Semilir
angin seolah menyapa derap langkah para mahasiswa yang kembali menjejali
kampus. Libur panjang masih meninggalkan rasa enggan untuk kembali bergelut
dengan dunia mahasiswa. Namun apa daya, tidak ada istilah tawar menawar lagi
untuk memperpanjang masa liburan. Tahun ajaran baru sudah menanti untuk
dijalani. Semangat baru harus terus di kobarkan demi sebuah perubahan di
semester mendatang.
Dua orang sahabat sedang melepas
kerinduan setelah lama tak berjumpa. Berjabat tangan, mengobrol dan akhirnya
tertawa bersama. Pertemuan mereka jelas menggambarkan kebahagiaan karena akhirnya
dapat saling melepaskan kerinduan.
“Ga kerasa Dri, kita udah jadi kaka
tingkat sekarang. Yes! Punya ade baru, bro.” Ujar Indra kepada sahabatnya.
“Ia Ndra. Punya ade baru, atau...
kecengan baru Dra?” Haha
“Ah itu lo kali Dri. Saatnya move on
dong. Seorang Andri masih aja galau mikirin
dia mulu. Pasti nanti ada maru yang cocok.”
“Ah lagi ga pengen mikirin kaya
gituan Dra. Biarin mengalir kaya air aja.”
“Ia.. tapi kelamaan kaya gitu
bisa-bisa ikut hanyut sama air. Haha”
“Eh, ya jangan sampe kaya gitu juga,
Dra.”
Langkah mereka terhenti sejenak menatap
rombongan mahasiswa-mahasiswa baru yang sedang menjalani “masa perkenalan” di
kampus. Ada seulas senyum yang terkembang di sudut bibir Andri.
“Dulu kita seculun itu ya Ndra?”
“Haha... ia bro. Bahkan lebih parah.
Muka SMA nya itu masih jelas banget. Haha”
“Ga keras udah jadi kaka tingkat. Giliran
kita yang mengkader mereka dong ya, biar jadi anggota himpunan jurusan.”
“Ia bro. Gunain kesempatan itu
dengan sebaik-baiknya.”
“Harusnya sih gitu. Tapi lo kan tau
ilmu tentang organisasi gue masih dangkal bro. Belum banyak pengalaman.”
“Bukan itu maksud gue. Aduh lo emang
kurang peka banget. Maksudnya manfaatin buat PDKT juga sama maru.”
“Eh... pikiran lo kesana mulu Dra.”
Indra terus menghasut Andri untuk
memikirkan sarannya. Jika teman-teman sengkatan tidak ada yang bisa membuat
Andri move on, mungkin adik tingkat baru bisa membuat Andri luluh. Namun, Andri
hanya menganggap saran itu lelucon, karena ia memang belum berniat mencari
pengganti seseorang yang sempat singgah dan masih membekas di hatinya.
***
Tak terasa proses pengkaderan
jurusan sudah berjalan beberapa bulan. Sudah banyak kegiatan pengkaderan yang
akhirnya mampu mengakrabkan kaka tingkat dan adik tingkat. Tidak jarang,
kedekatan itu menimbulkan rasa lain selain rasa sayang antara junior dan
senior. Namun, sepertinya Andri masih belum tertular virus tersebut. Ia masih
profesional sebagai kaka tingkat yang hanya menganggap para mahasiswa baru itu
sebagai adik yang perlu dibina.
“Lo lagi smsan sama siapa Ndra?
Senyam senyum sendiri sama HP.”
“Haha... kenapa bro? Pengen ya kaya
gini lagi? Bisa senyum-senyum baca sms dari cewe.”
“Engga sih. Cuma aneh aja. Tumben lo
kaya gitu. Seneng banget kayanya.”
“Ia dong. Ini anak lucu banget
orangnya. Ga kuat tahan tawa kalo sama dia.”
“Cie.. udah dapet mangsa baru Dra?”
“Bukan Dra. Ah sayangnya gue lagi
deket sama seseorang sekarang. Jadi perasaan gue ke dia cuma sebagai adik aja.”
“Siapa sih orang yang lo maksud?”
“Tau ga maru yang namanya Anida?”
