membawa ketidakbahagiaan pada pelaku. Hal itu berlawanan dengan tujuan moralitas yaitu menciptakan kebahagiaan. Hukuman hanya dapat dibenarkan jika dapat mengatasi kejahatan. Namun pada kenyataannya hukuman tidak dapat meminimalisir orang untuk melakukan kejahatan.
            Praktek hukuman pada kenyataannya memang memiliki dampak yang baik bagi masyarakat. Ada dua praktek penghukuman bagi para pelanggar yang memberikan keuntungkan bagi masyarakat. Pertama, hukuman bagi kriminal itu menolong masyarakat untuk mencegah kejahatan, atau paling tidak dapat mengurangi taraf kegiatan kriminal di mayarakat.  Hukuman dapat digunakan untuk menakut-

nakuti seseorang yang hendak melakukan kejahat Kedua, sistem penghukuman yang direncanakan dengan baik kiranya dapat mempunyai efek untuk merehabilitasi pelaku kejahatan. Hasil logis dari cara berpikir ini adalah kita harus meninggalkan paham hukuman dan menggantinya dengan perlakuan yang lebih manusiawi. Jika hukuman dianggap merusak kebahagiaan seseorang, maka rehabilitasi menjadi solusinya.  Di rehabilitasi pelaku kejahatan tidak akan disiksa, justru mendapat bimbingan agar menjadi orang yang lebih baik.
            Namun, seperti hanlnya ajaran lainnya, utilitarisme juga mendapat pertentangan. Program rehabilitasi yang dirancang untuk menggantikan hukuman, dalam kenyataannya tidak selalu berhasil. Selain itu, rehabilitasi dinilai kurang memberikan efek jera pada pelaku kejahatan karena tidak sebanding dengan kejahatan yang telah dilakukannya. Rehabilitasi juga membuat kita melanggar hak asasi, karena dalam rehabilitasi seseorang dipaksa menjadi pribadi baru yang mungkun bertentangan dengan jati dirinya.
            Jadi, Kant tidak sependapat dengan pembenaran kaum utilitaris terhadap  prinsip. Pertama, orang harus dihukum hanya karena mereka melakukan  kejahatan, dan tidak karena alasan lain. Hukuman adalah konsekuensi yang harus ditanggung karena melawan hukum. Kedua, pentinglah menghukum penjahat secara setimpal ( proportionality) sesuai dengan beratnya hukuman. Tidak adil jika memberikan hukuman sedikit untuk kejahatan yang berat, begitupun sebaliknya.
            Menurut Kant kita harus memperlakukan manusia sebagai makhluk yang rasional, yaitu dapat membedakan hal yang baik da buruk. Selain itu juga dapat bertanggung jawab terhadap perbuatan yang dilakukannya. Jika kita membiarkan seseorang yang bersalah tidak dihukum, maka kita tidak memperlakukannya sebagai makhluk yang rasional.

Bab XI Gagasan tentang Kontrak Sosial

Thomas Hobbes adalah seorang filsuf Inggris yang menyatakan bahwa moralitas itu diperlukan untuk mencapai keteraturan di dalam kehidupan. Tanpa aturan, masyarakat akan saling curiga, tidak tentram dan menganggap satu sama lain sebagai musuh karena merupakan saingan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Sebelum terciptanya aturan moral, masyarakat hidup dalam kekacauan dan penuh

dengan konflik. Dalam situasi tersebut, kita  hidup bebas tanpa aturan dan dapat melakukan apapun yang kita sukai. Hobbes menyebut hal ini dengan keadaan alami (the state of nature)
            Hobbes menunjukan bahwa keadaan alami itu tidak menyenangkan. Hal itu berdasarkan beberapa fakta yang mendukung yaitu:
  1. Manusia sama-sama memiliki kebuthan dasar. Kebutuhan dasar manusia pada umumnya sama yaitu sandang, pangan, dan papan.
  2. Kehidupan ini penuh dengan kekurangan Hidup di dunia ini bukan seperti hidup di surga yang semuanya serba tersedia. Kita harus bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan kita yang bahkan masih kekurangan.
  3. Jika barang-barang pokok tidak mencukupi, maka kita harus bersaing untuk mendapatkannya. Disinilah  yang kuat berkuasa, orang lemah tidak akan mendapatkan apa-apa.
  4. Altruisme terbatas yang dimiliki setiap orang. Dalam keadaan alami, orang hanya mementingkan kepentingan dan kebahagiaannya sendiri tanpa mempedulikan orang lain.
Karena keadaan alami sangat tidak menyenangkan, maka masyarakat setuju untuk mengikatkan diri pada aturan-aturan yang diatur oleh Negara. Inilah yang disebut kontrak sosial ( the social contract). Aturan Negara digunakan untuk mengatur kepentingan masyarkat agar tercipta keteraturan sosial.Hasil dari teori kontrak sosial adalah bahwa kita mempunyai kewajiban untuk menaati hukum. Apapun aturan yang telah dibuat oleh Negara harus ditaati demi kesejahteraan bersama.

