Keriuhan
usai libur kuliah yang panjang tiba-tiba menyergap kelas pagi ini. Kabar adanya
asisten dosen baru yang memiliki fisik lumayan menarik, langsung menyedot
perhatian para mahasiswa. Mata kuliah yang sempat dianggap akan menjenuhkan
seolah langsung berubah menjadi mata kuliah yang paling dinantikan. Namun,
entah mengapa, aku tidak tertarik sama sekali. Bukan tanpa alasan, nama dosen
itu mengingatkanku pada seseorang yang ingin sekali ku lupakan. Rendi Reynaldi S.Pd,
nama itu begitu mirip dengan dia. Ah... semoga memang hanya sekedar sama nama
saja.
“Rika....!!!” ngelamun aja neng,
nanti kesambet!” seru Dani mengagetkanku.
“Hoam... ngantuk Dan, bukan
ngelamun.”
“Waduh... kamu ini ya, kapan ga
pernah ngantuknya sih?! Ini masih jam kuliah pertama.”
“Hehe...”
“Malah ketawa lagi! Ah, tapi nanti
kan ada dosen ganteng. Kamu ga bakal ngantuk. Cuci mata gitu. Haha... “
“Ah biasa aja. Ga tertarik.” Ucapku datar.
“Bohong.. bohong. Sekarang aja
bilang ga tertarik, nanti pas udah datang pasti langsung terpana. Harus
hati-hati Dan, nanti Rika nya berpaling ke lain hati.” Seru Gina yang tiba-tiba
datang.
Aku dan Dani hanya saling menatap
mendengar ucapan Gina. Ada pancaran mata berbeda dari Dani. Namun, aku tidak
mau salah mengartikannya. Kita memang dekat, namun hanya sebatas sahabat. Meski
ku akui, terkadang timbul perasaan-perasaan aneh yang tidak pernah ku rasakan
jika bersama sahabat-sahabatku yang lain.
Tiba-tiba terdengar derap langkah
yang langsung disambut histeris oleh para mahasiswi di luar kelas. Mereka
langung berebut untuk segera masuk ke kelas demi mendapatkan kursi terdepan.
Aku secara refleks langsung menjatuhkan pulpen yang ku pegang. Aku tidak
percaya dengan apa yang ku lihat. Asisten dosen itu....
Kenangan masa lalu tiba-tiba
berputar di kepalaku. Menampilkan slide-slide yang sudah lama ku pendam namun
kini mencuat kembali. Kenangan yang membuatku menatap orang yang harusnya ku
hormati dengan tatapan kebencian. Berbeda dengan teman-temanku yang tampak
terpesona dengannya, aku muak melihatnya meski hanya beberapa detik saja.
Seandainya aku tahu dia adalah asisten dosen yang akan mengampu mata kuliah
ini, aku akan berpikir ribuan kali lagi untuk mengontraknya.
“Assalamua’alaikum teman-teman semua...”
“Waalaikumsalam pak...”
“Sebelum
kita memulai perkuliahan di pagi hari ini, izinkan saya untuk memperkenalkan
diri terlebih dahulu. Nama saya Randi Reynaldi yang kebetulan diamanahi oleh Pak Burhan untuk menjadi
asisten dosen beliau. Saya masih menempuh studi di S2. Jadi, karena kemungkinan
umur kita tidak jauh berbeda, semoga kalian tidak sungkan untuk bertanya atau
meminta bantuan terkait masalah pelajaran. Semoga kita bisa bekerjasama dengan
baik.”
“Wah... dia bener-bener keren Rik...”
ucap Gina dengan mata berbinar-binar
“Keren apanya.” Ucapku sebal
“Kenapa Rik? Kok kaya yang ga suka
gitu ke Pa Rendi?” tanya Dani
“Hah? Eh.. engga apa-apa kok Dan.” Ucap
ku tanpa melirik ke arahnya
Sepanjang kuliah berlangsung,
konsentrasiku entah kemana. Tidak ada satupun materi yang masuk ke otakku.