“Oh ia ia. Gue sering denger nama
itu. Katanya dia aktif banget di pengkaderan.”
“Nah... itu maru yang lagi smsan
sama gue. Siniin HP lo.”
“Buat apaan?”
“Ah udah pinjem aja. Ga akan
dirampok kok.”
Indra lalu menekan beberapa digit
angka dan mensave nya di HP Andri. Tertulis nama Anida disana.
“Ngapain masukin nomer dia segala?”
“Suatu saat mungkin lo butuh.
Haha... Udah coba aja kenalan sama dia. Anaknya asik kok. Seru diajak ngobrol,
tipe lo banget.”
“Saingannya berat bro. Gue denger
banyak kaka tingkat yang suka sama dia juga. Ah masa saingan sama senior bro?
Pasti kalah lah.”
“Coba dulu. Ngeyel banget jadi
anak.”
“Sejak kapan lo jadi bapa gue?”
“Andriii.... punya temen kaya gini
amat ya..”
“Haha... emang kita temen?”
“Lama-lama lo gue lempar pake
sepatu! Tau ah, terserah mau ngehubungin dia atau engga. Gue cuma bosen ngeliat
lo ga move on- move on.”
***
Andri hanya termenung di sudut kosan
menatap nama Anida di kontak Hpnya. Ia bimbang untuk mencoba menghubunginya
atau tidak. Lagipula ia tidak memiliki alasan untuk memulai pembicaraan.
“Arrggghtt!!! si Indra malah bikin
pusing aja. Ngapain harus ngehubungin dia segala. Ga punya alesannya. Emangnya
dia, gampang benget modus sama cewe.”
Gerutu Andri pada diri sendiri.
Beberapa hari kemudian, himpunan
mengadakan acara pengabdian kepada masyarakat di sebuah desa. Acara tersebut
merupakan acara tahunan yang bertujuan untuk mengamalkan tridarma perguruan
tinggi. Tanpa sengaja, untuk pertama kalinya Andri bertatap muka dengan Anida
secara personal. Ada kecanggungan yang masih kental diantara keduanya.
“Permisi ka,” ucap Anida ketika
melewati Andri.
“Oh iya de. Eh tunggu, kamu liat ka
Indra ga? Bentar lagi acara pembukaan mau mulai tapi dia nya ngilang.”
“Maaf kang, Nida ga liat. Nida
duluan ya, mesti nyimpen barang-barang dulu.”
Andri baru menyadari Anida membawa
cukup banyak barang bawaan. Tentu saja, sebagai laki-laki normal, ia tidak akan
tega melihat perempuan membawa barang-barang begitu banyak sendirian.
“Eh tunggu. Sini kaka bantuin. Ini
barang-barang apa aja? Kenapa kamu yang bawa sendiri?”
“Ini buat lomba besok kang. Temen-temen
yang lain masih pada sibuk di bagian acara masing-masing. Gapapa Nida aja yang
bawa.”
“Udah nyantei aja, kaka bantuin bawa
barangnya.”
Perbincangan terus berlanjut
sepanjang jalan menuju bascamp panitia.
Mereka tampak begitu akrab dengan selingan tawa yang mengiringi perjalanan.
Saat itulah Andri sadar, Anida memang anak yang asyik untuk diajak
berbincang-bincang dan selalu ada hal yang dapat mengundang tawa ketika
bersamanya. Pertemuan itu menjadi awal kedekatan mereka berdua.
***
Andri mulai memperhatikan tingkah
laku Anida dari kejauhan. Rasa kagum mulai tumbuh pada diri Andri kepada
adiknya itu. Ia ingin sekali lebih dekat dengan Anida, namun ia tak memiliki
alasan untuk itu. Sampai suatu ketika...
“Indra... lo dimana? Kita udah mau
pada pulang. Cepetan beresin barang-barang lo. Mau ditinggalin disini?” Andri
terus menggerutu dalam telepon kepada sahabatnya.
“Maaf ka, ini Anida bukan ka Indra.”
“Hah?” Andri kaget dan kembali
memeriksa kontak yang ia hubungi. Alangkah terkejutnya ia mengetahui salah
menekan kontak tujuan.