Bab XII Feminisme dan Etika Kepedulian
Selama ini berkembang anggapan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki derajat yang berbeda. Laki-laki seringkali dianggap lebih tinggi kedudukannya daripada perempuan. Permpuan hanya dianggap kaum lemah yang tidak berdaya. Dengan latar belakang ini, pengembangan gerakan perempuan antar tahun 1960 dan 1970an menolak pandangan yang membedakan laki-laki dan perempuan. Konsep tentang laki-laki sebagai makhluk yang berpikir secara rasional sedangkan permepuan sebagai makhluk yang emosional ditolak dan dianggap sebagai stereotip belaka. 
             

Kalupun perempuan dan laki-laki memang berbeda, perbedaanya tentu tidak terlalu besar, tidak sampai menimbulkan perbedaan derajat. Karena pada dasarnya setiap manusia diciptakan sama. Perbedaan nya mungkin terlihat dari sifat. Perempuan memiliki sifat yang lembut, anggun, perhatian dan kepedulian yang tinggi. Sedangkan laki-laki diidentikan dengan sikap yang tegas, kuat, tegar dan sosok yang mampu melindungi.      

Bab XIII Etika Keutamaan
Pada abad pertengahan karena pemikiran moral masih melekat dengan agama, maka para filsuf mendiskusikan mengenai nilai-nilai kebaikan moral yang masih bergantung pada iman, harapan, cinta dan tentu saja ketaatan kepada Tuhan. Sesudah Renaissans, filsafat moral mulai menggantikan ajaran moral yang semula melekat dengan agama menjadi ajaran moral yang berasal dari akal budi manusia. Tugas kita sebagai pelaku moral adalah melaksanakan aturan tersebut sebagai kewajiban semata, bukan karena keutamaan sebagai insan moral. Beberapa ajaran moral itu:
  1. Setiap orang harus melakukan apapun yang paling mendukung kepentingannya sendiri (etika egoisme)
  2. Kita harus melakukan apapun yang paling mendukung kebahagiaan untuk banyak orang ( utilitarianisme)
  3. Kewajiban kita adalah mengikuti aturan-aturan yang dapat dijadikan hukum-hukum universal secara konsisten, artinya aturan-aturan yang kita inginkan untuk ditaati oleh semua orang dalam situasi apapun (teori Kant)
  4. Hal yang benar untuk dilakukan adalah mengikuti aturan-aturan yang dapat disetujui oleh orang yang rasional dan mempunyai kepentingan diri untuk menetapkan keuntungan timbale balik (teori kontrak sosial)
Akhir-akhir ini para filsuf beranggapan bahwa telah terjadi kebobrokan moral, seperti gaya hidup bebas, kriminalitas, perzinahan dan permaslahan moral lain semakin memprihatinkan. Oleh karena itu, kita harus kembali ke jalan pikiran Aristoteles yang menyangkut teori keutamaan. Aristoteles menyatakan keutamaan adalah sifat karakter yang tampak dalam tindakan baik yang sudah menjadi kebiasaan. Misalnya karakter jujur, hanya akan disebut karakter apabila seseorang itu memang senantiasa berkata jujur bukan hanya kadang-kadang.
           

Ada banyak sifa-sifat keutamaan yang harus dimiliki manusia, namun ada empat sifat terpenting yang harus ada, yaitu berani, murah hati, jujur dan setia kepada keluarga dan teman-teman. Keberanian merupakan hal yang baik karena kehidupan itu penuh dengan bahaya dan tanpa keberanian kita tidak akan dapat menghadapinya. Kemurahan hati diinginkan karena ada sejumlah orang yang memang berada dalam keadaan yang lebih buruk daripada yang lain dan mereka membutuhkan pertolongan. Kejujuran diperlukan karena tanpa itu hubungan antara manusia akan keliru dengan berbagai cara. Kesetiaan merupakan hal yang hakiki dalam persahabatan, teman lain, bahkan ketika mereka tergoda untuk meninggalkan.
            Sifat-sifat keutamaan berharga karena memiliki niali dan kegunaan tersendiri. Sifat keutamaan akan membawa dampak positif bagi pribadi yang memilikinya. Setiap orang memiliki ukuran sifat keutamaan yang berbeda-beda, tergantung kepada kepribadian, peran sosial dan lingkungannya. Sikap-sikap keutamaan yang terus dipelihara dan dikembangkan akan menghasilkan kekuatan moral. Kekuatan moral adalah kekuatan pribadi seseorang yang mantap dan kesanggupannya untuk bertindak sesuai dengan apa yang diyakininya sebagai tindakan yang benar.

