BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Identitas Buku
Judul buku : Filsafat Moral
Penulis : James Rachels
Cetakan : ke enam
Tahun terbit : 2013
Penerbit : Kanisius, Jl. Cempaka 9, Deresan, Yogyakarta
55011
Halaman : 394 lembar
Harga : Rp. 52.000,00
Penerjemah : A. Sudiarja
1.2
Latar Belakang Penulisan
Persoalan-persoalan
amoral dewasa ini dinilai semakin memprihatinkan. Banyak kalangan masyarakat
yang berperilaku melawan aturan-aturan moral. Aturan yang semula ditaati demi
terciptanya keteraturan sosial, kini dengan mudah ditentang oleh banyak
kalangan. Perbuatan amoral seolah menjadi hal lumrah di masyarakat. Keteraturan
sosial semakin jauh dari harapan. Perubahan zaman yang diwarnai dengan arus
globalisasi dan modernisasi merubah segala etika dan aturan moral menjadi
sesuatu yang kuno, sehingga banyak kalangan yang meninggalkannya.
Degradasi moral yang
melanda generasi muda sebagai calon penerus bangsa semakin mengkhawatirkan. Perilaku
kehidupan glamor dan pergaulan bebas sudah
meracuni banyak kaula muda sehingga
mengakibatkan bobroknya moral di kalangan
remaja. Jika hal ini terus dibiarkan
bukan tidak mungkin akan mengakibatkan kehancuran di berbagai segi kehidupan.
Oleh karena itu, pelajaran nilai, moral dan etika harus mulai digiatkan
kembali.
Buku
filsafat moral ini merupakan salah satu buku filsafat yang berisi
pemikiran-pemikiran dari para filsuf mengenai teori-teori moral. Teori-teori
moral diciptakan untuk membahas pemasalahan-permasalahan moral dari berbagai
sudut pandang. Pikiran-pikiran kita akan diajak berkelana untuk melihat
kebenaran suatu kasus dari berbagai sisi. Keyakinan kita pada kebenaran suatu
kasus akan diuji dengan berbagai hipotesis yang diajukan oleh para filsuf.
Terkadang keyakinan kita akan goyah sehingga menghasilkan
kebingungan-kebingungan mengenai benar atau tidaknya teori moral tersebut.
Maksud buku ini memang
bukan untuk menyediakan kebenaran aturan-aturan moral yang sudah mutlak.
Filsafat bukanlah ilmu alam yang kebenarannya sudah tidak diragukan lagi.
Didalam filsafat, segala sesuatu bersifat kontroversial. Kita akan menemukan suatu
penelitian mengenai teori-teori, gagasan-gagasan, dan argumen-argumen yang
saling bertentangan satu sama lain. Oleh karena itu, kita harus pandai dalam
memberikan taksiran dari teori-teori moral yang ada agar dapat menemukan teori
yang layak diteima atau tidak layak untuk diterima.
Moralitas
tidak diterangkan hanya sebagai kesadaran manusia akan kebaikan. Buku ini membahas
moralitas secara rinci melalaui berbagai macam aliran, mulai dari relativisme,
subjektivisme, etika religius, egoisme, utiloisme, utilitarianisme, etika
kewajiban dan teori kontrak sosial. Aliran-aliran tersebut mengajarkan kita
untuk tidak mudah mempercayai kebenaran suatu teori moral, tetapi harus
berpikir kritis untuk mempertimbangkan teori moral yang terbaik dengan disertai
alasan-alasan yang rasional.
1.3
Gambaran Penulis
James Rachel
lahir di Columbus , Georgia . Ia lulus dari Mercer University pada tahun 1962 . Dia
menerima gelar Ph.D. pada tahun 1967 dari University of North Carolina di
Chapel Hill , setelah belajar di bawah asuhan Profesor WD Falk dan EM Adams . Dia mengajar di
Universitas Richmond , New York University, University of Miami , Duke
University dan University of Alabama di Birmingham , di
mana ia menghabiskan dua puluh enam tahun karirnya
. Ia menikah dengan Carol Williams pada tahun 1962 , dan mereka memiliki dua
putra , David dan Stuart . Dia meninggal karena kanker pada tahun 2003
di Birmingham, Alabama .
Selama karirnya , Rachel menulis enam buku dan 85 esai , diedit menjadi tujuh buku dan menulis 275 ceramah profesional. Dia berargumen untuk vegetarian dan hak-hak hewan moral, tindakan afirmatif , euthanasia , dan gagasan bahwa orang tua harus memberikan banyak pertimbangan moral yang mendasar untuk anak-anak orang lain, seperti yang mereka lakukan untuk anak mereka sendiri . Kemudian dalam karirnya , Rachel menyadari bahwa seumur hidup menganalisis isu-isu moral tertentu telah membuatnya mengadopsi etika umum utilitarianisme , yaitu teori mengenai kebahagiaan diri sendiri dan orang lain.
Selama karirnya , Rachel menulis enam buku dan 85 esai , diedit menjadi tujuh buku dan menulis 275 ceramah profesional. Dia berargumen untuk vegetarian dan hak-hak hewan moral, tindakan afirmatif , euthanasia , dan gagasan bahwa orang tua harus memberikan banyak pertimbangan moral yang mendasar untuk anak-anak orang lain, seperti yang mereka lakukan untuk anak mereka sendiri . Kemudian dalam karirnya , Rachel menyadari bahwa seumur hidup menganalisis isu-isu moral tertentu telah membuatnya mengadopsi etika umum utilitarianisme , yaitu teori mengenai kebahagiaan diri sendiri dan orang lain.
Karyanya yang paling terkenal adalah The Elements of Moral Philosophy yang telah terbit sampai edisi keenam di tahun 2009 , lalu direvisi oleh putranya sendiri yaitu Stuart
Rachel . Isi pembahasan buku tersebut adalah etis
dan subjektivisme sederhana, Emotivisme , serta etika dan egoisme psikologis . Isi bukunya juga menggunakan contoh-contoh nyata untuk menyoroti
poin mengenai prinsip-prinsip filosofis yang rumit . Buku
ini terjual 100.000 eksemplar selama
tiga edisi. .
Pada tahun 1975 , Rachel menulis " Aktif dan Pasif Euthanasia " , yang awalnya muncul di New England Journal of Medicine , dan berpendapat bahwa perbedaan begitu penting dalam hukum antara membunuh dan membiarkan mati (sering didasarkan pada prinsip efek ganda ) tidak memiliki secara rasional . Dia berargumen bahwa , jika kita membiarkan eutanasia pasif , kami juga harus mengizinkan euthanasia aktif , karena lebih manusiawi , dan karena tidak ada perbedaan yang signifikan antara moral yang membunuh dan memungkinkan untuk mati . The End of Life ( 1986) , sebuah risalah moral kehidupan dan kematian..
Rachel menulis hanya beberapa karya yang tidak langsung terfokus pada etika, seperti created from Animals: the moral implication of Darwinisme ( 1990) yang membuat kasus bahwa pandangan Darwin memiliki implikasi filosofis yang luas , termasuk implikasi drastis untuk membahas entitas non-manusia . Karya etika pertamanya adalah Can ethics provide answer ? ( 1997) . Kedua , The Legacy of Socrates , diterbitkan secara anumerta pada tahun 2007 . Sesaat sebelum kematiannya
Pada tahun 1975 , Rachel menulis " Aktif dan Pasif Euthanasia " , yang awalnya muncul di New England Journal of Medicine , dan berpendapat bahwa perbedaan begitu penting dalam hukum antara membunuh dan membiarkan mati (sering didasarkan pada prinsip efek ganda ) tidak memiliki secara rasional . Dia berargumen bahwa , jika kita membiarkan eutanasia pasif , kami juga harus mengizinkan euthanasia aktif , karena lebih manusiawi , dan karena tidak ada perbedaan yang signifikan antara moral yang membunuh dan memungkinkan untuk mati . The End of Life ( 1986) , sebuah risalah moral kehidupan dan kematian..
Rachel menulis hanya beberapa karya yang tidak langsung terfokus pada etika, seperti created from Animals: the moral implication of Darwinisme ( 1990) yang membuat kasus bahwa pandangan Darwin memiliki implikasi filosofis yang luas , termasuk implikasi drastis untuk membahas entitas non-manusia . Karya etika pertamanya adalah Can ethics provide answer ? ( 1997) . Kedua , The Legacy of Socrates , diterbitkan secara anumerta pada tahun 2007 . Sesaat sebelum kematiannya
, ia menulis Masalah dari Filsafat (2005) dan pengantar filsafat .
1.4 Kelebihan dan Kekurangan Buku
Buku ini memiliki kelebihan dalam hal penulisan
materi . Bab-bab dalam buku ditulis berdasarkan pembahasan masing-masing teori
sehingga setiap bab dapat dibaca sendiri-sendiri. Hal di sebabkan bab-bab
tersebut merupakan esai lepas mengenai berbagai macam topik. Orang yang
tertarik pada judul bab tertentu dapat langsung membaca bab tersebut tanpa
harus membaca secara berurutan dari bab pertama buku. Namun, apabila kita
membacanya secara berurutan, maka akan mendapatkan runtutan cerita ilustrasi
yang dirangkai dari setiap bab. Kelebihan lain yang dimiliki buku ini memang
menekankan contoh kasus yang diangkat dari kisah nyata, sehingga pembaca dapat
lebih memahami maksud materi dengan menganilisnya melalui contoh-contoh kasus.
Diakhir buku ini, penulis memberikan anjuran referensi lain, sehingga memudahkan pembaca yang ingin
memperdalam pemahaman buku ini dengan membaca materi yang ada pada buku lain
tersebut.
Namun, buku ini juga
memiliki kekurangan yang terletak pada penggunaan bahasa. Dikarenakan buku ini
merupakan buku terjemahan, maka bahasa yang digunakan kadang sulit dimengerti.
Banyak peristilahan yang membuat pembaca harus berpikir cukup keras untuk
memahami maksudnya. Bagi orang yang pertama kali membaca buku filsafat akan
terasa membingungkan jika membacanya. Namun disanalah letak tantangannya. Kita
dilatih untuk focus dengan bacaan agar dapat memahami maknanya.
1.5
Perbandingan dengan Buku Lain
Seperti yang dijelaskan
sebelumnya bahwa buku Filsafat Moral hasil karya James Rachels ini hanyalah
salah satu buku yang membahas mengenai persolan-persoalan moral. Masih banyak
referensi-referensi buku lain yang dapat digunakan untuk mempelajari
permasalahan nilai, moral dan etika. Salah satunya adalah buku Etika Dasar yang
ditulis oleh Frans Magnis-Suseno. Buku Etika Dasar tersebut juga membahas
masalah-masalah pokok filsafat moral.
Jika dibandingkan dengan
buku Filsafat Moral, buku Etika Dasar memiliki penggunaan bahasa yang ringan
sehingga mudah untuk dipahami. Walaupun jumlah halaman buku Etika Dasar lebih
sedikit daripada buku Filsafat Moral, namun isi bukunya cukup lengkap. Berbeda
dengan buku Filsafat Moral, buku Etika Dasar tidak dilengkapi dengan uraian
contoh kasus yang banyak, hanya berupa uraian materi saja
yang terkadang dilengkapi dengan
beberapa analogi. Namun, disetiap akhir pembahasan buku Etika Dasar dilengkapi
dengan rangkuman pembahasan di setiap bab sehingga memudahkan pembaca untuk
memahami poin-poin penting disetiap bab.
Secara keseluruhan, isi
buku Filsafat Moral dan Etika Dasar ini hamper sama. Yaitu membahas mengenai
permasalahan moral dan teori-teori moral yang berkembang. Namun, ada bebarapa
materi dalam buku Filsafat Moral yang tidak terdapat dalam buku Etika Dasar dan
begitupun sebaliknya. Sehingga buku ini dapat saling melengkapi satu sama lain.
Di dalam buku Filsafat moral, aliran-aliran dalam teori moaral dibahas lebih
lengkap, meliputi relativisme kultural, subjektivitisme etika, moralitas dan
agama, egoime psikologis, egoisme etika, utilitarianisme, aturan untuk
menghormati sendiri, kontrak sosial, feminisme dan etika kepedulian dan etika
keutamaan. Didalam buku Etika Dasar hanya membahas mengenai utilitarianisme,
etika kepedulian dan etika keutamaan. Namun, buku Etika Dasar juga memiliki
kelebihan pada pembahasan etika yang tidak ada dalam buku filsafat moral.
Kedua buku sama-sama
mengajarkan sikap untuk peduli kepada sesama, berperilaku baik sesuai etika keutamaan,
menghindari sikap hedonisme dan belajar untuk tidak bersikap egois. Setiap
tindakan yang dilakukan harus memiliki alasan dan landasan yang kuat, sehingga
kita tidak asal bertindak. Sebagai makhluk yang rasional kita harus
mempertimbangkan segala akibat sebelum bertindak. Selain itu, kita harus
belajar kritis menghadapi setiap persoalan, agar tidak gampang menilai baik
buruknya sesuatu hanya berdasarkan subjektivitas semata.
