Senja mulai menyapa kala kulangkahkan kaki menyusuri jalan menuju kota kembang. Rasanya memang agak sedikit malas meninggalkan rumah, apalagi di jadwal kalender akademik, seharusnya ini adalah libur panjang. Namun, nikmatnya libur panjang bukan untuk para mahasiswa akhir sepertiku. Waktu liburan adalah saat untuk mengejar timeline skripsi yang semakin memusingkan kepala dan menyesakkan dada. Jadi, untuk kali ini rasa malas harus segera ditepikan, jika tidak mau status mahasiswa melebihi expired yang ditentukan.
Perjalanan pulang kali ini terasa berbeda. Jika biasanya aku tinggal duduk nyaman dibelakang jok motor yang dikemudikan bapak, kali ini terpaksa aku harus kembali berpetualang menembus kemacetan dengan angkutan umum. Hal lain yang menambah rasa bosan perjalanan sore itu adalah harus menunggu penumpang penuh supaya angkutan bisa segera melaju. "Menunggu", sejujurnya kata itu sudah menjadi teman akrabku selama masa pengejaran pembuatan skripsi. Untuk para mahasiswa akhir, pastilah mengerti makna "penantian" yang ku maksud. Hahaha...
Setengah jam berlalu, namun baru beberapa gelintir yang ada di dalam angkutan. Gerakan gusar sudah tidak bisa kutahan. Bisa-bisa sampai malam jika angkutan ini masih belum mau bergerak maju. Mataku perlahan mengajak terpejam. Namun seketika "marah" karena kedipan mata yang hampir menutup itu kembali terusik oleh suara penumpang perempuan yang baru masuk. Ia langsung ikut bergabung dengan percakapan dua bapak-bapak yang sudah lebih dulu memulai percakapan. Kutaksir usianya tidak jauh berbeda dariku, sekitar 20an lebih. Ia sangat periang dan supel. Terlihat jelas ketika dengan mudahnya ia dapat bergabung dengan obroal kedua bapak itu. Penampilannya menarik, cantik dengan hijab biru tua dan polesan make up tipis di wajahnya. Kejengkelan mataku langsung berganti dengan sinar kekaguman saat tidak sengaja kudengar ia menyebutkan tentang "Ia pak. Penyakit tumor dan kanker sekarang memang marak. Saya juga terkena penyakit kanker payudara."
Whattt?! Telingaku seolah semakin menajamkan antena pendengarannya. "Kanker payudara?" Tapi ia terlihat sangat sehat, tanya batinku. Aku semakin tertarik untuk menguping pembicaraan mereka, tapi tidak untuk ikut terlibat di dalamnya. Kata-kata selanjutnya yang kudengar dari perempuan itu hanya mampu membuatku semakin merundukkan kepala. "Malu", itulah yang kurasakan.
"Neng udah lama kena kanker payudara. Asalnya dari Cianjur tapi dikasih rujukan ke Hasan Sadikin karena lebih lengkap alatnya. Kemoterapi udah ga kehitung berapa kali, sampe rambut udah botak. Setiap mau kemo kadang gagal gara-gara pendaharan yang ga berhenti-berhenti. Untungnya biaya pengobatan ditanggung pemerintah, cuma tetep aja buat transportasi harus ada uang sendiri. Neng dari awal berobat ngurus semuanya sendiri, ga ada keluarga yang nemenin. Saat penderita kanker biasanya ngeluh dan putus asa, neng lebih milih buat berjuang sendirian. Penyakit itu harus dilawan, bukan terus dipikirin dan bikin lemah. Neng mah optimis aja."
Itu percakapan yang sudah mulai membangunkan hati nuraniku. Ya Allah, dia punya masalah yang lebih besar dariku. Masalahnya bukan sekedar nunggu dosen berjam-jam buat bimbingan, revisian yang ga tahu harus diapain biar segera di acc, di phpin narasumber wawancara yang ga ngasih kabar kapan bisa ketemuan, nahan tangis gara-gara kemungkinan ga bisa ngejar target sidang Februari, puyeng mikirin listening, grammar, reading, writing bahasa Inggris buat test TOEFL, dan masalah-masalah yang sebenarnya masih sepele dibandingkan dengan perempuan yang memanggil namanya "Neng" tersebut.
Ya Allah, dia menghadapi segalanya sendiri. Ketemu pejabat yang birokrasinya oper sana-sini, petugas rumah sakit yang bertele-tele kalo ngurusin pasien dari bantuan pemerintah dan dokter dengan segala alat medisnya yang bikin bulu kuduk berdiri. Sedangkan aku? Ngadepin dosen aja harus segerombolan baru bisa berani ngetuk pintu ruangannya (-_-). Dia udah ngadepin sakitnya kemoterapi, bau busuknya obat-obatan kanker yang ga nahan mualnya dan pendaharan yang pastinya bikin tubuh makin lemes gara-gara nguras darah, tapi masih bisa ikhlas dan sabar. Sedangkan aku? Kena pilek, panas, masuk angin aja udah bisa dijadiin alesan buat berlama-lama meringkuk di naungan selimut. Dia masih bisa ngelawan penyakitnya dengan semangat optimis bisa sembuh sekecil apapun itu. Nah aku? Gagal nemuin narasumber aja udah bisa bikin pesimis beresin skripsi tumbuh subur dalam hati. Point of view yang sangat berbeda dalam menghadapi masalah, aku malu.