“Aduh de, maaf. Kaka lagi panik
nyariin ka Indra jadi buru-buru neleponnya. Tapi perasaan tadi manggil nomor ka
Indra.”
“Haha... ia gapapa kang. Ya udah
Anida mau beres-beresin barang lagi ya. Assalamualaikum.”
“Ia de, waalaikumsalam.”
“Ih Andri.... kenapa ampe salah
teken kontak sih? Nama Indra sama Anida itu kan jauh banget abjadnya???!!”
Andri mengumpat pada diri sendiri.
***
Tak disangka, insiden salah sambung
itu berlanjut dengan saling berkomunikasi satu sama lain. Berawal dari Nida
yang menanyakan buku referensi kuliah, Andri seolah memiliki alasan untuk
kembali berkomunikasi dengan Nida. Hubungan mereka terus berlanjut sampai
semakin dekat. Kecanggungan yang sempat terjadi diantara mereka berdua, kini
sudah semakin memudar. Bahkan, Andri sudah sering mengantar Anida pulang
kampung ketika perkuliahan libur di akhir pekan. Membuat hubungan pertemanan
yang terjalin seolah mulai melebihi batas kewajaran.
“Nida, sebenernya kaka malu
ngedeketin kamu kaya gini. Kaka denger banyak orang yang suka sama kamu.” Andri
membuka percakapan ketika mereka makan bersama pada suatu kesempatan.
“Ah biasa aja ka. Deket kan bukan
berarti ada apa-apa. Mereka belum ada yang nyatain perasaannya langusung. Jadi
aku masih bebas-bebas aja.”
“Oh gitu ya. Takut aja kalo
kedeketan kita bikin orang lain ga enak.”
“Engga ada ko ka. Santei aja.”
***
Andri memikirkan perbincangan ia
dengan Anida tadi sore. Haruskah ia memberanikan diri untuk mengungkapkan
perasaannya kepada Anida. Tapi, Andri merasa belum siap untuk mengatakannya
sekarang. Ia masih ingin mengenal Anida lebih dekat untuk mematapkan hatinya.
Kegalauan yang melanda Andri membuat
ia menjadi sering solat berjamaah di masjid. Ia ingin mencari ketenangan dulu
sebelum menentukan pilihan yang harus diambilnya. Suatu hari, ia bertemu dengan
seseorang yang wajahnya tidak asing dimatanya. Wanita berkerudung volkadot yang
menyapanya dengan senyuman. Sosoknya entah mengapa membuat Andri penasaran. Di
hari-hari berikutnya, Andri sering berjumpa dengannya kembali ketika dalam
perjalanan menuju mesjid. Seperti sebelumnya, senyuman wanita itu masih setiap
menyapa Andri ketika mereka bertemu.
“Ndra, lo tahu ga siapa nama dia?
Gue yakin dia mahasiswa jurusan kita. Tapi gue lupa namanya.” Tunjuk Andri pada
wanita yang sedang berjalan sendiri keluar dari masjid.
“Itu kan Rindi, Dri. Temennya
Anida.”
“Wah?? Kok gue ga tau ya.”
“Makanya kalo PDKT itu jangan
setengah-setengah. Kenalin juga temen-temenya. Gimana sih, ga profesional
banget.”
“Ah lo nyindir mulu. Ini kan lagi
usaha buat kenal sama temen-temennya juga.”
***
Semakin sering Andri bertemu dengan
Rindi di masjid, membuat ia akhirnya memberanikan diri untuk menyapanya ketika
dalam perjalanan pulang.
“Kamu Rindi temennya Anida kan?”
“Eh, ia ka. Kaka... ka Andri kan?”
“Ia. Kenapa ga pernah nyapa cuma
senyum doang kalo ketemu.”
“Hehe... ia maaf ka.”
“kamu lagi ada waktu ga? Kaka pengen
nanya tentang Anida ke kamu.”
“Oh ia boleh ka. Kaka lagi deket
sama dia kan? Anida udah sering cerita.”
“Haha.. ia boleh dibilang kaya
gitulah. Ya udah kita ke taman aja, biar enak ceritanya daripada di jalan kaya
gini.”