1.6
Tujuan Penulisan
- Manfaat secara teoritis
1. Kita dapat mengetahui teori-teori
moral yang dikemukakan oleh para filsuf terkemuka,
2. Menambah pengetahuan mengenai
aturan-aturan moral dari setiap teori,
3. Belajar memahami bahasa filsafat,
4. Memahami kelebihan dan kekurangan
dari masing-masing teori moral sehingga dapat membedakan mana yang baik dan
mana yang kurang baik.
- Manfaat secara praktis
1. Mempraktekan teori moral yang
dinilai baik kedalam perilaku sehari-hari,
2. Memberikan pengarahan sikap untuk
belajar mengatasi masalah dari
berbagai sudut pandang,
3. Memberikan petunjuk mengenai sikap
hidup yang baik dengan mempertimbangkan teori-teori moral.
1.7
Sistematika Penulisan
Kata Pengantar
Daftar Isi
Bab I Pendahuluan
1.1 Identitas buku
1.2 Latar belakang penulisan
1.3 Gambaran penulis
1.4 Kelebihan dan kekurangan buku
1.5 Perbandingan dengan buku lain
1.6 Tujuan penulisan
1.7 Sitematika penulisan
Bab II Laporan isi buku
Bab III Pembahasan
Bab IV Penutup
4.1 Kesimpulan
4.2 Saran
Daftar pustaka
BAB II
LAPORAN ISI BUKU
Bab1 Apakah Moralitas itu?
Filsafat moral adalah upaya untuk
mensistematiskan pengetahuan tentang hakikat moralitas dan apa yang dituntut
dari kita selaku manusia. Sokrates memnilai bahwa moralitas itu berisi tentang
bagaiman seharusnya kita hidup dan mengapa demikian. Banyak definisi-definisi
moralitas yang mengutarakan konsep yang berbeda mengenai apa artinya hidup
secara moral. Hal itu akan membuat kita bingung. Oleh karena itu muncullah
konsepsi minimum dari moralitas. Konsepsi minimum merupakan pokok yang bisa
diterima oleh setiap teori moral, paling tidak sebagai titik tolak.
Ada dua pokok utama dalam moralitas
yang harus kita catat sebagai pegangan dalam menghadapi kasus-kasus moralitas
yang marak terjadi. Pertama, keputusan moral harus didukung
oleh akal yang baik. Kedua, moralitas menuntut pertimbangan yang tidak berpihak
kepada kepentingan satu pihak saja. Moralitas merupakan persoalan akal dan
tidak hanya mengandalkan perasaan pribadi. Tindakan dalam suatu kasus dapat
dinilai benar secara moral jika
dilandasi oleh alasan-alasan terbaik untuk melakukannya. Moralitas merupakan
usaha untuk membimbing tindakan seseorang dengan akal yang dapat membedakan
mengenai perbuatan baik dan buruk. Pelaku moral yang sadar adalah seseorang
yang mempunyai kesadaran untuk mencari kebenaran menggunakan pikirannya dalam
bertindak.
Bab 2 Tantangan Relativisme Kultural
Setiap
budaya memiliki kode moral yang berbeda.. Kunci untuk memahami moralitas adalah
memahami bahwa setiap budaya memiliki nilai kebenaran yang berbeda. Relativisme
kultural adalah teori tentang hakekat moralitas. Dasar relativisme kultural
adalah argumentasi mengenai perbedaan kultural. Pokok utama yang ditekankan
dalam relativisme kutural adalah kita tidak dapat mengatakan bahwa kebiasaan
masyarakat lain lebih rendah derajat moralnya dari adat kebiasaan masyarakat
kita. Kita harus menghentikan kecaman kepada masyarakat lain hanya karena
budayanya berbeda. Namun, konsekuensi dari relativisme kultural adalah kita tidak boleh
mengkritik kebudayaan yang berisi tindakan-tindakan yang kurang mulia
dari masyarakat lain. Oleh karena itulah, kemajuan
dalam relativisme kultural tidak berkembang. Masyarakat harus saling toleran
terhadap kebudayaan lain, sekalipun itu tidak baik.
Ada
dua pelajaran yang dapat kita ambil dari teori relativisme kultural. Pertama,
relativisme kultural mengajarkan bahwa tidak ada alasan objektif yang dapat
membuktikan kebudayaan masyarakat yang satu lebih baik dari yang lainnya.
Kedua, relativisme kultural membuka pikiran kita bahwa praktek dan sikap yang
selama ini kita anggap baik ternyata hanya merupakan hasil kultur yang berlaku
dalam kebudayan kita saja.
Bab 3 Subjektivisme dalam Etika
Subjektivisme
etis merupakan gagasan bahwa pendapat-pendapat moral kita berdasarkan perasaan-perasaan yang subjektif. Atas dasar pandangan ini,
tidak ada yang disebut perilaku benar ataupun salah secara objektif, yang ada
hanyalah pandangan secara subjektif. Perkembangan gagasan subjektivisme etis
berkembang melalui beberapa tahapan seperti gagasan filsafat lainnya.
Landasan yang menjadi dasar dari teori
subjektivisme etis adalah subjektivisme sederhana. Gagasan ini bependapat bahwa
seseorang mengatakan sesuatu itu baik atau buruk tergantung kepada penilaiannya
terhadap perilaku tersebut.
Versi baru teori subjektivisme sederhana adalah emotivisme. Emotivisme dimulai dengan
pengamatan bahwa bahasa digunakan dengan cara yang beraneka ragam. Salah satu
penggunaan bahasa adalah untuk menyatakan fakta atau paling tidak untuk
menyatakan apa yang kita yakini sebagai fakta. Bahasa moral dalam emotivisme
digunakan sebagai sarana untuk mempengaruhi perilaku orang lain. Bagi kaum
emotivis
Suatu
putusan moral atau jenis putusan nilai apapun harus didukung oleh alasan-alasan (penalaran) yang
baik. Suatu teori yang baik terutama yang menyangkut putusan moral harusnya
dapat memberi penjelasan mengenai hubungan antara putusan moral dengan
penalaran yang mendukungnya. Jika kita mau memahami hakekat etika, maka kita
harus memusatkan diri pada penalaran. Kebenaran objektif mengenai suatu
permasalahan hanya akan didapat jika seseorang dapat melepaskan diri dari
penilaian subjektif.
Ada dua
alasan yang memberikan kesan bahwa putusan moral itu tidak dapat dibuktikan
kebenarannya. Pertama, orang salah mengartikan makna bukti dalam etika. Kedua,
kita seringkali memulai mencari bukti dari kasus yang sukar, sehingga kita akan
merasakan bahwa bukti dalam etika itu mustahil.
Bab 4 Apakah Moralitas Bergantung pada Agama?
Pada
umumnya orang percaya bahwa moralitas dan agama tidak dapat dipisahkan. Tidak
sulit untuk melihat mengapa orang berpikir adanya hubungan ini.
Sebab dalam pandangan non religius, alam semesta
ini tampaknya merupakan tempat yang dingin, tanpa arti, kosong dari nilai dan
tujuan. Dalam teori
perintah Tuhan, Tuhan dilukiskan sebagai pemberi hukum, yang telah menetapkan
hukum yang harus ditaati. Namun, Tuhan tidak memaksa kita untuk mentaatinya.
Kita diciptakan sebagai makhluk yang bebas, dapat memilih untuk menerima atau
menolak perintahNya. Tetapi, jika kita mau hidup seperti seharusnya agar dapat
merasakan makna kehidupan, kita harus mengikuti hukum-hukum Tuhan. Banyak
pemeluk agama yang percaya bahwa mereka harus menerima konsep teologis (ketuhanan)
mengenai yang benar dan yang slah karena kalau tidak, mereka akan dianggap
kafir.
Dalam
sejarah pemikiran kristen, teori etis
yang dominan adalah teori hukum kodrat. Teori ini mempunyai tiga bagian yaitu:
a).Teori ini berdasarkan pada sesuatu
pandangan mengenai dunia,
b).Teori hukum kodrat tidak hanya melukiskan
bagaimana adanya, tetapi juga merinci bagaimana seharusnya.
c). Bagian ketiga dalam teori ini adalah
mengarahkan pada pertanyaan tentang pengetahuan moral.
Moralitas
itu menyangkut soal akal dan kesadaran, bukan iman keagamaan. Dalam kasus
tertentu, kesadaran keagamaan tidaklah menjamin pemecahan terhadap
masalah-masalah moral khusus yang kita hadapi.
Bab 5 Egoisme Psikologis
Moralitas
menuntut kita untuk tidak berkutat diri (unselfish).. Menurut teori egoisme
psikologis setiap tindakan manusia dimotivasikan oleh kepentingan diri. Kita
boleh yakin diri kita luhur dan suka berkorban, tetapi hal itu hanya ilusi.
Dalam kenyataannya, kita hanya peduli pada diri sendiri. Setiap orang tahu bahwa
terkadang
orang bertindak altruistik.. Thomas Hobbes menyatakan bahwa egoisme psikologis mungkin benar. Thomas
Hobbes mencatat motif-motif manusia yang menyebabkan manusia berperilaku
altruistik. Ada dua contoh motif hasil pemikiran Hobbes yaitu cinta kasih dan belas kasih.
Dua
argument umum yang sering diajukan
untuk egoisme psikologis Argumen ini
mencoba menetapkan bahwa semua tindakan
secara menyeluruh, bukan hanya sekelompok tindakan tertentu, dimotivasikan oleh
kepentingan diri (self interest). Dua argument itu yaitu:
- Argumen bahwa apa yang kita lakukan adalah apa yang paling kita inginkan
- Argumen bahwa yang kita lakukan adalah yang membuat kita merasa enak
Salah satu kecenderungan
kuat dari sebuah teori adalah kesederhanaannya. Semakin sederhana sebuah teori
ilmiah, semakin besar daya tariknya.Kemampuan teori untuk menyatukan fenomena
yang berbeda-beda menjadi satu dibawah suatu prinsip penjelasan merupakan satu
dari keutamaannya yang besar. Hal itu akan membuat kekacawan menjadi keteraturan.
Namun
, gagasan dasar Egoisme Psikologi tidak dapat diungkapkan tanpa jatuh dari
kekacauan teori. Hal itu berdasarkan beberapa pemikiran. Pertama, Pertama,
orang suka mencampuradukan antara berkutat diri (selfishness) dan kepentingan
diri ( self interest). Jika dipikirkan, keduanya berbeda. Kedua adalah perilaku
yang mementingkan diri dan mengejar kenikmatan. Kekacauan ketiga adalah
anggapan umum tetapi keliru bahwa kepedulian untuk kesejahteraan seseorang
tidak bertautan dengan kepedulian sejati kepada yang lain. Kesalahan dalam
mendalami egoisme psikologis adalah asumsi pengontrol bahwa semua perilaku
adalah kepentingan diri dan segala sesuatu yang terjadi dapat ditafsirkan
sesuai dengan asumsi ini.
Bab 6 Egoisme Etis
Moralitas
menuntut kita untuk dapat menyeimbangkan kepentingan kita dengan kepentingan
yang lain. Akal sehat mengandaikan bahwa kepentingan orang lain perlu
diperhitungkan demi kepentingan mereka. Tetapi akal sehat seseorang bagi orang
lain merupakan omong kosong. Didalam egoisme etis mengajarkan bahwa setiap
orang harus mengejar kepentingannya sendiri secara eksklusif. Egoisme etis
menyatakan bahwa kita tidak memiliki kewajiban moral selain menjalankan
perbuatan yang paling baik utnuk
diri sendiri. Namun, egoisme etis tidak mengajarkan
bahwa anda tidak boleh menolong
orang lain. Dalam berbagai kesempatan, anda mungkin saja dapat menolong diri
sendiri dan orang lain secara bersamaan.
Ada tiga argument
pendukung egoisme etis yaitu:
- Argument bahwa altruism dapat menghancurkan diri sendiri
- Argumen Ayn Rand
- Argumen egoisme etis dianggap cocok dengan moralitas akal sehat
Selain yang mendukung,
ada argument yang menentang egoisme etis, yaitu:
- Argumen bahwa egoisme etis tiidak dapat memecahkan konflik kepentingan
- Argumen bahwa egoisme etis secara logis konsisten
- Argumen bahwa egoisme etis sewenang-wenang dan tidak dapat diterima
Bab 7 Persolan Utilitarianisme
Moralitas
menurut Bentham bukanlah soal menyenangkan hati Allah ataupun soal kesetiaan
kepada hal abstrak. Moralitas tidak lain adalah upaya untuk dapat memperoleh
kebahagiaan di dunia. Bentham berpendapat ada satu moral utama, yaitu prinsip
utilitas. Bentham beruntung mempunyai murid seperti John Stuart Mill yang dapat
mengembangkan utilitarisme menjadi lebih elegan dan persuasive. Moralitas tidak
lagi dipahami sebagai kepercayaan pada
aturan yang diberikan oleh ilahi atau sejumlah perangkat aturan yang
tidak bias diubah. Itulah yang pada waktu itu merupakan gagasan munculnya
revolusioner.