Obrolan selanjutnya dari perempuan itu sudah bikin mataku buram karena berkaca-kaca. Macetnya jalanan tidak bisa kulihat karena rasanya aku tertunduk selama perjalan melewati pasteur itu.
"Neng awalnya ga tahu Bandung, tapi sejak ngurusin surat bantuan kesana kemari jadi sekarang tahu seluk beluk Bandung. Ketemu banyak orang sama komunitas kanker. Hikmahnya kena penyakit ini ternyata bisa bikin neng belajar dari banyak orang juga. Neng pengen nantinya bisa berguna juga buat orang lain, ngebantuin yang kena penyakit serupa."
Nurani ku tertawa puas menyadari aku semakin terpojok karena kata-katanya. "Hey im, liat dia yang sakit parah aja masih bisa mikirin orang lain. You apa kabar? Masih sibuk jadi fangirl yang udah jelas ga akan bisa ketemu woohyun oppa mu itu." Mungkin begitulah nuraniku bicara.
Tidak ada pertemuan yang kebetulan, aku percaya itu. Allah ingin menyadarkanku dari segala keluh kesah, amarah dan kekesalan terhadap masalah-masalah kecilku selama ini melalui kehadiran perempuan itu. Membuat mataku terbuka bahwa masih banyak orang yang memiliki sekelumit big problem in their life, tapi masih bisa tersenyum karena point of view yang berbeda melihat masalah itu.
Dipenghujung perjalanan, untuk terkahir kalinya Allah menunjukkan sebuah pelajaran berharga untukku. Ternyata kita turun di tempat yang sama, belokan Sukajadi. Banyak orang disekitar sana yang mengenalnnya dan menyapanya. Supir angkutan umum yang tadi kami naiki ternyata juga mengenalnya. Dapat kusimpulkan, dia bukan orang sakit sembarangan. Dalam keadaan lemah sekalipun, ia masih dikenal banyak orang. Pasti karena energi positif yang ia tebarkan ditengah kesakitan yang ia rasakan. Sekali lagi, ia mampu membuat nuraniku tertawa terbahak-bahak melihat aku tidak berkutik.
Setibanya dikosan, aku masih menerawang memikirkan kejadian tadi. Ini hikmah hidup yang aku cari-cari. Jawaban dari keresahanku selama ini.
Mah, pa, kalian adalah alasan mengapa sidang Februari menjadi sebuah target keharusan yang harus ku capai. Tapi maafkan anakmu jika akhirnya gagal. Ini memang murni karena kemalasan dan kurangnya kesungguhanku mengerjakannya. Aku tahu kelak kalian akan mengatakan "tidak apa-apa" jika tahu aku gagal. Tapi aku juga jauh lebih tahu, dibalik itu ada senyuman kepahitan yang kalian tunjukkan. Saat itu tiba, aku juga tahu, entah sudah kesekian kalinya rasa kecewa itu aku torehkan. Tapi... ketika memang saat itu tiba, aku minta maaf karena tidak akan ada air mata untuk menangisi kegagalan itu lagi. Daripada terpuruk dalam kecewa, seperti perempuan yang tadi kutemui, aku akan memilih untuk bangkit segera dengan rasa optimis dan bahagia untuk mengobati kecewa yang kalian rasa. Aku akan memberi ucapan selamat kepada teman-teman hebat yang sudah selesai lebih dulu dariku dan menjadikan mereka sebagai lecutan semangat agar aku segera menyusul kebahagian mereka.
Jika target itu memang tidak dapat kucapai, Allah mungkin ingin aku belajar lebih banyak hal. Bukan hanya tentang meraih gelar S.Pd secepatnya, tapi tentang bagaimana menggunakan gelar itu agar bermanfaat untuk yang lainnya. Seperti perempuan tadi, aku juga ingin belajar lebih banyak hal dan sebisa mungkin hidup menjadi lebih bermanfaat. Pada akhirnya, Allah lebih tahu apa yang terbaik. Bukankah manusia memang hanya bisa berusaha, tapi segalanya Allah yang menentukan?
Ah, jawaban segala keresahanku akhirnya terjawab. Terima kasih untuk pelajaran hari ini.
Ah, jawaban segala keresahanku akhirnya terjawab. Terima kasih untuk pelajaran hari ini.
Komentar
Posting Komentar