Andri kemudian menceritakan
kedekatan ia dengan Anida. Kebimbangan-kebimbangan yang ia rasakan juga tidak
luput dari bahan pembicaraan. Rindi mendengarkan semuanya dengan seksama.
Terkdang ia tertawa mendengar cerita kebahagiaan yang Andri sampaikan, namun
terkadang bisa berubah menjadi sendu ketika Andri menyampaikan
kegalauan-keagaluannya. Rindi memberikan solusi yang membuat hati Andri nyaman
mendengarnya.
Curhatan mereka tidak hanya berakhir
di hari itu. Andri sering menghubungi Rindi di hari-hari berikutnya.
Lama-kelamaan, bukan hanya Andri yang sering curhat tapi Rindi juga.
Curhatan-curhatan itu berubah menjadi rasa saling perhatian dan menyemangati
satu sama lain. Sampai akhirnya, muncullah sebuah perasaan aneh pada diri Andri
yang semakin membuat ia bimbang.
“Indra... jadi menurut lo gue
kenapa? Kenapa lebih nyaman hubungan sama Rindi daripada Anida?”
“kacau bro. Jangan-jangan lo jadi
suka sama Rindi?”
“Ga tau. Setau gue nyaman banget
kalo udah curhat-curhatan sama dia. Ada hal yang beda dalam diri dia yang ga
gue temuin di Anida.”
“Ga bisa gini bro. Mereka itu
sahabatan. Lo ga bisa milikin kedua-duanya. Harus ada yang lo pilih.”
“Nah... itu yang bikin gue pusing.
Gue harus pilih yang mana?”
“Mana gue tau. Itu hati kan punya
lo. Lo sendiri yang tau siapa yang lebih lo suka.”
***
Andri benar-benar dilanda
kebingungan. Ia dihadapkan pada pilihan yang begitu sulit. Kedua wanita itu
begitu baik dan memiliki kelebihan serta kekurangannya masing-masing. Namun....
hati Andri seolah lebih memihak kepada Rindi. Meski baru mengenalnya, ia begitu
nyaman ketika bersama Rindi daripada Anida. Hal itulah yang membuat ia sedikit
menghindari Anida untuk beberapa minggu.
Selama renggangnya hubungan dengan
Anida, Andri justru semakin dekat dengan Rindi. Sikap Rindi yang sedikit
kekanak-kanakan dan penuh keceriaan selalu membuat Andri nyaman bersamanya.
Bersama Rindi, Andri merasa lebih terbuka untuk menceritakan hal apapun yang ia
rasakan.
Namun, Andri sadar, ia harus segera
memilih salah satu diantara mereka. Hubungannya dengan Anida memang sudah
sangat dekat, namun... hatinya memiliki pilihan lain. Ada tempat yang lebih
khusus untuk Rindi disana. Sosok yang baru dikenalnya namun sudah mampu mencuri
tempat kosong dihatinya. Akhirnya, ia membulatkan tekad untuk mengikuti apa
yang dikatakan hatinya.
“Nida... kita bisa bicara besok ?”
tulis Andri dalam pesan singkat
“Ia ka”
Sesuai pertemuan yang telah
direncanakan, Andri akhirnya bertemu dengan Anida.
Andri
sudah mempersiapkan mental dengan kemungkinan terburuk yang akan ia terima.
“Maaf ya, kemarin-kemarin kaka ga
ngehubungin kamu. Kaka lagi sibuk sama tugas.”
“Ia gapapa ka. Tapi... apa bener
alasannya cuma karena tugas?”
“Emmm... ya sebenernya kaka mau
ngejelasin itu sekarang.”
“Kaka lagi deket sama Rindi kan?”
“Hah? Kenapa kamu...”
“Aku ga sengaja ngedenger curhatan
Rindi di kelas sama temen-temen yang lain. Aku juga ngeliat waktu kaka
nganterin dia ke kosannya. Jadi itu semua bener kan?”
“Ia, tapi kita cuma temen kok.”
“Lebih dari itu juga gapapa ka. Kaka
jangan ngerasa ga enak gara-gara aku. Lagian kita juga ga punya hubungan
apa-apa kok.”
“Anida...”