Kaum
utilitarianis adalah para filsuf maupun pembaru social. Mereka berkeinginan
agar ajaran mereka berbeda, tidak hanya dalam pemikiran, melainkan juga dalam
praktek. Untuk menguji implikasi dari filsafat mereka, maka diujikan melalui
dua isu yaitu euthanasia dan perlakuan terhadap binatang. Namun kedua isu
tersebut belum menerapkan penerapan praktis menyeluruh dari teori
utilitarianisme. Tetapi kedua isu tersebut dapat memberikan indikasi mengenai
jenis pendekatan yang khas yang dianut oleh utilitarianisme.
Bab 8 Perdebatan Utilitarianisme
Utilitarianisme
klasik yang dikemukakan oeh Bentham dan Mill, dapat diringkas kedalam tiga
pernyataan, yaitu: pertama, tindakan harus dinilai benar atau
salah hanya demi akibat-akibatnya.
Kedua, dalam mengukur akibat-akibatnya, satu-satunya yang penting hanyalah
jumlah kebahagiaan atau ketidakbahagiaan yang dihasilkan. Ketiga, kesejahteraan
setiap orang dianggap sama pentingnya.
Utilitarianisme
menuntut orang untuk bersikap keras, tidak pilih kasih, berlaku seperti
penonton yang baik hati dan tidak pamrih. Tindakan yang benar adalah yang
menghasilkan pemerataan maksimal dari kebahagiaan diatas ketidakbahagiaan,
dimana kebahagiaan setiap orang dipertimbangkan sama penting. Daya tarik dari
teori utilitarisme begitu besar terutama bagi para filsuf, ekonomi, dan
ahli-ahli lain. Teori ini bisa diterima secara luas, namun tidak sedikit pula yang
menentangnya. Utilitarianisme
klasik menganggap bahwa tindakan manusia dinilai baik apabila mampu
menghasilkan kebahagiaan. Sebagaimana dikatakan oleh Mill bahwa ajaran utilitarianis menjadikan
kebahagiaan sebagai sesuatu yang diinginkan dan untuk mencapainya dapat
dilakukan dengan berbagai cara. Gagasan bahwa kebahagiaan merupakan tujuan
terakhir dikenal dengan hedonisme.
Gagasan
bahwa hanya akibat yang menjadi ukuran merupakan bagian penting dari
utilitarianisme. Gagasan inti yang menjadi dasar teori ini adalah bahwa untuk menentukan apakah suatu tindakan bisa
disebut benar , kita perlu melihat apa yang akan terjadi sebagai akibat dari
tindakan itu. Pertimbangan itu meliputi keadilan, hak-hak dan alasan-alasan
melihat ke belakang.
Unsur
terakhir dari utilitarian adalah gagasan bahwa kita harus mengupayakan
kesejahteraan setiap orang secara sama penting. Utilitaritas akan menuntut kita
untuk menyerahkan sebagian besar materi kita untuk kepentingan orang lain,
bahkan membuat kita harus rela menderita demi kebahagiaan orang lain. Utilitarianisme
kurang menghargai hubungan-hubungan pribadi kita yang akhirnya oleh para
kritikus dianggap sebagai kesalahan besar.
Bab 9 Adakah Aturan-aturan Moral yang Absolut?
Gagasan
bahwa aturan moral ditaati tanpa pengecualian sulit untuk dipertahankan. Mudah
untuk menjelaskan mengapa kita seharusnya membuat pengecualian terhadap suatu
peraturan apabila kita menganggap bahwa peraturan itu mengakibatkan hasil yang
mengerikan. Perintah itu menyatakan kepada kita tentang apa yang harus kita
lakukan jika kita mempunyai keinginan yang relevan dengan perintah itu.
Keharusan moral sebaliknya, tidak tergantung pada adanya keinginan-
keinginan khusus. Bentuk dari suatu
kewajiban moral bukanlah “jikalau anda
menginginkan sesuatu maka anda wajib melakukan sesuatu”, melainkam “anda wajib
melakukan ini-itu, titk.”
Menjadi
pelaku moral berarti mengarahkan perilakunya dengan “hukum-hukum universal”. Immanuel
Kant beranggapan bahwa aturan yang melarang berbohong merupakan salah satu dari
hukum universal. Kant menganggap bahwa kebohongan itu tidak dapat dibenarkan meskipun berbohong untuk
kebaikan. Dalam buku A Short History of Ethics (1966), Alasdair Maclntyre
menyatakan bahwa “bagi banyak orang yang belum pernah mendengar filsafat,
apalagi nama Kant, moralitas secara kasar merupakan apa yang dikatakan Kant
yakni sebuah sistem aturan yang harus diikuti karena wajib tanpa peduli pada
apa yang diinginkan atau dimaui seseorang. Seseorang tidak dapat memandang
dirinya istimewa dari sudut pandang moral. Yang dituntut dari gagasan Kant
ialah jika kita melanggar suatu aturan , maka kita melakukan itu demi suatu
alasan yang bisa kita berlakukan juga untuk diterima oleh orang lain yang
berada dalam posisi yang sama dengan kita.
Bab 10 Kant dan Hormat pada Pribadi
Kant
beranggapan bahwa manusia menduduki wilayah ciptaan yang istimewa.. Seperti
para filsuf lainnya, Kant yakin bahwa moralitas itu dapat dirumuskan sebagai
sesuatu yang mutakhir, yang dapat mengajarkan hak dan kewajiban. Ia menyebutnya
prinsip Imperatif Kategoris. Ada dua fakta penting menyangkut pendapat Kant
tentang manusia, yaitu: pertama manusia memiliki keinginan dan tujuan. Kedua
yaitu manusia mempunyai martabat karena manusia merupakan pelaku rasional. Kant
menganggap bahwa kita tidak boleh menggunakan orang untuk mencapai tujuan kita
sendiri betapapun baiknya tujuan itu.
Jeremy
Bentham, teoritikus besar Utilitarianisme mengatakan bahwa semua hukuman
merupakan kekeiruan. Maksudnya ialah hukuman senantiasa melibatkan perlakuan
buruk terhadap orang yang diberi hukuman. Pandangan ini dikenal dengan istilah
“retributivisme”. Menurut utilitarianisme, kewajiban kita adalah melakukan hal
apapun yang dapat menambah jumlah kebahagiaan di dunia. Hukuman dipandang jahat
karena merusak kebahagiaan. Hukuman dapat dibenarakan jika menghasilkan
akibat-akibat baik yang dapat mengatasi
masalah kejahatan.
Ada
dua cara dimana praktek penghukuman bagi para pelanggar itu menguntungkan masyarakat.
Pertama, hukuman bagi kriminal itu menolong masyarakat untuk mencegah
kejahatan, atau paling tidak dapat mengurangi taraf kegiatan kriminal di masyarakat.
Kedua, sistem penghukuman yang direncanakan dengan baik kiranya dapat mempunyai
efek untuk merehabilitasi pelaku kejahatan. Hasil logis dari cara berpikir ini
adalah kita harus meninggalkan paham hukuman dan menggantinya dengan perlakuan
yang lebih manusiawi.
Sebagaimana
semua ajaran ortodoks lainnya, teori utilitariaisme mengenai hukuman
menimbulkan perlawanan. Kebanyakan perlawanan ini karena melihat kenyataan
bahwa rehabilitasi yang digunakan untuk menggantikan hukuman ternyata tidak
berhasil. Selain itu, program rehabilitasi yang kedengarannya bagus, ternyata tak
lebih dari usaha untuk mencetak manusia menjadi apa yang seharusnya menurut
pemikiran kita. Kita memang mempunyai hak untuk merespon kenakalan mereka,
tetapi kita tidak mempunyai hak untuk melanggar integritas mereka dengan
mencoba memanipulasi kepribadian mereka menurut kemauan kita.
Jadi,
Kant tidak sependapat dengan pembenaran kaum utilitaris terhadap prinsip hukuman. Pertama, orang harus dihukum
hanya karena mereka melakukan kejahatan, dan tidak karena alasan lain. Kedua,
pentinglah menghukum penjahat secara setimpal ( proportionality) sesuai dengan beratnya kejahatan yang
dilakukannya. Menurut Kant, kita harus memperlakukan sesorang sebagai makhluk
rasional.
Bab 11 Gagasan tentang Kontrak Sosial
Thomas
Hobbes, seorang filsuf Inggris yang
terkemuka pada abad ke 17, mencoba memperlihatkan bahwa moralitas tidak
tergantug pada Tuhan, fakta moral atau altruisme kodrati, melainkan harus
dipahami sebagai solusi untuk suatu masalah praktis yang muncul karena manusia
mempunyai kepentingan diri. Hobbes bepikir apa jadinya bila tidak ada aturan
moral dan tidak ada mekanisme yang diterima secara untuk memaksa mereka berbuat
teratur. Dalam situasi tersebut, kita akan hidup bebas tanpa aturan dan dapat
melakukan apapun yang kita sukai. Hobbes menyebut hal ini dengan keadaan alami
( the state of nature).
Hobbes
menunjukan bahwa keadaan alami itu tidak menyenangkan. Hal itu berdasarkan
beberapa fakta yang mendukung yaitu:
- Manusia sama-sama memiliki kebuthan dasar
- Kehidupan ini penuh dengan kekurangan
- Jika barang-barang pokok tidak mencukupi, maka kita harus bersaing untuk mendapatkannya
- Altruisme terbatas yang dimiliki setiap orang
Oleh karena itu, untuk
melepaskan diri dari keadaan alami, orang lembaga harus setuju dengan
pembentukan aturan-aturan dan pembentukan
sebuah lembaga Negara dengan kekuasaan yang diperlukan untuk memperkuat
aturan-aturan itu. Menurut Hobbes,
persetujuan itu sungguh-sungguh ada dan itulah yang membuat kehidupan
social teratur. Persetujuan ini dinamakn kontrak sosial ( the social contract). Teori moral kontrak social adalah gagasan
bahwa moralitas merupakan seperangkat aturan yang merancang bagaimana
seharusnya orang saling memperlakukan satu sama lain, bahwa orang yang rasional
akan setuju untuk menerima, demi keuntungan timbal balik, asalkan orang lain
mengikuti aturan-aturan itu juga.
Kekuatan teori ini dalam
banyak hal terletak pada fakta bahwa teori itu menyediakan jawaban-jawaban
sederhana dan masuk akal untuk persoalan-persoalan rumit yang senantiasa
membingungkan para filsuf. Berikut adalah persoalan-persoalan rumit tersebut:
- Aturan-aturan moral mana yang mengikat kita dan bagaimanakah aturan-aturan itu bisa dibenarkan? Gagasan kuncinya ialah bahwa aturan-aturan yang mengikat secara moral hanyalah aturan-aturan yang diperlukan untuk kehidupan social.
- Mengapa masuk akal untuk menaati aturan-aturan? Kita setuju untuk menaati aturan moral karena menguntungkan bagi kita untuk hidup dalam masyarakat dimana ada aturan-aturan bersama. Masalah pokok dari kontrak social adalah bahwa kita mampu mempercayai orang untuk setia pada aturan-aturan, kecuali mungkin dalam situasi amat darurat.
- Dalam situasi mana kita diperbolehkan melanggar aturan? Gagasan pokok dalam hal ini adalah resiprositas yaitu kita setuju untuk menaati aturan-aturan asalkan orang-orang lain pun juga menaati.
- Apakah moralitas mempunyai dasar objetif? Moralitas bukan sekedar masalah
kebiasaan atau perasaan. Tetapi, teori ini tidak perlu mengajukan
sejenis “fakta” yang khusus untuk menjelaskan teori itu. Moralitas adalah seperangkat aturan yang
disetujui untuk diterima oleh orang-orang yang rasional, demi kebaikan mereka
secara timbal balik.
Hasil dari teori kontrak
social adalah bahwa kita mempunyai kewajiban untuk menaati hukum. Teori kontrak
social merupakan satu dari empat pilihan besar dalam filsafat moral dewasa ini.
Teori lain yaitu utilitarianisme, kantianisme, dan teori keutamaan. Teori
kontrak social dapat menjelaskan kewajiban kita dalam kasus manusia normal,
tetapi tidak demikian dalam kasus orang yang terbelakang.
Bab 12 Feminisme dan Etika Kepedulian
Pandangan
bahwa perempuan dan laki-laki berpikir secara berbeda, secara tradisional
digunakan sebagi pembenaran untuk menaklukan satu sama lain. Kaum perempuan
seringkali dianggap lemah dan laki-laki dipandang sebagai makhluk yang kuat.