Bahkan sekedar mampir pun tidak ada sama sekali. Sudah tidak terhitung Pa Rendi
menegurku, namun ku anggap hanya angin lalu. Aku hanya ingin segera keluar dari
tempat ini.
“Kamu kenapa sih Rik?” Tanya Dani
usai jam kuliah.
“Ga kenapa-kenapa Dan. Emang tadi
aku kenapa?”
“Kamu ga konsetrasi banget. Lebih parah
daripada waktu kamu ngantuk. Udah ga kehitung Pa Rendi negur kamu.”
“Dosennya aja yang berlebihan Dan.”
“Kamu yang aneh Rik.”
“Udah ah Dan, jangan ngebahas itu.
BT tau. Aku pergi duluan ya.”
“Mau kemana?”
“ga tahu.” Ucapku
berlalu begitu saja.
Namun
langkahku terhenti ketika Dani memegang tanganku. Itu pertama kalinya setelah
kita bersahabat selama 2 tahun terkahir ini. Perasaan aneh itu semakin
menyergapku. Amarah yang sempat membara seolah terpadamkan oleh sentuhan lembut
Dani.
“Aku tau ada
hal yang kamu sembunyiin. Aku kenal kamu udah lama Rik. Kalo kamu ga mau cerita
sekarang, izinin aku buat nemenin kamu ngilangin rasa BT itu.”
“eh.. ga
papa kok aku sendiri aja.”
“Udah ah
ayo, aku temenin. Aku juga lagi BT ngeliatin orang dari tadi manyun mulu waktu
belajar.”
“Sebentar..
orang yang kamu maksud itu... aku?!”
“Haha... ia
syukur kalo ngerasa.”
“Dani...!!!”
ucapku sambil mengejar Dani yang sudah melarikan diri.
Dani memang
istimewa. Selalu ada tawa canda jika aku bersamanya. Sentuhan tangan tadi sejujurnya
sangat membahagiakan ku. Perasaan aneh itu kembali merekah di hatiku. Namun,
harus segera ku tepis. Aku tidak pantas untuknya. Dia terlalu baik untukku.
Pertemuan kedua saat kuliah Pa
Rendi, ada hal yang sangat mengejutkan seisi kelas. Pa Rendi menyebarkan
undangan pertunangannya untuk semua mahasiswa. Desian undangan manis
bertulisakan nama Pa Rendi dan pasangannya, membuatku begitu sakit melihatnya.
Pagi yang cerah seakan berubah mendung di mataku. Aku mencoba untuk
menyembunyikan air mata yang ingin segera keluar. Ku coba untuk tersenyum
seakan semua baik-baik saja, meski perasaannku terasa begitu getir
Usai jam kuliah, aku segera pergi keluar kelas. Tidak ku peduliakn teriakan Dani yang memanggilku. Aku berlari menuju taman untuk melampiaskan kesedihanku. Aku hanya ingin sendiri meredakan semua gejolak ini.
Usai jam kuliah, aku segera pergi keluar kelas. Tidak ku peduliakn teriakan Dani yang memanggilku. Aku berlari menuju taman untuk melampiaskan kesedihanku. Aku hanya ingin sendiri meredakan semua gejolak ini.
"Kita perlu bicara."
Aku segera menghapus air mataku. Ku
kuatkan diri untuk berbalik.
"Ga perlu. Aku ga terlalu bodoh
buat memahaminya sendiri."
"Aku minta maaf atas semua kebohongan
yang aku buat ketika kita pacaran dulu. Aku pura-pura hidup ga karuan hanya
untuk nguji cinta kamu."
"Nguji cinta aku?! kamu ga tahu akibat dari kebohongan
itu?! aku harus ikut gaya hidup yang ga karuan, ngelakuin semua permintaan kamu
sampai aku ikut-ikutan hancur! Aku emang bodoh terlalu cinta sama kamu! Sampai
aku ga bisa berpikir jernih lagi!”
"Rika... maafin aku..."