“Tapi kenapa baru sekarang kaka
ngomongnya? Kenapa harus ngasih harapan kosong ke aku buat beberapa saat? Aku
lebih sakit ngedenger tentang kalian dari orang lain.”
“Nida, maafin kaka. Kaka ga
bermaksud kaya gitu.”
“Ya udahlah ka. Jangan diperpanjang
lagi. Lanjutin aja hubungan kaka sama Rindi. Urusan kita kayanya udah selesai.
Ga ada yang perlu kaka jelasin lagi. Aku pamit sekarang.”
“Kaka anterin kamu ya.”
“Ga perlu ka, aku bisa pulang
sendiri. Tolong jangan hubungi aku lagi ka.”
“Anida tunggu. Kaka minta tolong
sama kamu. Apa yang udah terjadi diantara kita, tolong jangan sampai ngerusak
persahabatan kamu sama Rindi. Semua ini salah kaka.”
“Tenang aja. Persahabatan aku sama
Rindi terlalu berharga untuk hancur hanya karena seorang cowo.”
***
“Apa Ka? Aku ga salah denger? Kaka
bilang kaya gitu ke Anida? Aduh ka, aku jadi ga enak sama dia. Kesannya aku
yang ngeganggu hubungan kalian.”
“Bukan salah kamu Rindi. Hubungan
kaka sama Anida emang udah jauh. Ya... tapi mau gimana lagi. Kaka ga bisa
maksain hubungan itu semakin jauh, sementara hati kaka lebih nyaman sama kamu.”
“Tapi ka...”
“kaka tau kaka salah. Tapi cinta itu
hadir gitu aja dan bukan untuk
disalahkan. Itu anugerah dari Allah. Lebih baik nyakitin Anida sekarang
daripada ngebohongin dia lebih lama.”
“Apa Anida baik-baik aja?”
“Nida orang yang kuat Rin. Kamu
tenang aja, kejadian ini ga akan ngerusak persahabatan kalian. Dia yang bilang
kaya gitu.”
“Tetep aja aku ga enak ka. Kayanya
aku harus jelasin ke Anida, biar dia ga salah paham.”
“Percuma Rindi. Dia ga akan denger.
Eh, maksud kaka dia emang ngedengerin penjelasan kamu, tapi ga akan masuk ke
hati. Tenang aja, orang yang dia benci itu kaka, bukan kamu.”
***
Sejak itulah hubungan Andri dan
Anida menjadi sangat renggang. Tidak pernah ada seulas senyum atau sapaan lagi
dari Anida. Hal yang terpancar hanya sorot kebencian dimata Anida. Andri
mendapatkan senyum dan sapaan dari orang lain yang bisa mengobati rasa kehilangan
sahabat yang sudah begitu dekat dengannya. Orang itu tak lain dan tak bukan
adalah Rindi. Hubungan mereka masih sembunyi-sembunyi demi menjaga perasaan
Anida.
Andri seolah benar-benar menemukan
apa yang ia cari. Luka lamanya tak terasa lagi karena kehadiran Rindi. Bahkan
Andri seolah memiliki ikatan batin yang kuat dengan Rindi. Ia bisa tau apa yang
Rindi rasakan meski tak diucapkan. Begitu pun dengan Rindi. Ia merasa nyaman
dan dapat mengandalkan Andri. Meskipun kadang ia merasa tak enak kepada Anida,
ia juga tak bisa membohongi perasannya. Meski masih berstatus sebagai teman,
toh pada kenyataannya hubungan itu sudah lebih dari teman. Tapi, terkadang
memang cinta tak butuh status.
Bulan demi bulan berlalu. Suatu
hari, Andri akhirnya tahu bahwa ada orang lain yang menyukai Rindi. Secara tak
sengaja, Andri melihat Rindi sedang makan berdua dengan seseorang. Mereka
terlihat begitu akrab. Hal itu membuat Andri merasa kepanasan melihatnya.
***
“Tadi siang kamu makan sama siapa?”
tanya Andri ketika bertemu Rindi usai jam kuliah.
“Sama Riki ka. Tapi kita cuma temen ka. ”
“Emm... oh temen ko akrab gitu ya?”