Dengan latar belakang ini, pengembangan gerakan perempuan antar tahun 1960 dan
1970an menolak pandangan yang membedakan laki-laki dan perempuan. Konsep
tentang laki-laki sebagai makhluk yang berpikir secara rasional sedangkan permpuan
sebagai makhluk yang emosional ditolak dan dianggap sebagai stereotip belaka.
Namun, belakangan ini kaum feminis mempertimbangkan kembali masalah itu dan
beberapa dari mereka menyimpulkan bahwa perempuan memang berpikir secara
berbeda dari kaum laki-laki. Tetapi, mereka juga mengatakan bahwa cara berpikir
kaum wanita tidak lebih rendah dari laki-laki. Etika diyakini untuk
menyelesaikan perbedaan pandangan antara kedudukan laki-laki dan perempuan ini.
Gillin
menyatakan bahwa orientasi dasar dari moral perempuan adalah kepedulian kepada yang lain, menaruh
perhatian kepada orang lain secara personal, bukan hanya peduli pada
kemanusiaan yang umum dan memenuhi kebutuhan mereka saja. Sejak buku Gillin
diterbitkan, muncul sejumlah riset mengenai “suara-suara perempuan”, tetapi
semuanya masih belum jelas apakah permpuan dan laki-laki memang berpikir secara
berbeda. Namun, tampaknya ada satu hal yang pasti, bahwa kalaupun mereka
berpikir secara berbeda, perbedaan itu tidak begitu besar.
Bab 13 Etika Keutamaan
Para
filsuf abad pertengahan ketika mendiskusikan etika keutamaan masih dalam
konteks hukum ilahi, yaitu berupa keutamaan-keutamaan teologis meliputi
iman, harapan, cinta dan tentu saja
ketaatan. Sesudah Renaissans, filsafat moral mulai di sekularisasikan lagi,
tetapi para filsuf tidak kembali ke jalan pikiran Yunani, melainkan
menggantikan hukum Ilahi dengan padanan secular yaitu disebut hukum moral.
Hukum moral ini lebih dianggap muncul dari akal budi manusia daripada perintah
Tuhan, diterima sebagai sustu sistem dari hukum-hukum yang menetapkan mana yang
tindakan yang baik. Tugas kita sebagai pelaku moral adalah mengikuti
petunjuknya. Hal inilah yang mengantar para filsuf kearah yang berbeda. Mereka
mengembangkan teori-teori kebenaran dan kewajiban bukan keutamaan.
Belakangan
ini para filsuf mengajukan gagasan radikal yang beranggapan bahwa filsafat
moral modern sedang runtuh, dan untuk menyelamatkannya, kita harus kembali ke
jalan pikiran Aristoteles yang menyangkut teori keutamaan. Ada banyak
sifa-sifat keutamaan yang harus dimiliki manusia, namun ada empat sifat
terpenting yang harus ada, yaitu berani, murah hati, jujur dan setia kepada
keluarga dan teman-teman.. Kita dapat mengetahui bahwa sifat-sifat tersebut
berharga karena alasan yang berbeda. Semua keutamaan itu mempunyai sifat-sifat
umum sebagai nilai yang berlaku sama, bahwa keutamaan itu diperlukan untuk
menghasilkan kehidupan yang manusiawi.
Keutamaan itu berbeda dari satu orang ke orang
lainnya karena setiap orang memiliki kepribadian yang berbeda-beda dan
menduduki peran sosial yang beragam. Namun, anggapan tersebut berlawanan dengan
anggapan Aristoteles bahwa ada keutamaan yang diperlukan oleh semua orang dalam
segala waktu. Bahkan, dalam masyarakat terpencil sekalipun, orang menghadapi
permasalahan dasar yang sama dan
mempunyai kebutuhan dasar yang sama pula. Keutamaan adalah kebijaksanaan yang
berarti kemampuan untuk membayangkan dan melakukan apa yang secara keseluruhan
paling baik. Teori keutamaan adalah bagian dari suatu teori etika, bukan
sebagai teori etika yang lengkap. Teori etika muncul untuk melengkapi
teori-teori etika lain yang sudah ada.
Bab 14 Teori Moral yang Memadai
Filsafat
moral mempunyai sejarah yang kaya dan mengagumkan. Banyak pemikir filsuf yang
menganilisis masalah moral dari berbagai perspketif dan menghasilkan
teori-teori yang menarik maupun yang menjengkelkan pembaca. Sebuah teori moral
yang memuaskan kiranya haruslah sensitive dengan fakta tentang
kodrat manusia dan menempatkan
manusia secara seimbang. Manusia adalah makhluk rasional yang mampu
mengemukakan sejumlah fakta sebagai alasan untuk bertindak menurut cara
tertentu, Kita harus melakukan tindakan yang didukung oleh alasan-alasan yang
paling masuk akal.
Atas dasar beberapa catatan mengenai kodrat
manusia, kita dapat membri gambaran bahwa kita harus bertindak menurut aturan
agar mendukung kepentingan setiap orang secara sama. Tetapi, kita lantas member catatan bahwa hal
semacam ini tidak dapat diperlakukan untuk semua kewajiban moral kita karena
kita harus memperlakukan orang menurut kepantasan individu yang bersangkutan.
Sekilas tampaknya memperlakukan orang menurut kepantasan masing- masing
individu agak berbeda dengan memperhatikan kepentingan setiap orang secara
sama. Namun, hal itu disesuaikan dengan nilai kepantasan dalam memperlakukan
orang lain.
Gagasan
utama utilitarianisme motivasi adalah kita harus bertindak menurut kombinasi
motif-motif yang terbaik dalam memperhatikan
kepentingan-kepentingan umum. Kita harus dapat menghasilkan peluang-peluang
terbaik untuk hidup yang baik, sekaligus juga memberikan peluang-peluang
terbaik bagi orang lain untuk menjalankan hidup mereka yang baik. Sebut saja
peluang-peluang ini dengan rencana terbaikku. Hal yang benar untuk bertindak
adalah melakukan rencana terbaik itu.
Rencana
terbaik setiap orang mungkin memiliki kesamaan, seperti melawan kebohongan,
pencurian dan pembunuhan. Selain itu juga kesamaan dalam sifat-sifat keutamaan
yang harus dimiliki diantaranya kesabaran, keramahan dan pengendalian
diri. Tetapi rencana terbaik setiap
orang tidak harus sama. Hal itu disebabkan setiap orang memiliki kepribadian
dan bakat yang berbeda-beda. Jadi, strategi untuk hidup bagi setiap orang
mungkin berbeda-beda.
BAB III
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Bab I Apakah Moralitas Itu?
Jika
kita membahas mengenai pengertian moralitas, maka kita menemukan banyak
definisi-definisi yang menjelaskan hal tersebut. Terkadang hal itu akan membuat
kita bingung. Para filsuf memiliki pendapat tersendiri mengenai pengertian
moral yang diyakini paling benar. Bahkan tidak jarang akan mengakibatkan pertentangan
antara fisuf satu dengan filsuf yang lain. Oleh karena itu, kita harus memahami
konsep sederhana dari definisi moral yang dapat dijadikan pegangan untuk
dikembangkan lebih lanjut. Konsep sederhana itu merujuk pada pengertian moral
yang di definisikan oleh Sokrates yaitu moral adalah bagaimana cara kita hidup.
Konsepsi minimum ini akan coba kita pelajari melalui contoh berikut:
- Contoh pertama: Bayi Theresa
Theresa Ann Campo
Pearson, seorang anak penderita rumpang otak (anencephaly) yang dikenal public
sebagai “bayi Theresa”, lahir di Florida tahun1992. Rumpang otak adalah cacat
bawaan yang paling buruk. Bayi yang lahir dalam keadaan rumpang otak sering
disebut bayi tanpa otak. Hal tersebut dikarenakan ada bagian-bagian penting
otak yakni cerebrum dan cerebellum, dan
bagian atas dari tengkorak yang hilang.
Namun, batang otak masih tetap ada. Fungsi-fungsi otonomik juga masih berfungsi
seperti pernapasan dan detak jatung masih berfungsi.
Mengetahui keadaan
anaknya tidak dapat bertahan lama dan kalaupun hidup ia tidak akan memiliki
kesadaran, maka orangtua bayi
Theresa meminta agar organ-organ
tubuh bayi Theresa di transplantasikan. Dengan demikian organ tubuh bayi Theresa
seperti ginjal, hati, jantung dan paru-paru dapat disumbangkan untuk anak-anak
lain. Namun, menurut hukum di Florida hal itu baru dapat dilakukan setelah bayi
meninggal. Namun, setelah bayi Theresa meninggal, transplantasi sudah terlambat
untuk dijalankan karena organnya sudah rusak.
Kisah bayi Theresa
menimbulkan banyak pertentangan. Satu pihak mendukung keputusan orangtua bayi
Theresa untuk mentransplantasikan organ tubuh anaknya yang memang memiliki
harapan hidup yang rendah. Namun, sebagian lagi menentang keputusan orang tua
bayi Theresa. Mereka menganggap bahwa orangtua bayi Theresa sangat kejam.
Mereka rela mengorbankan nyawa anaknya demi menolong anak lain. Bagaimanapun
alasannya tidaklah dibenarkan untuk membunuh
sesorang demi menyelamatkan orang
lain.
Namun, marilah kita kaji
kasus ini dari segi pertimbangan moral yang lain. Ada beberapa argumen yang
dapat digunakan untuk mengkaji benar atau tidaknya tindakan orantua dan dokter
terhadap bayi Theresa. Pertama megenai
argumentasi keuntungan. Kalau kita dapat menarik keuntungan dari seseorang
tanpa merugikan orang lain maka kita harus melakukannya. Transplantasi organ
itu menguntungkan orang lain dan tidak merugikan bayi Theresa. Kehidupan tidak
akan menguntungkan bayi Theresa, malah akan membuatnya menderita. Hidupnya akan lebih berarti jika dapat bermanfaat bagi
orang lain. Oleh karena itu argumentasi keuntungan memiliki alasan yang kuat
untuk melakukan transplantasi organ.
Argumen kedua adalah
kita tidak boleh memperlakukan orang lain sebagai sarana untuk mencapai tujuan.
Mempergunakan orang untuk mencapai tujuan disebut pelanggaran apabila melanggar
otonomi seseoranag. Pelanggaran otonomi terjadi ketika seseorang dipaksa
melakukan sesuatu yang bertentangan dengan keinginan mereka. Dalam konteks ini
kita dapat mengetahui bahwa bayi Theresa tidak mempunyai akal pikiran untuk
mengetahui mana yang ia inginkan. Kecacatan yang dimilikinya membuat ia menjadi
seperti makhluk hidup namun mati. Hal itu membuat orangtua bayi Theresa berhak
mengambil keputusan yang terbaik.
Argumen terakhir adalah
mengenai kesalahan membunguh. Membunuh seseorang untuk menyelamatkan orang lain
aadalah keliru. Dalam kasus transplantasi organ bayi Theresa dinilai sebagai
suatu pembunuhan. Namun, mari kita berpikir ulang. Cepat atau lambat bayi Theresa akan segera
meninggal, dan transplantasi akan memberikan kebaikan untuk hidup Theresa yang
sebentar. Setidaknya organ bayi Theresa dapat memberikan harapan hidup bagi
anak lain.
Contoh kedua: Jodie dan Marie
Jodie
dan Marie adalah bayi kembar yang saling
meekat di perut bagian bawah. Tulang belakang mereka menyatu, mereka hanya
mempunyai satu hati dan sepasang paru-paru. Kedua bayi itu harus segera
dipisahkan, namun hanya satu yang akan selamat. Kedua orangtua mereka adalah
penganut Katolik yang taat, sehingga tidak mengizinkan apabila salah satu dari
anak mereka harus mati demi menyelamatkan saudaranya. Namun, pihak rumah sakit
tidak menyerah, mereka lalu
membawa kasus itu ke pengadilan.
Akhirnya pengadilan menyetujui untuk melakukan
operasi. Hasil operasi tersebut
dapat menyelamatkan Jodie, sementara Marie meninggal.
Dalam
situasi tersebut, benar atau salahkah tindakan yang dilakukan oleh pengadilan
dan rumah sakit itu? Ada beberpa argument yang akan dibahas. Pertama adalah
argument perlunya untuk menyelamatkan sebanyak mungkin orang. Lebih baik
menyelamatkan satu nyawa daripada membiarkan dua nyawa melayang. Argumen kedua
adalah mengenai kesucian hidup. Orangtua Jodie dan Marie sangat mencintai kedua
anaknya, sehingga tidak tega apabila harus mengorbankan salah satu diantara
mereka. Gagasan bahwa semua hidup manusia berharga, tanpa pandang usia, ras,
kelas sosial atau kecacatan merupakan inti dari tradisi moral barat. Membunuh
orang memang salah, namun dalam hal tertentu itu dibenarkan demi tujuan
kebaikan.