"Kalo bukan karena
teman-temanku yang udah nyadari aku, aku mungkin bakal lebih hancur lagi! Aku
mutusin hubungan kita berharap kamu sadar! Tapi apa?! Kamu malah pergi entah
kemana! Sekarang kamu seenaknya muncul lagi!”
“Rika... setelah kamu mutusin
hubungan kita, aku bener-bener kehilangan kamu. Itu yang ngebuat aku pergi dan
berusaha untuk memperbaiki hidupku lagi. Kamu yang bikin aku sadar untuk
kembali menjadi aku yang dulu. Sampai aku bisa ngejar ketertinggalan aku dan
bisa jadi seperti sekarang.”
“Lalu
ini apa?!” Ucapku sambil melempar undangan pertunangan.
“Itu
semua diluar kendali ku Rika... Dia orang yang lebih dulu hadir di hatiku
sebelum kamu. Maaf... Rika.. maaf.. Aku memilih dia karena kamu yang udah nutup
diri dan semakin menjauh dari aku. Kamu boleh marah sepuas kamu Rika.”
“Dulu...
ada ribuan pertanyaan yang ingin aku tanyain ke kamu. Ada ribuan caci maki yang
ingin aku keluarin ke kamu. Kenapa kamu tega ngelakuin semua itu ke aku?!
Kenapa kamu tega ngajarin hal yang ga bener ke aku?! Kenapa kamu tega ngebuat
aku seperti sampah yang udah ga berharga?! Kenapa... Kenapa... kenapa...”
hiks.. aku tidak kuasa untuk menahan tangisku kembali.
“Rika....”
“Tapi
sekarang... aku Cuma mau ngucapin beberapa kata untuk kamu. Terima kasih Pa Rendi atas
semua yang udah Pa Rendi lakuin. Kesalahan di masa laluku mungkin akan terus
membayangi. Tapi itu menjadi pelajaran berharga agar aku tidak terjebak dengan
cinta lagi. Terakhir, selamat berbahagia dengan tunangan anda. Pasti dia orang
yang begitu luar biasa, sampai Pa Rendi bisa berubah menjadi seperti sekarang.
Maaf juga atas sikap saya yang kurang berkenan.”
“Rika...
aku yang salah.”
“Tidak,
bapa ga salah. Aku yang terlalu bodoh. Lupain aja tentang apa yang terjadi di
masa lalu kita. Saya pergi duluan ya Pa.”
Aku
segera berlari meninggalkan Pa Rendi yang hanya berdiri mematung. Semua
perasaan yang selama ini terpendam sudah ku luapkan. Amarah sekaligus rasa terima
kasih untuk dia yang telah mengajariku banyak hal berharga.
Hari
pertunangan Pa Rendi pun tiba. Aku mencoba untuk menguatkan diri tetap
tersenyum di hari bahagianya.
“Kalo
kamu ga kuat, kenapa maksain diri buat dateng kesini?” tanya Dani yang
membuatku heran.”
“Maksud
kamu?”
“Pulang
bareng aku ya, ada sesuatu yang pengen aku omongin.” Ucap Dani yang langsung
menarik tanganku keluar ruangan.
“Tunggu
Dan, kita kan baru sebentar disani.”
Dani
tidak mendengarkan kata-kataku. Ia mengajakku untuk segera naik ke motornya.
Aku tidak tahu ia akan membawaku kemana.
“Kamu
ingat tempat ini Rika?” tanyanya setelah tiba di taman kampus.
“Kamu
ngaco Dan. Ya aku inget lah. Ini taman kampus kita. Gimana aku ga inget.”
“Ini
bukan hanya sekedar taman buat aku. Di taman ini, aku pertama kali ketemu
seseorang ketika ospek mahasiswa baru dulu. Seseorang yang ga pernah ku sangka
bisa sedekat ini sampai sekarang. Seseorang yang selalu ngebuat aku ingin
ngelindunginya, ngebuatnya tetap tersenyum dan jadi orang yang selalu bisa dia
andelin.”
“siapa
dia Dan?”