“Jangan salah paham gitu ka, dia
emang cuma temen aja.”
“Rindi.... kita emang ga pacaran,
tapi kamu tau kan gimana perasaan kaka ke kamu. Kaka udah ngorbanin Anida cuma
buat kamu. Setidaknya kamu ngerti.”
“Maaf ka... aku bakal lebih ngejaga
perasaan kaka.”
“Ya udah gapapa.”
***
Semenjak peristiwa itu, hubungan
anatara Andri dan Rindi menjadi renggang. Sebenarnya, Andri sengaja melakukan
itu. Ia sedang menyusun startegi untuk memberikan kejutan kepada Rindi di hari
ulang tahunnya yang masih sebulan lagi. Ia ingin Rindi merasa kehilangan
dirinya sampai akhirnya menyadari betapa berartinya dia untuknya. Jadi, ketika surprise itu ia berikan, Rindi akan
merasa sangat bahagia dan hubungan mereka bisa kembali membaik seperti dulu.
Namun, Rindi tak tau menau tentang
rencana Andri itu. Ia merasa sedih dan kehilangan karena hubungannya menjadi
renggang. Tidak ada sms, telepon, bahkan sekedar sapaan dari Andri ketika
bertemu. Rindi mengira Andri benar-benar membencinya. Sampai suatu ketika,
beberapa hari menjelang ulang tahunnya, Andri pergi ke luar kota untuk urusan
organisasi. Rindi menjadi benar-benar kehilangan.
Pada situasi itulah, Riki selalu
menghibur Rindi. Dengan ulah konyolnya, ia selalu membuat Rindi tertawa. Riki
hadir mengisi kekosongan yang Rindi rasakan ketika Andri tak ada. Perlahan tapi
pasti, kedekatan mereka semakin erat dari sebelumnya. Hal itu menimbulkan rasa
lain untuk Rindi.
Tepat di hari ulang tahunya, Riki
memberikan hadiah boneka yang sangat lucu untuk Rindi. Boneka teddy bear yang sudah sejak lama ia
inginkan. Selain itu, teman-temannya termasuk Anida juga memberikan kejutan
untuk Rindi. Tapi... Andri tidak memberikan apapun, bahkan ucapan selamat pun
tak ada sama sekali. Hal itu membuat Rindi termenung dan tampak kecewa.
Disisi lain, Andri sudah semakin
gelasah. Jauh dilubuk hatinya, ia ingin menghubungi Rindi untuk mengucapkan
selamat. Namun, ia ingat pada surprise yang sudah ia rencanakan.
Sehingga, ia harus lebih bersabar untuk memberikan hadiah special di hari ulang
tahun seseorang yang berarti di hidupnya itu.
***
Seminggu kemudian, saat Andri pulang
dari luar kota, ia ingin segera menemui Rindi dan mengajaknya ke suatu tempat.
Ada kejutan yang sudah ia persiapkan disana. Ditempat itu, Andri ingin
mengungkapkan semua perasannya dan memperjelas status hubungan mereka. Namun
apa yang ada di bayangan Andri dengan kenyataan adalah sebaliknya. Ia terkejut
ketika di jalan berpapasan dengan Rindi yang sedang naik motor dengan
seseorang. Andri langsung berbalik arah dan menyusul kepergian mereka berdua.
Dijalan, mata Andri memerah melihat
kedekatan Rindi dan Riki di motor. Jika bisa ia ingin menghentikan motor itu
saat itu juga. Rindi menyadari bahwa Andri mengikuti mereka. Rindi sengaja semakin
menampakan keakrabannya agar membuat Andri cemburu.
Setelah kejadian itu, Andri sering
melihat mereka berdua kemana-mana. Ia pun mendapat informasi dari Indra bahwa
mereka memang teman dekat sejak awal masuk kuliah, namun baru sekarang-sekarang
mereka bertambah semakin dekat. Hal itu membuat Andri merasa terpukul.
***
Andri akhirnya berhasil membawa
Rindi pergi ke tempat yang ia rencanakan sebagai surprise ulang tahun untuk Rindi. Tempat itu adalah di sebuah danau
yang sudah dihias sedemikian rupa dengan bunga-bunga dimana-mana.