Contoh ketiga adalah Tracy Latimer
Tracy
Latimer adalah anak berusia 12 tahun yang memiliki lumpuh otak. Ia dibunuh oleh
ayahnya sendiri. Ayahnya melakukan itu karena tidak tega melihat penderitaan
yang dialami oleh anaknya. Atas kasus pembunuhan itu, sang ayah mendapat
hukuman penjara 25 tahun.
Banyak
pihak yang menentang keras tindakan sang ayah, namun tidak sedikit pula yang
membenrkan. Pertentangan yang paling keras dating dari ketua Saskatoon Voice of
People with Disabilities, yaitu kelompok orang-orang sklerosis ( pengerasaan
otak atau sumsum tulang belakang). Dia mengatakan bahwa tidak ada seorang pun
yang berhak untuk memutuskan apakah hidupku kurang berharga dari hidupmu.
Orang-orang cacat harus dihormati dengan hak-hak yang sama sebagaimana orang
lain. Diskriminasi terhadap suatu kelompok memang tidak bisa dibenarkan. Namun,
adakalnya perlakuan terhadap orang cacat yang sedikit di bedakan dapat
dibenarkan. Orang cacat memerlukan perlakuan dan perhatian khusus yang tidak
dapat disamakan dengan orang normal.
Kasus
pembunuhan Tracy Latimer memang seolah menunjukan bahwa orang cact itu tidak
berharga. Namun, menurut ayahnya, ia membunuh anaknya bukan karena maslah ia
cacat. Ayahnya hanya tidak mampu melihat anaknya semakin menderita. Kehidupan
hanya akan menambah kesakitan bagi anaknya.
Dari
ketiga kasus diatas, kita dapat mengambil pelajaran mengenai hakikat
moralitas. Pertama, keputusan moral
harus didukung dengan akal yang baik. Kedua, moralitas menuntut pertimbangan
yang tidak berpihak dari setiap kepentingan individu. Moralitas menuntut kita
berpikir mengenai alasan-alasan untuk membenarkan ataupun menolak suatu
argument. Kita juga jangan memperlakukan orang secara diskriminatif jika tidak
ada suatu sebab yang kuat. Kita harus
menjadi pelaku moral yang sadar, yaitu seseorang yang mempunyai keprihatinan
tanpa pandang bulu terhadap kepentingan setiap orang yang yang terkena dampak
dari perilaku yang ia lakukan.
Bab II Relativisme Kultural
Relativisme
kultural adalah sebuah teori moral yang menyatakan bahwa aturan moral untuk
setiap kebudayaan tidak mungkin sama. Hal itu disebabkan karena setiap
kebudayaan memiliki nilai-nilai yang berbeda. Adat istiadat yang berlaku di
suatu daerah berbeda dengan daerah lainnya. Apa yang dianggap benar oleh suatu
kelompok mungkin dianggap tidak benar oleh kelompok lain. Cara hidup yang kita
anggap benar ternyata akan dianggap aneh oleh orang lain yang memiliki
kebiasaan hidup berbeda dengan kita.
Kita
dapat mengambil contoh mengenai kebudayaan yang berlaku di Yahudi dan Callatia.
Orang-orang Yahudi percaya bahwa makan jenazah tidakbisa dibenarkan, sedangkan
orang-orang Callatia justru percaya bahwa makan jenazah itu dibenarkan. Oleh
karena itu, makan jenazah tidak benar dan tidak salah secara objektif. Hal itu
tergantung kepada penilaian budaya masing-masing.
Di
dalam kasus lain kita dapat menganalisis
perbedaan aturan yang berlaku di Eskimo dan Amerika. Orang Eskimo merasa bahwa
membunuh bayi merupakan hal biasa dan dibolehkan, sementara orang Amerika
menganggap bahwa itu adalah perbuatan amoral yang sangat bertentangan dengan
aturan.
Dari
kedua kasus diatas kita dapat menarik kesimpulan bahwa setiap kebudayaan
memiliki aturan-aturan moral yang berbeda. Tidak ada kebenaran yang objektif
dalam moralitas. Penilaian terhadap suatu kasus tergantung kepada penilaian
masing-masing kebudayaan. Inilah yang dinamakan argumentasi perbedaan kultural.
Argumentasi perbedaan kultural mencoba menarik suatu kesimpulan dari isi permasalahan
mengenai suatu persoalan moralitas dari fakta-fakta yang berasal dari perbedaan
pandangan.
Menurut William
Graham Sumner mengatakan bahwa tidak ada ukuran benar atau salah kecuali
standar dari masyarakat itu sendiri. Hal itu mengakibatkan
konsekuensi-konsekuensi yaitu:
- Kita tidak dapat mengatakan bahwa kebiasaan masyarakat lain lebih rendah derajat moralnya dari adat kebiasaan kita. Hal itu memang baik agar membuat kita saling menghargai kebudayaan lain. Namun, ada sisi negatifnya, kita tidak boleh mengkritik tindakan-tindakan yang kurang mulia dari masyarakat lain . Kita harus memaklumi kebiasaan buruk masyarakat lain seperti kebiasaan orang Eskimo yang suka membunuh bayi.
- Kita dapat menilai apakah tindakan kita itu benar atau salah , cukup dengan mengukurnya dengan standar masyarakat kita. Perilaku kita yang kurang baik akan tetap benar jika tetap sesuai dengan nilai budaya di masyarakat kita. Contohnya saja kebiasaan masyarakat Callatia yang suka memakan jenazah. Dalam relativisme kultural selain tidak boleh mengkritik budaya orang lain kita juga dilarang untuk mengkritik budaya sendiri, walaupun kita menganggap ada kesalahan aturan dalam budaya kita.
- Gagasan tentang kemajuan moral patut diragukan kemungkinannya. Kemajuan hanya dapat dilakukan dengan menggantikan segala sesuatu dengan cara yang lebih baik. Dalam gagasan relativisme cultural, pembaruan terhadap aturan moral merupakan hal yang tidak mungkin. Hal itu disebabkan kita tidak boleh mengkritik kebudayaan masyarakat sendiri maupun kebudayaan masyarakat lain. Seseorang yang ingin melakukan perubahan justru dianggap menyimpang dari aturan masyarakat.
Walaupun aturan-aturan
moral ada yang hanya berlaku untuk suatu kebudayaan saja, namun ada juga aturan
moral yang berlaku secara universal. Ada aturan-aturan moral tertentu yang
dianut secara bersama-sama oleh semua masayarakat, karena aturan-aturan itu
penting untuk kelestarian masyarakat. Contohnya saja aturan moral untuk berkata
jujur, berperilaku sopan, saling menyayangi, saling membantu dan sebagainya.
Ada dua pelajaran yang
didapat dari relativisme kultural. Pertama,
relativisme kultural mengajarkan bahwa tidak ada alasan objektif yang dapat
membuktikan kebudayaan masyarakat yang satu lebih baik dari yang lainnya. Setiap kebudayaan terbentuk
berdasarkan kebiasaan masyarakat setempat. Kebudayaan merupakan
cerminan dari pola hidup masyarakat
tersebut. Kedua, relativisme kultural
membuka pikiran kita bahwa praktek dan sikap yang selama ini kita anggap baik
ternyata hanya merupakan hasil kultur yang berlaku dalam kebudayan kita saja. Kita mengenal nilai, norma dan
aturan-aturan dari kebudayaan yang berlaku di masyarakat kita. Oleh karena itu,
kita hanya mengenal aturan-aturan yang berlaku di masyarakat kita saja dan
menganggap bahwa itu merupakan aturan terbaik.
Bab III Subjektivisme dalam Etika
Subjektivisme etis merupakan gagasan
bahwa pendapat-pendapat moral kita berdasarkan perasaan-perasaan
yang subjektif.
Artinya, baik atau buruknya suatu perbutan seringkali dibayang-bayangi oleh
perasaan kita bahwa perbuatan itu baik atau buruk, menyenangkan atau tidak, dan
pantas atau tidak untuk dilakukan. Atas
dasar pandangan ini, tidak ada yang disebut perilaku benar ataupun salah secara
objektif, yang ada hanyalah pandangan secara subjektif. Kita menyatakan bahwa sesuatu itu baik atau
buruk tanpa didasari oleh fakta yang mendukung pernyataan tersebut.
Perkembangan gagasan subjektivisme etis
berkembang melalui beberapa tahapan seperti gagasan filsafat lainnya. Mula gagasan subjektivisme diajukan dalam bentuk sederhana dan banyak
orang yang tertarik dengan gagasan itu. Kemudian muncullah kritik dari
orang-orang yang menentang gagasan tersebut. Beberapa orang kemudian
meninggalkan gagasan itu, namun sebagian yang lain mencoba bertahan dan memperbaiki
kekurangan gagasan. Setelah diperbaiki, muncul lagi kritikan dari pihak lain,
ada yang meninggalkan, namun ada juga yang tetap mencoba memperbaikinya.
Begitulah seterusnya gagasan filsafat terbentuk.
Teori subjektivisme etis
dimulai dari gagasan sederhana yaitu subjektivisme sederhana. Subjektivisme
sederhana menyatakan bahwa kalau sesorang mengatakan bahwa sesuatu itu baik
atau buruk secara moral, itu berarti bahwa ia menyetujui atau tidak menyetujui hal itu dilakukaan. Apabila ia
menilai itu baik, maka berdasarkan perasaannya
bahwa itu baik. Namun, apabila ia mengatakan bahwa itu buruk, maka
perasaannya mengatakan bahwa itu buruk. Hal yang menjadi pertentangan teori ini adalah subjektivisme sederhana
mengimplikasikan bahwa setiap orang tidak akan salah dalam menilai suatu
perbuatan. Padahal, setiap orang pasti
dapat melakukan kesalahan dan kekeliruan dalam menilai suatu tindakan.
Selain itu, hal yang menjadi
pertentangan berikutnya adalah teori ini
menilai tidak ada perdebatan mengenai penilaian
yang dilakukan oleh orang yang satu dengan orang lainnya terkait benar
atau salahnya suatu perbuatan. Padahal, perbedaan itu selalu ada dan harus
dicarikan solusinya agar dapat diketahuamana yang benar atau salah. Oleh karena
itu, teori subjektivisme sederhana dinilai sebagai teori yang cacat. Namun, masih ada orang yang mengolah teori ini dalam versi yang lebih baik.
Versi subjektivisme
sederhana yang sudah diperbarui disebut dengan emotivisme. Teori ini dikembangkan oleh filsuf Amerika yang
bernama Charles L. Stevenson (1908-1979). Pada abad kedua puluh, teori ini
menjadi teori etika yang paling bepengaruh. Emotivisme menyatakan bahwa bahasa dapat
digunakan untuk berbagai fungsi. Ada yang digunakanakan untuk menyatakan fakta,
misalnya Abraham Lincoln adalah presiden Amerika Serikat. Namun, ada juga
bahasa yang digunaka sebagai perintah, contohnya tutuplah pintu itu!.
Menurut emotivisme
bahasa moral bukanlah bahasa yang menyatakan fakta, karena tidak digunakan
secara khusus untuk menyampaikan suatu informasi. Bahasa moral digunakan untuk
mempengaruhi orang lain. Misalnya dengan mengatakan “kamu tidak boleh untuk
melakukan itu”. Ini berarti anda sedang mencegah orang lain untuk melakukan
sesuatu. Selain itu, bahasa moral digunakan untuk mengunkapkan sikap seseorang,
seperti Abraham Lincoln adalah orang yang baik.
Perbedaan antara
emotivisme dan subjektivisme adalah sederhana adalah subjektivisme sederhana
mengartikan kalimat-kalimat etis sebagai pernyataan mengenai fakta khusus,
yakni sebagai laporan-laporan tentang sikap si pembicara, sedangkan emotivisme
etis sebaliknya, yaitu menyangkal bahwa ucapannya sebagai suatu fakta. Suatu
putusan moral yang baik harus didukung oleh alasan-alasan (penalaran) yang
baik. Teori moral yang memadai adalah teori yang dapat menjelaskan mengenai
hubungan antara putusan moral dengan alasan yang mendukungnya. Contohnya
mengenai aturan moral yang menentang kebohongan, maka harus dijelaskan alsan
yang mendukungnya dengan disertai fakta.
Namun, banyak yang
beranggapan bahwa keputusan moral tidak dapat didukung kebenarannya. Ada dua alasan yang memberikan
kesan bahwa putusan moral itu tidak dapat dibuktikan kebenarannya. Pertama,
orang salah mengartikan makna bukti dalam etika. Bukti dalam etika bukan
seperti bukti ilmu yang didapat melalui percobaan dan pengamatan. Bukti dalam
etika yaitu berupa pemikiran yang
rasional meliputi pemberian alasan dan analisis
argumen yang tepat. Kedua, kita seringkali memulai mencari bukti dari kasus
yang sukar, sehingga kita akan merasakan bahwa bukti dalam etika itu mustahil. Misalnya saja kita tidak boleh
mencuri karena akan menimbulkan banyak kerugian untuk diri sendiri dan orang
lain. Kerugia untuk diri sendiri yaitu diliputi rasa bersalah, tidak tenang,
bahkan bisa terkena hukuman penjara. Sedangkan kerugian untuk orang lain dapat
mengakibatkan orang tersebut bersedih, kebingungan dan kesusahan karena harta
bendanya dicuri.