“Tapi...
aku ngerasa gagal buat ngelakuin semua itu Rik, saat dia sedih, bukan aku yang
bisa ngembaliin senyumnya. Saat dia bilang semua baik-baik aja, tapi ada orang
lain yang bisa bikin dia ngeluapin perasaan dia yang sebenernya. Sampai
akhirnya ngebuat aku ga bisa nahan diri untuk bertanya, seberapa penting aku
buat dia.”
“Dani...”
“Jadi...
Rika, seberapa penting aku buat kamu? Kenapa kamu nyembunyiin hal itu dari aku?
Kenapa kamu ga mau berbagi kesedihan kamu? Sakit ngeliat kamu nahan semuanya
sendiri.”
“Dani...
kamu udah tahu semuanya?”
“Maaf,
aku ngedenger perbincangan kamu dengan Pa Rendi di taman ini.”
“Jadi...
kamu...”
“Ya..
sekarang aku udah tahu masa lalu kamu. Sekali lagi aku nanya Rika, seberapa
penting aku buat kamu? Seberapa penting aku buat orang yang paling aku sayang?”
ujar Dani dengan mata yang sedikit berkaca-kaca.
“Kamu....
kamu..terlalu penting buat aku Dan. Aku ga mau kamu tahu... seberapa kotornya
aku. Sekarang , kamu udah tahu semuanya. Hiks.. hiks.. Kamu pasti ga akan mau
kenal sama aku lagi. Aku Cuma orang yang mudah dibohongin dan dimanfaatin hanya
karena cinta.” Ucapku sambil terisak.
Tiba-tiba
tangan halus Dani menghapus air mataku. Hal itu justru membuatku semakin
terisak.
“Nangis
aja sepuas kamu, karena aku janji akan menghapus tangisan itu menjadi
kebahagiaan. Rika... setiap orang punya masa lalu yang kelam. Tapi ga semua orang
bisa ngubah masa kelam itu menjadi lebih indah seperti yang kamu lakuin. Kalo
Pa Rendi bisa ngeganti posisi kamu dengan orang lain, maukah kamu ngeganti
posisi Pa Rendi di hati kamu dengan aku?”
“Dani...
Hiks... kamu terlalu baik buat orang seperti aku....”
“Ssst... jangan terus menghakimi diri kamu kaya gitu.
Aku ga peduli dengan masa lalu kamu, karena yang aku kenal adalah Rika yang
sekarang. Aku juga punya banyak kesalahan, dan aku mau belajar bersama kamu
untuk memperbaikinya dalam ikatan suci pernikahan.”
“Hah?
Kamu ga salah Dan? Kamu jangan secepat itu menentukan pilihan.”
“Aku
ga salah Rika. Kamu mau kan nunggu aku setahun lagi? Saat kita udah sama-sama
lulus dari universitas ini.
“Aku...
aku ga bisa Dan.”
“Kenapa
Rik?”
“Aku
selalu ngebayangin momen ini Dan. Di bayangan ku aku selalu nolak kamu, karena
aku emang ga pantes buat kamu. Tapi setelah bayangan itu jadi kenyataan,
ternyata... aku ga bisa nolak kamu Dan.”
“Rika?
Jadi kamu mau?”
“I...iya
Dan?”
“Haha...
makasih banget Rika. Jadi, mulai sekarang, jangan pernah menatap masa lalu kamu
terlalu lama, karena udah ada aku di masa depan kamu.”
“Iya,
maksih juga Dani. Mulai sekarang , aku ga akan natap masa lalu itu terlalu lama
lagi.”
Dani
benar, setiap orang memang tidak selamanya memiliki masa lalu yang indah.
Begitupun dengan aku. Aku bersyukur Allah memberiku kesempatan untuk melukis
masa kelam ku menjadi lebih indah. Sesekali masa lalu memang harus ditatap
untuk menjadi pembelajaran. Namun, bukan untuk menatapnya terlalu lama. Karena
masa depan tetap menanti langkah perubahan.
Komentar
Posting Komentar