“Ini hadiah buat kamu Rindi. Kamu
pengen banget kan pergi ke danau ini? Kita bisa naik perahu sama-sama dan
keliling danau sepuasnya.”
“Oh. Makasih.” Ucap Rindi datar
“Cuma itu doang?”
“Terus aku mesti gimana? Kaka tau
kan ulang tahunku tanggal berapa. Kemana aja ka baru sekarang ngasihnya. Kemana
kaka selama ini dan seenaknya dateng lagi.”
“Kaka bisa jelasin Rin. Kaka....”
“Udahlah ka. Ga perlu dijelasin.
Perasaan aku ke kaka udah ga kaya dulu lagi. Aku sadar sekarang, siapa orang
yang bener-bener sayang sama aku. Anida, sahabat yang aku hianatin aja masih
mau ngucapin dan ngasih kejutan buat aku. Dia masih baik sama aku padahal aku
udah nyakitin dia.”
“Kenapa Rin? Kenapa secepet itu kamu
berubah?”
“Sikap kaka yang bikin aku kaya
gini.”
***
Setelah pertemuan itu, Andri benar-benar
kehilangan Rindi. Ia mendengar kabar bahwa Rindi dan Riki semakin dekat.
Pacaran atau tidak hanya mereka yang tau. Andri sudah membuktikan sendiri
kebenaran berita itu dengan melihat kedekatan mereka secara langsung. Ada
tatapan berbeda dari Rindi yang tak pernah ia lihat ketika bersamanya dulu. Ia tampak
lebih bahagia. Andri sudah berusaha memperbaiki hubungannya dengan Rindi, namun
tak membuahkan hasil. Perjuangannya harus berbalas rasa sakit melihat
kebersamaan seseorang yang pernah dekat dengannya kini bersama orang lain.
Akhirnya Andri mulai menyerah. Melihat
kebahagiaan Rindi, tak ada pilihan lain yang bisa ia lakukan selain
merelakannya. Ia lalu mengeluarkan sebuah kalung yang sebenarnya akan menjadi
hadiah ulang tahun untuk Rindi. Ia tak sempat memberikannya karena Rindi sudah terlanjur
marah.
“Gue cape kaya gini terus Ndra.
Kayanya sekarang waktunya ngerelain dia buat orang lain. Kalung ini buat lo aja
Ndra.”
“Aduh Dri. Gue tau lo lagi galau,
tapi jangan sampe bikin lo eror juga. Sejak kapan gue pake kalung?”
“Aduh Dra... maksudnya ini kalung
emang buat lo. Tapi terserah lo mau kasih ke siapa juga.”
“Haha... Kalo ke Rindi gimana? Siapa
tau aja dia luluh.”
“Jangan. Udah biarin aja dia ga tau
apa-apa soal kejadian pas gue ngehindarin dia sebelum ulang taunnya. Kalung itu
lo kasih ke siapa aja asal jangan Rindi.”
“Lo yakin Dri? Emang lo kuat ngeliat
dia sama yang lain?”
“Lama-lama gue juga biasa Dra. Kalo
jodoh ga akan kemana. Ini karma kali, dulu gue ngelepasin Anida saat nemuin
orang yang lebih bisa buat gue nyaman. Eh... sekarang itu yang nimpa gue.”
“Ya... itu kali yang disebut hukum
sebab akibat Dri.”
***
Untuk kedua kalinya, Andri
kehilangan seseorang yang pernah dekat dengannya. Namun, berbeda dengan dulu.
Ia kini menghadapinya sendiri. Tak ada lagi Rindi di sampingnya.
Cinta... bisa menyatukan dua insan
yang begitu berbeda namun bisa juga memisahkan dua insan yang pernah dilanda
cinta. Apa yang salah dengan cinta, mengapa bisa menghancurkan hubungan baik
yang selama ini terbina dan berganti dengan kebencian. Apa yang salah dengan
cinta, hingga membuat dua orang yang begitu dekat sanggup untuk saling menjauh
ketika cinta itu tak lagi diaras. Mengapa harus ada cinta jika berujung pada
derita.
Komentar
Posting Komentar