Bab IV Moralitas dan Agama
Ada anggapan yang sudah
terkenal di masyarakat bahwa moralitas dan agama merupakan dual hal yang tidak
bisa dipisahkan. Bahkan, pada umumnya
orang percaya bahwa moralitas dan agama tidak dapat dipisahkan. Kaum religius seperti pendeta,
usatad, biksu dan sebagainya, dianggap lebih mengetahui tentang moralitas. Tidak sulit untuk melihat mengapa orang berpikir
adanya hubungan ini. Sebab dalam pandangan non religius, alam semesta ini
tampaknya merupakan tempat yang dingin, tanpa arti, kosong dari nilai dan
tujuan. Agama muncul untuk menjadi pedoman hidup manusia, agar manusia hidupnya
lebih terarah. Agama berkaitan dengan
moralitas karena berkaitan dengan aturan-aturan perilaku yang harus ditaati
oleh manusia. Bagi kaum agamawan, hubungan antara moralitas dan agama merupakan
hal yang langsung dan praktis yang berpusat pada isu moral khusus. Seperti larangan untuk mencuri,
berbohong, berzina, dan sebagainya yang juga dilengkapi dengan sanksi.
Ada beberapa teori yang digunakan untuk
menjelaskan hubungan antara moralitas dan agama. Pertama adalah teori pertintah
Allah. Teori perintah Allah memberikan gambaran kepada kita bahwa sebagai
makhluk ciptaan Tuhan, kita diberi kebebasan untuk menaati atau melanggar
aturan-aturan yang telah diciptakan oleh Allah. Jika kita ingin hidup bahagia,
maka kita harus menaatinya, namun jika kita ingin hidup bebas namun tanpa
ketenangan, kita dapat melanggarnya. Tetapi Tuhan juga mengancam bahwa
perbuatan kita kelak akan dipertanggung jawabkan kelak di akhirat. Hidup dengan
kesenangan melanggar perintah Allah maka memilih menderita di akhira.
Sebailiknya, hidup dalam perjuangan menaati perintah Allah maka akan hidup
bahagia di akhirat.
Kedua adalah teori hukum kodrat. Dibandingkan dengan teori
perintah Allah, teori hukum kodrat lebih dominan dalam sejarah pemikiran
Kristen. Isi dari teori ini
ada tiga bagian, yaitu:
a).Teori ini menyatakan bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini
diciptakan karena memiliki tujuan. Contohnya saja hujan. Hujan diturunkan Tuhan
agar tanaman tumbuh. Tanaman yang subur akan menjadi incaran binatang. Binatang
yang sehat akan menjadi santapan manusia. Jadi terjadi sebuah hubungan
berantai. Nilai dan tujuan dianggap sebagai bagian dasar dari teori hukum kodrat, karena dengan mengetahui niali dan
tujuan, kita dapat menemukan rahasia mengapa Tuhan menciptakan alam semesta dan
segala isinya.
b). Teori hukum kodrat tidak hanya menjelaskan sesuatu apa adanya , tetapi
juga memberikan penjelasan bagaimana seharusnnya sesuatu terjadi. Contohnya
saja kewajiban untuk berbuat baik. Kita ditutut untuk berbuat baik karena
sesuai kodrat kita sebagai makhluk sosial. Makhluk sosial adalah makhluk yang
tidak bisa hidup sendiri. Oleh karena itu sebagai makhluk sosial seharusnya
kita saling membantu satu sama lain.
c). Bagian ketiga dalam teori ini adalah
mengarahkan pada pertanyaan tentang pengetahuan moral. Berbeda dengan teori perintah Allah yang
menyatakan bahwa kita harus bertindak sesuai perintah Allah, teori hukum kodrat
menyatkan bahwa tindakan kita harus berdasarkan pertimbangan akal pikiran .
Menurut teori hukum kodrat, tindakan kita dianggap benar apabila sesuai dengan
akal pikiran yang paling rasional.
Moralitas
itu menyangkut soal akal dan kesadaran, bukan iman keagamaan. Kaum agamawan dan non agamawan
berada dalam posisi yang sama yaitu sama-sama memiliki penalaran akal untuk
memikirkan mana tindakan yang patut dilakukan. Kekurangan kaum non agamawan
hanya terletak pada ketidak percayaan mereka pada Tuhan yang telah menciptakan
akal pikiran tersebut.
Bab V Egoisme Psikologis
Moralitas menuntut kita untuk tidak
berkutat diri (unselfish). Perilaku berkutat diri adalah perilku yang hanya mementingkan
kepentingan diri sendiri tanpa peduli dengan penderitaan orang lain. Kita
diharapkan dapat peduli kepada kepentingan orang lain meskipun hanya berupa
pertolongan kecil. Dalam keseharian kita tolong menolong memang sudah menjadi
hal wajar. Kita seringkali melihat ada
orang yang membantu nenek untuk menyebrang, pemadam kebakaran membantu
memadamkan rumah yang kebakaran dan orang yang
suka menyumbang ke panti asuhan. Namun,
menurut teori egoisme psikologis setiap tindakan manusia dimotivasikan oleh
kepentingan diri
sendiri. Kita menolong orang seringkali
diiringi oleh motif altruistic yaitu suatu hasrat untuk dikenal umum, hasrat
kepuasan karena dapat meringankan pederitaan orang lain dank arena ingin mendapatkan
surga. Menurut Thomas Hobbes, perilaku altruistic itu didasari oleh beberapa
motif. Dua diantaranya adalah motif cinta kasih dan belas kasih. Kita
sering mengira bahwa orang yang suka
menolong orang memiliki rasa cinta kasih yang besar untuk sesamanya. Namun, itu
tidak selamanya benar. Dibalik pertolongannya, ia ingin menunjukan bahwa ia
memiliki cinta kasih yang lebih besar daripada yang lain. Ia ingin dianggap
lebih peduli dan ia paling mampu untuk menolong orang lain. Belas kasih
seringkali diartikan sebagai perasaan simpati terhadap penderitaan orang lain
sehingga kita mencoba untuk menolong orang yang kesulitan. Menurut Hobbes, kita
menolong mereka dengan harapan bahwa ketika kita berada dalam kesulitan, orang
lain juga akan membantu kita. Seolah ada semacam hubungan timbale balik.
Egoisme
psikologi memiliki argument-argumen yang menguatkan kebenaran isi teori ini,
yaitu:
- Argumen bahwa apa yang kita lakukan adalah apa yang paling kita inginkan.
Orang ingin menolong
orang lain seringkali didasari atas keinginan yang di rasakannya. Jika
seseorang melihat kesusahan orang lain namun ia tidak memiliki keinginan untuk
menolongnya, maka ia tidak akan melakukannya.
- Argumen bahwa yang kita lakukan adalah yang membuat kita merasa enak .
Kita menolong orang lain
hanya dengan tujuan mencari perasaan nyaman setelah menolong yang kesusahan dan
menghindarkan perasaan bersalah karena membiarkan orang lain menderita.
Salah satu kecenderungan
kuat dari sebuah teori adalah kesederhanaannya. Semakin sederhana sebuah teori
ilmiah, semakin besar daya tariknya.Karena kita akan mudah memahami maksud dari
teori itu jika dimulai dengan penjelasan yang sederhana. Keutamaan sebuah teori
adalah dapat menjelaskan berbagai macam gejala dalam sebuah konsep sederhana
yang mudah dimengerti.
Gagasan
dasar Egoisme Psikologi tidak dapat terhindar dari kekacauan teori. Hal itu
berdasarkan beberapa pemikiran. Pertama, orang suka mencampuradukan antara berkutat
diri (selfishness) dan kepentingan
diri ( self interest). Jika dipikirkan,
keduanya berbeda. Perilaku berkutat diri
adalah perilaku yang mementingkan
kesenangannya sendiri sedangkan yang
lain kesulitan.Sedangkan perilaku kepentingan diri lebih berdasarkan melakukan
tindakan karena kebutuhan. Kedua adalah perilaku yang mementingkan diri dan
mengejar kenikmatan. Kita melakukan banyak hal karena kita menyenanginya, namun
bukan berarti kita hanya mementingkan kesenangan sendiri. Kekacauan ketiga adalah anggapan umum tetapi
keliru bahwa kepedulian untuk kesejahteraan seseorang tidak bertautan dengan
kepedulian sejati kepada yang lain. Tentu saja hal ini salah. Kita peduli pada
orang lain bukan untuk mendapatkan balasan kepedulian dari orang lain juga.
Kita menolongnya, karena dorongan rasa nurani kita kepada sesama manusia.
Kesalahan
dalam mendalami egoism psikologis adalah asumsi pengontrol bahwa semua perilaku
adalah kepentingan diri dan segala sesuatu yang terjadi dapat ditafsirkan
sesuai dengan asumsi ini. Jadi, kita menolong orang lain tidak selamanya
diiringi oleh perasaan tidak ikhlas. Hal itu tergantung kepada kepribadian
masing-masing individu.
Bab VI Egoisme Etis
Setiap tahun, jutaan
anak meninggal karena kelaparan. Banyak saudara-saudara kita di belahan dunia
lain yang hidup serba kekurangan. Sementara orang-orang yang hidup di Negara
maju justru sibuk menghambur-hamburkan uang dan membeli barang-barang mewah. Seharusnya,
kita membantu mereka yang kesulitan daripada sibuk memperkaya diri sendiri.
Moralitas menuntut kita
untuk dapat menyeimbangkan kepentingan kita dengan kepentingan yang lain. Tidak
salah bersikap membahagiakan diri sendiri, namun alangkah lebih indah jika kita
dapat berbagi kebahagiaan itu dengan yang lain. Jika tindakan yang kita lakukan
dapat member manfaat bagi orang lain, maka kita harus melakukannya. Akal sehat mengatakan
bahwa kita harus peduli pada kepentingan orang lain.
Namun, egoisme etis
menyatakan sebaliknya. Didalam egoisme etis mengajarkan bahwa setiap orang
harus mengejar kepentingannya sendiri secara eksklusif. Egoisme etis menyatakan
bahwa kita tidak memiliki kewajiban moral selain menjalankan perbuatan yang
paling baik utnuk diri sendiri. Namun, egoisme etis tidak mengajarkan bahwa
anda tidak boleh menolong orang lain. Anda justru dianjurkan untuk menolong
orang yang memberi anda peluang mencapai kebahagiaan. Dalam
berbagai kesempatan, anda mungkin
saja dapat menolong diri sendiri dan orang lain secara bersamaan. Misalnya
menolong seorang pengusaha dengan harapan anda ditawari pekerjaan.
Ada tiga argument
pendukung egoisme etis yaitu:
- Argument bahwa altruisme dapat menghancurkan diri sendiri. Artinya, apabila kita menolong orang tetapi tidak sesuai dengan apa yang dibutuhkannya, maka itu hanya akan menghancurkan penilaian orang terhadap kita. Selain itu, menolong orang juga berarti ikut campu terhadap urusan orang lain. Kita akan menjadi pribadi yang menganggap orang lain lemah menghadapi kesulitanya.
- Argumen Ayn Rand. Menurut argument ini jika kita ingin menolong orang lain maka kita akan mengorbankan kepentingan kita demi kepentingan orang lain. Hal itu akan mengakibatkan kesulitan bagi diri sendiri
- Argumen egoisme etis dianggap cocok dengan moralitas akal sehat. Dalam pernyataan ini dijelaskan bahwa kita berbuat baik untuk orang lain agar orang lain berbuat baik untuk kita. Menurut akal sehat itu benar. Karena jika kita berbuat baik untuk orang lain, maka orang lain akan merasa berhutang budi dan berusaha membalas kebaikan kita lagi.
Selain yang mendukung,
ada argument yang menentang egoisme
etis, yaitu:
- Argumen bahwa egoisme etis tiidak dapat memecahkan konflik kepentingan. Dalam buku The Moral of View (1958), Kurt Baier berpendapat bahwa egoisme etis tidak dapat dibenarkan karena tidak memberikan pemecahan mengenai konflik-konflik kepentingan. Kita memerlukan aturan moral karena kepentingan kita saling bertentangan satu sama lain, namun egoisme etis tidak dapat memberikan jawaban untuk menyelasaikan konflik kepentingan. Egoisme etis hanya menyauruh setiap individu berusaha semaksimal mungkin untuk mencapai kepentingannya sehingga ia dapat memenangkan konflik.
- Argumen bahwa egoisme etis secara logis konsisten. Sejumlah filsuf Barat, termasuk Baier menyatakan perlawanan terhadap egoisme etis karena mereka menganggap bahwa egoisme etis secara logis tidak konsisten. Artinya,menurut mereka ajaran itu membawa kontradiksi logis. Sebuah teori tidak bisa dibenarkan jika berlawanan dengan dirinya sendiri. Sesorang pasti memiliki hati nurani untuk menolong, namun egoisme etis melarang orang untuk
menolong orang jika dia
tidak diuntungkan. Menghalangi seseorang untuk menjalankan kewajiban sebagai
makhluk sosial yaitu membantu sesamanya jelas keliru.