Bab XIV Teori Moral yang Memadai
Permasalahan-permasalahan moral yang ada telah mengundang para filsuf untuk menemukan teori-teori yang dapat menyelesaikan permasalahan yang ada. Banyak teori moral yang menarik dan ada pula yang membuat bingung pembaca. Teori-teori itu diciptakan tidak asal-asalan, tetapi melalui proses pemikiran para filsuf yang genius. Namun, teori-teori yang ada tidak selalu memiliki pembahasan yang sama dan bahkan saling bertentangan satu sama lain. Bahkan seringkali terjadi saling mengkritiki antara teori yang satu dengan yang lain. Lantas, manakah teori moral yang paling benar? Tentu saja merupakan hal yang membingungkan.
Kita adalah makhluk yang dibekali oleh kemampuan berpikir secara rasional. Dalam mengambil keputusan dan tindakan harus mempertimbangkan akibat-akibat yang akan muncul. Setelah mempelajari berbagai macam teori moral yang ada kita dapat menari kesimpulan bahwa masing-masing teori memiliki kelebihan dan kekurangan satu sama lain. Kita jadikan kelebihan setiap teori sebagai pegangan dalam bertingkah laku. Namun, kekurangan dari teori-teori yang ada jangan kita tiru.


BAB IV
PENUTUP

4.1  Kesimpulan

1.      Filsafat moral adalah upaya untuk mensistematiskan pengetahuan mengenai moralitas. Moralitas adalah aturan mengenai bagaimana seharusnya kita hidup
2.      Relativisme kultural adalah teori moral yang menyatakan bahwa aturan moral disetiap kebudayaan itu berbeda-beda
3.      Subjektivisme etis adalah penilai tentang baik atau buruknya suatu perbuatan berdasarkan perasaan pribadi tanpa dibuktikan dengan fakta
4.      Moralitas tidak bergantung pada agama. Moralitas tergantung kepada akal pikiran bukan iman keagamaan
5.      Egoisme psikologis menekankan bahwa kebaikan yang kita lakukan sebenarnya didasarkan pada motif ingin diperlakukan baik juga oleh orang lain
6.      Egoisme etis menyatakan bahwa kita tidak perlu peduli dengan kepetingan orang lain
7.      Utilitarianisme menekankan bahwa tujuan hidup manusia adalah untuk mencapai kebahagiaan
8.      Manusia adalah makhluk yang rasional sehingga dapat membedakan baik atau buruknya suatu tindakan
9.      Kontrak sosial dilakukan agar tercipta aturan yang dapat menjamin keteraturan di masyarakat
10.  Teori keutamaan adalah sifat positif yang menjadi karakter seseorang karena telah terbiasa bersikap sepeti itu

4.2  Saran
           
            Sebagai pelaku kita harus dapat membedakan mana perilaku yang baik dan mana perilaku yang buruk. Jangan sampai kita terjebak dengan pergaulan yang memberikan pengaruh buruk.  Kita harus mulai memperhatikan kembali aturan nilai, norma, dan moral dalam kehidupan sehari-hari. Hal itu dilakukan agar kita memiliki filter dalam diri untuk menyaring kebudayaan yang sesuai dengan jati diri bangsa kita.

DAFTAR PUSTAKA

Magnis, Frans. 2010. Etika Dasar. Yogyakarta: Kanisius

Rachel, James. 2013. Filsafat Moral. Yogyakarta: Kanisus





























Komentar

Popular post

makalah emotional intelligence

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang             Kecerdasan intelektual seringkali menjadi ukuran sebagian besar orang untuk meraih kesuksesan. Banyak orang berpikir, dengan kemampuan intelektual yang tinggi, seseorang bisa meraih masa depan yang   cerah dalam hidupnya. Tidak heran, banyak orang tua selalu menekankan anaknya untuk meraih nilai sebaik mungkin agar kelak memiliki masa depan yang cemerlang. Sistem pendidikan di negara kita yang lebih menekankan pada prestasi akademik siswa atau mahasiswa juga semakin mendukung argumen tersebut. Padahal kenyataannya, kecerdasan intelektual bukanlah hal mutlak yang dapat menjamin kesuksesan seseorang.             Mungkin kita sering bertanya-tanya mengapa orang yang ber-IQ tinggi justru banyak yang mengalami kegagalan dalam karirnya. Sedangkan orang yang ber-IQ sedang justru dapat lebih sukses dari orang yang ber-IQ tinggi. Hal itu disebabkan karena ada satu kecerdasan yang lebih berpengaruh dalam menentukan kesuksesan seseoran

Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan

A.     Pendahuluan Bahasa merupakan   alat komunikasi yang penting   agar manusia dapat saling berinteraksi dan berbagi informasi dengan manusia yang lain. Bahasa ada yang digunakan secara lisan, adapula yang digunakan dalam bentuk tulisan. Bahasa melengkapi anugerah yang diberikan Tuhan kepada manusia. Melalui bahasa, manusia dapat terus mengembangkan kemampuan menalar yang dimilikinya. Kemampuan menalar tersebut sangat penting untuk mengembangkan kemampuan manusia agar terus berkembang kearah kemajuan. Hal itulah yang membuat perkembangan manusia cenderung dinamis. Mengingat pentingnya bahasa dalam kehidupan manusia, maka penggunaan bahasa harus benar agar dapat dimengerti oleh manusia lain dan tidak menimbulkan kesalah pahaman, terutama dalam penggunakan bahasa tulisan. Dalam menulis, manusia tidak bisa sekehendak hati, tetapi harus mematuhi aturan-aturan yang berlaku. Di Indonesia, aturan menulis harus sesuai dengan Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan. Penetapan atur