- Argumen bahwa egoisme etis sewenang-wenang dan tidak dapat diterima. Egoisme etis hamper sama dengan rasisme. Ajaran ini mengajarkan kita untuk mengutamakan kepentingan kelompok kita daripada kelompok lain, dan menganggap bahwa kelompok lain itu tidak berharga. Hal itu jelas keliru. Kita harus memperlakukan semua manusia sama, kecuali ada perbedaan yang memang dapat di toleransi.
Bab VII Persoalan Utilitarianisme
Banyak para filsuf
mengira bahwa gagasan mereka dapat mengubah masyarakat. Namun, harapan itu
seringkali hanya menjadi harapan kosong. Hal itu disebabkan karena karya para
filsuf yang ditulis dalam buku, hanya dibaca oleh bebrapa orang yang memiliki
pandangan yang sama dengan filsuf itu. Sementara orang lain yang berbeda
pandangan cenderung tidak terpengaruh, karena meyakini bahwa pandangan mereka
lebih benar.
Setelah masyarakat
mengalami kejeuhan terhadap nilai-nilai kehidupan lama, maka terjadilah
kekacauan kehidupan. Untuk menghindari kekacauan semakin parah, maka muncullah
revolusi dalam etika, dengan salah satu pendukungnya adalah Bentham. Menurut
Bentham moralitas tidak berhubungan dengan kelakuan baik kita yang dimaksudkan
untuk menuruti perintah Tuhan ataupun menuruti aturan moral lainnya. Moralitas
adalah upaya supaya hidup kita bahagia, tentram dan damai.
Bentham berpendapat ada satu moral
utama, yaitu prinsip utilitas. Prinsip ini berpendapat bahwa ketika kita dihadapkan
pada pilihan-pilihan hidup, kita harus memilih pilihan terbaik yang dapat
menyebabkan kebahagiaan dalam hidup. Bentham merupakan pemimpin dari kelompok
radikal yang bertujuan memperbarui hukum dan lembaga Inggris sesuai dengan
garis utilitarianisme. Bentham beruntung mempunyai murid seperti John Stuart
Mill yang dapat mengembangkan utilitarisme menjadi lebih elegan dan persuasive.
John Stuart Mill adalah seorang filsuf, ahli sejarah dan ekonomi. Mill
memperlihatkan gagasan yang amat sederhana mengenai moralitas yaitu tindakan
yang dapat memberikan kebaikan bagi diri sendiri dan orang lain.
Kaum utilitarianis
adalah para filsuf maupun pembaru social. Mereka berkeinginan agar ajaran mereka berbeda, tidak
hanya dalam pemikiran, melainkan juga dalam praktek. Untuk menguji implikasi
dari filsafat mereka, maka diujikan melalui dua isu yaitu euthanasia dan
perlakuan terhadap binatang. Eutanasia adalah pemebnaran terhadap kelakuan yang
melawan hukum asalkan akibatnya dapat meberikan kebahagiaan bagi korban. Misalnya
membunuh orang yang sudah sakit keras agar penderitaannya segera berakhir.
Menurut utilitalitas manusia dan binatang mempunyai kedudukan moral yang
berbeda. Binatang dianggap tidak memiliki kepentingan moral. Sehingga kita
bebas memperlakukan binatang sesuka kita asalkan hal itu menguntungkan kita
Argumentasi kaum
utilitas sangat sederhana. Kita harus menilai tindakan benar atau salah
tergantung pada apakah tindakan itu mendatangkan lebih banyak kebahagiaan atau
ketidakbahagiaan.Utilitarianisme menekankan bahwa komunikasi moral harus
diperluas meliputi makhluk-makhluk yang kepntingannya dipengaruhi oleh apa yang
manusia lakukan. Moralitas harus mengakui bahwa manusia hanyalah salah satu
makhluk yang tinggal di planet ini. Masih ada makhluk lain yang juga bertempat
tinggal dibumi. Oleh karena itu, moralitas harus mampu memberikan pengarahan
tingkah laku manusia agar tidak bertindak sewenang-wenang terhadap makhluk
lain.
Bab VIII Perdebatan tentang Utilitarianisme
Utilitarianisme klasik
yang dikemukakan oeh Bentham dan Mill, dapat diringkas kedalam tiga pernyataan,
yaitu: pertama, tindakan harus dinilai benar atau salah hanya demi
akibat-akibatnya. Artinya jika akibatnya baik maka tindakan itu dibenarkan,
namun jika akibatnya buruk, maka tindakan itu salah. Kedua, dalam mengukur
akibat-akibatnya, satu-satunya yang penting hanyalah jumlah kebahagiaan atau
ketidakbahagiaan yang dihasilkan. Jika jumlah kebahagiaan lebih besar
dibandingkan ketidakbahagiaan maka tindakan itu adalah benar. Ketiga, kesejahteraan
setiap orang dianggap sama pentingnya. Kebahagiaan dalam utilitarianisme
bukanlah kebahagiaan untuk diri sendiri, tetapi juga kebahagiaan untuk orang
lain. Utilitarianisme menuntut agar orang berperilaku baik, tidak pilih kasih
dan tidak pamrih kepada orang lain.
Walaupun
teori utilitarianisme memiliki daya tarik yang kaut bagi para filsuf
serta dapat diterima luas, namun
masih tetap ada yang menentangnya.. Argumen-argumen anti utilitarisme ini begitu
banyak jumlahnya dan dapat mempengaruhi orang lain untuk meninggalkannya.
Namun, kaum utilitarianisme klasik
menganggap bahwa argument pertentangan itu hanya memperlihatkan bahwa teori
utilitarianisme memerlukan perbaikan. Gagasan yang benar dari utilitarianisme
harus dipertahankan sementara yang kurang baik harus disusun lagi agar lebih
baik.
Argumen
pertentangan yang pertama adalah mengenai tujuan utilitarianisme yang hanya
mengejar kebahagiaan sebagai tujuan akhir. Sebagaiman dikatakan oleh Mill bahwa ajaran utilitarianis menjadikan
kebahagiaan sebagai sesuatu yang diinginkan dan untuk mencapainya dapat
dilakukan dengann berbagai cara. Gagasan bahwa kebahagiaan merupakan tujuan
terakhir dikenal dengan hedonisme. Hedonisme merupakan teori yang sudah
terkenal sejak zaman Yunani Kuno. Hedonisme salah memahami hakikat kebahagiaan.
Kebahagiaan bukanlah sesuatu yang dikenal sebagai yang baik dan dicari demi
dirinya, sementara yang lain dianggap sekedar sarana untukmenghasilkannya.
Sesugguhnya kebahagiaan merupakan respons yang kita punyai terhadap tercapainya
hal-hal yang kita kenal sebagai yang baik.
Gagasan
inti yang menjadi dasar teori utilitarianisme adalah bahwa
untuk menentukan apakah suatu tindakan bisa disebut benar , kita perlu
melihat apa yang akan terjadi sebagai akibat dari tindakan itu. Pertimbangan
itu meliputi keadilan, hak-hak dan alasan-alasan melihat ke belakang. Inilah
yang menjadi dasar kritikan utilitarianisme. Utilitarianisme membenarkan
tindakan yang melanggar hak seseorang asalkan memberikan kebahagiaan bagi orang
lain. Kelemahan pertimbangan utilitarianisme yang lain adalah hanya membatasi
diri pada apa yang akan terjadi di masa depan sebagai akibat tindakan kita.
Namun, tidak memperhatikan pertimbangan ke belakang. Contohnya, di masa lampau
seseorang melakukan kebaikan kepada anda, oleh karena itu anda memiliki alasan
untuk membantunya di masa sekarang.
Unsur
terakhir dari utilitarian adalah gagasan bahwa kita harus mengupayakan
kesejahteraan setiap orang secara sama penting. Utilitaritas akan menuntut kita
untuk menyerahkan sebagian besar materi kita untuk kepentingan orang lain,
bahkan membuat kita harus rela menderita demi kebahagiaan orang lain.Tidak
sesorang pun diantara kita yang berkeinginan memperlakukan semua orang secara
sama, karena hal itu akan membuat kita melepaskan hubungan-hubungan khusus
dengan teman dan
keluarga. Namun, utilitarianisme
kurang menghargai hubungan-hubungan pribadi kita yang akhirnya oleh para
kritikus dianggap sebagai kesalahan besar. Teori ini mengajak kita yang begitu berarti bagi kita. Walaupun
dikritik secara tajam, para penganut teori utilitarianisme memiliki
pembelaan-pembelaan terhadap kebenaran teori mereka.
Bab XI Adakah aturan-aturan Moral yang Absolut?
Aturan moral dapat kita
langgar apabila kita menganggapnya sebagai hal yang membahayakan. Namun, hal
itu sepertinya sulit untuk dilakukan. Salah satu dasarnya adalah aturan moral
adalah perintah Allah yang tidak bisa
dilanggar. Banyak “kewajiban” yang harus kita laksanakan agar keinginan untuk
hidup damai dan teratur dapat tercapai. Bentuk dari suatu kewajiban moral
bukanlah “jikalau anda menginginkan
sesuatu maka anda wajib melakukan sesuatu”, melainkam “anda wajib melakukan
ini-itu, titk.” Artinya kewajiban moral itu tidak mengenal toleransi walaupun
anda tidak ingin melakukannya.
Manusia
adalah pelaku moral yang huarus tunduk kepada hukum universal. Hukum universal
adalah hukum yang berlaku untuk semua orang tanpa kecuali. Contoh hukum
universal adalah aturan yang melarang untuk berbohong. Berbohong timbul karena
ada anggapan bahwa jika kita mengatakan kejujuran maka akan berakibat buruk.
Padahal, kebohongan akan berdampak lebih buruk jika keberanya sudah terungkap.
Daripada menduga-duga dampak dari kebohongan, lebih baik kita mengatakan yang
sejujurnya. Jujur akan membuat hati tenang.
Dalam
buku A Short History of Ethics
(1966), Alasdair Maclntyre menyatakan bahwa “bagi banyak orang yang belum
pernah mendengar filsafat, apalagi nama Kant, moralitas secara kasar merupakan
apa yang dikatakan Kant “ yaitu sebuah
sistem aturan yang harus diikuti karena wajib tanpa peduli pada apa yang
diinginkan atau dimaui seseorang. Moralitas itu tidak pandang bulu. Suka atau
tidak tetap harus dilakukan.
Bab X Kant dan Hormat pada Pribadi
Kant beranggapan bahwa
manusia menduduki wilayah ciptaan yang istimewa. Gagasan ini bukan hanya
diungkapkan oleh Kant saja, karena gagasan ini sudah dikenal sangat lama
sekali. Sejak zaman kuno, manusia menganggap dirinya sebagai
makhluk yang paling sempurna. Manusia
memiliki nilai intrinsik atau martabat yang membedakan manusia dengan makhluk
lain. Lain halnya dengan binatang. Binatang hanya memiliki nilai jika berguna
bagi manusia. Sebagai makhluk yang memiliki martabat, kita tidak boleh
dijadikan alat untuk mencapai tujuan. Misalnya memanfaatkan anak kecil untuk
mengamen agar mendapat uang. Moralitas dapat dirumuskan untuk membedakan tugas
dan kewajiban sebagai pelaku moral yang disebut imperatif kategoris.
Ada
dua fakta penting menyangkut pendapat Kant tentang manusia, yaitu: pertama
manusia memiliki keinginan dan tujuan. Keinginan dan tujuan ini membuat manusia
mempunyai nilai dalam membuat rencana agar dapat mencapai keinginan dan
tujuannya. Misalnya jika anda ingin pandai dalam bermain catur, maka buku
tentang catur merupakan nilai yang harus anda pelajari dan kuasai agar dapat
mencapai tujuan. Kedua yaitu manusia mempunyai martabat karena manusia
merupakan pelaku rasional. Pelaku rasional adalah pelaku-pelaku bebas yang
mampu mengambil keputusan untuk diri merka sendiri, menempatkan tujuan-tujuan mereka
sendiri dan menuntun perilaku mereka dengan akal budi..
Jeremy
bentham, teoritikus besar Utilitarianisme mengatakan bahwa semua hukuman
merupakan kekeiruan . kaum utilitarian tidak setuju dengan adanya hukuman
karena hukuman dapat menimbulkan kesengsaraan bagi orang yang dihukum.
Pemberian hukuman dimaksudkan agar seseorang mendapatkan balasan yang setimpal
dengan perbuatannya. Jika seseorang mencederai orang lain, maka keadilan
menuntut agar ia juga dicederai. Pandangan ini dikenal dengan istilah “retributivisme”.
Retributivisme ditentang
karena hukuman hanya akan membawa ketidakbahagiaan pada pelaku. Hal itu
berlawanan dengan tujuan moralitas yaitu menciptakan kebahagiaan. Hukuman hanya
dapat dibenarkan jika dapat mengatasi kejahatan. Namun pada kenyataannya
hukuman tidak dapat meminimalisir orang untuk melakukan kejahatan.
Praktek
hukuman pada kenyataannya memang memiliki dampak yang baik bagi masyarakat. Ada
dua praktek penghukuman bagi para pelanggar yang memberikan keuntungkan bagi
masyarakat. Pertama, hukuman bagi kriminal itu menolong masyarakat untuk
mencegah kejahatan, atau paling tidak dapat mengurangi taraf kegiatan kriminal
di mayarakat. Hukuman dapat digunakan
untuk menakut-
nakuti seseorang yang hendak
melakukan kejahat Kedua, sistem penghukuman yang direncanakan dengan baik
kiranya dapat mempunyai efek untuk merehabilitasi pelaku kejahatan. Hasil logis
dari cara berpikir ini adalah kita harus meninggalkan paham hukuman dan
menggantinya dengan perlakuan yang lebih manusiawi. Jika hukuman dianggap
merusak kebahagiaan seseorang, maka rehabilitasi menjadi solusinya. Di rehabilitasi pelaku kejahatan tidak akan
disiksa, justru mendapat bimbingan agar menjadi orang yang lebih baik.
Namun,
seperti hanlnya ajaran lainnya, utilitarisme juga mendapat pertentangan.
Program rehabilitasi yang dirancang untuk menggantikan hukuman, dalam
kenyataannya tidak selalu berhasil. Selain itu, rehabilitasi dinilai kurang
memberikan efek jera pada pelaku kejahatan karena tidak sebanding dengan
kejahatan yang telah dilakukannya. Rehabilitasi juga membuat kita melanggar hak
asasi, karena dalam rehabilitasi seseorang dipaksa menjadi pribadi baru yang
mungkun bertentangan dengan jati dirinya.
Jadi,
Kant tidak sependapat dengan pembenaran kaum utilitaris terhadap prinsip. Pertama, orang harus dihukum hanya
karena mereka melakukan kejahatan, dan
tidak karena alasan lain. Hukuman adalah konsekuensi yang harus ditanggung
karena melawan hukum. Kedua, pentinglah menghukum penjahat secara setimpal ( proportionality) sesuai dengan beratnya
hukuman. Tidak adil jika memberikan hukuman sedikit untuk kejahatan yang berat,
begitupun sebaliknya.
Menurut
Kant kita harus memperlakukan manusia sebagai makhluk yang rasional, yaitu
dapat membedakan hal yang baik da buruk. Selain itu juga dapat bertanggung
jawab terhadap perbuatan yang dilakukannya. Jika kita membiarkan seseorang yang
bersalah tidak dihukum, maka kita tidak memperlakukannya sebagai makhluk yang
rasional.
Bab XI Gagasan tentang
Kontrak Sosial
Thomas Hobbes adalah
seorang filsuf Inggris yang menyatakan bahwa moralitas itu diperlukan untuk
mencapai keteraturan di dalam kehidupan. Tanpa aturan, masyarakat akan saling
curiga, tidak tentram dan menganggap satu sama lain sebagai musuh karena
merupakan saingan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Sebelum terciptanya aturan
moral, masyarakat hidup dalam kekacauan dan penuh
dengan konflik. Dalam situasi
tersebut, kita hidup bebas tanpa aturan
dan dapat melakukan apapun yang kita sukai. Hobbes menyebut hal ini dengan
keadaan alami (the state of nature)
Hobbes
menunjukan bahwa keadaan alami itu tidak menyenangkan. Hal itu berdasarkan
beberapa fakta yang mendukung yaitu:
- Manusia sama-sama memiliki kebuthan dasar. Kebutuhan dasar manusia pada umumnya sama yaitu sandang, pangan, dan papan.
- Kehidupan ini penuh dengan kekurangan Hidup di dunia ini bukan seperti hidup di surga yang semuanya serba tersedia. Kita harus bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan kita yang bahkan masih kekurangan.
- Jika barang-barang pokok tidak mencukupi, maka kita harus bersaing untuk mendapatkannya. Disinilah yang kuat berkuasa, orang lemah tidak akan mendapatkan apa-apa.
- Altruisme terbatas yang dimiliki setiap orang. Dalam keadaan alami, orang hanya mementingkan kepentingan dan kebahagiaannya sendiri tanpa mempedulikan orang lain.
Karena keadaan alami
sangat tidak menyenangkan, maka masyarakat setuju untuk mengikatkan diri pada
aturan-aturan yang diatur oleh Negara. Inilah yang disebut kontrak sosial ( the social contract). Aturan Negara
digunakan untuk mengatur kepentingan masyarkat agar tercipta keteraturan
sosial.Hasil dari teori kontrak sosial adalah bahwa kita mempunyai kewajiban
untuk menaati hukum. Apapun aturan yang telah dibuat oleh Negara harus ditaati
demi kesejahteraan bersama.
Bab XII Feminisme dan Etika Kepedulian
Selama ini berkembang
anggapan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki derajat yang berbeda. Laki-laki
seringkali dianggap lebih tinggi kedudukannya daripada perempuan. Permpuan
hanya dianggap kaum lemah yang tidak berdaya. Dengan latar belakang ini,
pengembangan gerakan perempuan antar tahun 1960 dan 1970an menolak pandangan
yang membedakan laki-laki dan perempuan. Konsep tentang laki-laki sebagai
makhluk yang berpikir secara rasional sedangkan permepuan sebagai makhluk yang
emosional ditolak dan dianggap sebagai stereotip belaka.
Kalupun perempuan dan
laki-laki memang berbeda, perbedaanya tentu tidak terlalu besar, tidak sampai
menimbulkan perbedaan derajat. Karena pada dasarnya setiap manusia diciptakan
sama. Perbedaan nya mungkin terlihat dari sifat. Perempuan memiliki sifat yang
lembut, anggun, perhatian dan kepedulian yang tinggi. Sedangkan laki-laki
diidentikan dengan sikap yang tegas, kuat, tegar dan sosok yang mampu
melindungi.
Bab XIII Etika
Keutamaan
Pada abad pertengahan
karena pemikiran moral masih melekat dengan agama, maka para filsuf
mendiskusikan mengenai nilai-nilai kebaikan moral yang masih bergantung pada
iman, harapan, cinta dan tentu saja ketaatan kepada Tuhan. Sesudah Renaissans,
filsafat moral mulai menggantikan ajaran moral yang semula melekat dengan agama
menjadi ajaran moral yang berasal dari akal budi manusia. Tugas kita sebagai
pelaku moral adalah melaksanakan aturan tersebut sebagai kewajiban semata,
bukan karena keutamaan sebagai insan moral. Beberapa ajaran moral itu:
- Setiap orang harus melakukan apapun yang paling mendukung kepentingannya sendiri (etika egoisme)
- Kita harus melakukan apapun yang paling mendukung kebahagiaan untuk banyak orang ( utilitarianisme)
- Kewajiban kita adalah mengikuti aturan-aturan yang dapat dijadikan hukum-hukum universal secara konsisten, artinya aturan-aturan yang kita inginkan untuk ditaati oleh semua orang dalam situasi apapun (teori Kant)
- Hal yang benar untuk dilakukan adalah mengikuti aturan-aturan yang dapat disetujui oleh orang yang rasional dan mempunyai kepentingan diri untuk menetapkan keuntungan timbale balik (teori kontrak sosial)
Akhir-akhir ini para
filsuf beranggapan bahwa telah terjadi kebobrokan moral, seperti gaya hidup
bebas, kriminalitas, perzinahan dan permaslahan moral lain semakin
memprihatinkan. Oleh karena itu, kita harus kembali ke jalan pikiran
Aristoteles yang menyangkut teori keutamaan. Aristoteles menyatakan keutamaan
adalah sifat karakter yang tampak dalam tindakan baik yang sudah menjadi kebiasaan.
Misalnya karakter jujur, hanya akan disebut karakter apabila seseorang itu
memang senantiasa berkata jujur bukan hanya kadang-kadang.
Ada banyak sifa-sifat
keutamaan yang harus dimiliki manusia, namun ada empat sifat terpenting yang
harus ada, yaitu berani, murah hati, jujur dan setia kepada keluarga dan
teman-teman. Keberanian merupakan hal yang baik karena kehidupan itu penuh
dengan bahaya dan tanpa keberanian kita tidak akan dapat menghadapinya.
Kemurahan hati diinginkan karena ada sejumlah orang yang memang berada dalam
keadaan yang lebih buruk daripada yang lain dan mereka membutuhkan pertolongan.
Kejujuran diperlukan karena tanpa itu hubungan antara manusia akan keliru
dengan berbagai cara. Kesetiaan merupakan hal yang hakiki dalam persahabatan,
teman lain, bahkan ketika mereka tergoda untuk meninggalkan.
Sifat-sifat
keutamaan berharga karena memiliki niali dan kegunaan tersendiri. Sifat
keutamaan akan membawa dampak positif bagi pribadi yang memilikinya. Setiap
orang memiliki ukuran sifat keutamaan yang berbeda-beda, tergantung kepada
kepribadian, peran sosial dan lingkungannya. Sikap-sikap keutamaan yang terus
dipelihara dan dikembangkan akan menghasilkan kekuatan moral. Kekuatan moral
adalah kekuatan pribadi seseorang yang mantap dan kesanggupannya untuk
bertindak sesuai dengan apa yang diyakininya sebagai tindakan yang benar.
Bab XIV Teori Moral yang Memadai
Permasalahan-permasalahan
moral yang ada telah mengundang para filsuf untuk menemukan teori-teori yang
dapat menyelesaikan permasalahan yang ada. Banyak teori moral yang menarik dan
ada pula yang membuat bingung pembaca. Teori-teori itu diciptakan tidak
asal-asalan, tetapi melalui proses pemikiran para filsuf yang genius. Namun,
teori-teori yang ada tidak selalu memiliki pembahasan yang sama dan bahkan
saling bertentangan satu sama lain. Bahkan seringkali terjadi saling
mengkritiki antara teori yang satu dengan yang lain. Lantas, manakah teori
moral yang paling benar? Tentu saja merupakan hal yang membingungkan.
Kita adalah makhluk yang
dibekali oleh kemampuan berpikir secara rasional. Dalam mengambil keputusan dan
tindakan harus mempertimbangkan akibat-akibat yang akan muncul. Setelah
mempelajari berbagai macam teori moral yang ada kita dapat menari kesimpulan
bahwa masing-masing teori memiliki kelebihan dan kekurangan satu sama lain.
Kita jadikan kelebihan setiap teori sebagai pegangan dalam bertingkah laku.
Namun, kekurangan dari teori-teori yang ada jangan kita tiru.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
1. Filsafat moral adalah upaya untuk
mensistematiskan pengetahuan mengenai moralitas. Moralitas adalah aturan
mengenai bagaimana seharusnya kita hidup
2. Relativisme kultural adalah teori
moral yang menyatakan bahwa aturan moral disetiap kebudayaan itu berbeda-beda
3. Subjektivisme etis adalah penilai
tentang baik atau buruknya suatu perbuatan berdasarkan perasaan pribadi tanpa dibuktikan
dengan fakta
4. Moralitas tidak bergantung pada
agama. Moralitas tergantung kepada akal pikiran bukan iman keagamaan
5. Egoisme psikologis menekankan bahwa
kebaikan yang kita lakukan sebenarnya didasarkan pada motif ingin diperlakukan
baik juga oleh orang lain
6. Egoisme etis menyatakan bahwa kita
tidak perlu peduli dengan kepetingan orang lain
7. Utilitarianisme menekankan bahwa
tujuan hidup manusia adalah untuk mencapai kebahagiaan
8. Manusia adalah makhluk yang rasional
sehingga dapat membedakan baik atau buruknya suatu tindakan
9. Kontrak sosial dilakukan agar
tercipta aturan yang dapat menjamin keteraturan di masyarakat
10. Teori keutamaan adalah sifat positif
yang menjadi karakter seseorang karena telah terbiasa bersikap sepeti itu
4.2
Saran
Sebagai
pelaku kita harus dapat membedakan mana perilaku yang baik dan mana perilaku
yang buruk. Jangan sampai kita terjebak dengan pergaulan yang memberikan
pengaruh buruk. Kita harus mulai
memperhatikan kembali aturan nilai, norma, dan moral dalam kehidupan
sehari-hari. Hal itu dilakukan agar kita memiliki filter dalam diri untuk
menyaring kebudayaan yang sesuai dengan jati diri bangsa kita.
DAFTAR PUSTAKA
Magnis, Frans. 2010. Etika Dasar. Yogyakarta: Kanisius
Rachel, James. 2013. Filsafat Moral. Yogyakarta: Kanisus
Komentar
Posting Komentar