Langsung ke konten utama

Kamu.... Navigasiku

      Gemerlap pesta pergantian tahun masih menyisakan kemegahannya saat fajar mulai menyingsing. Hari pertama di tahun baru disambut dengan wajah-wajah berbinar ditengah dinginnya salju yang masih menyelimuti kota ini. Kutatap bulir-bulir salju lewat kaca jendela. Dingin yang menusuk tulang seolah mengurungku untuk tidak beranjak pergi. Akhirnya... kularutkan diri dalam lamunan. Memutar memori tadi malam. Aku menjadi salah satu saksi kegemerlapan pesta kembang api itu. Bukan untuk merayakan pergantian tahun, melainkan untuk menambah memoriku disini, jika suatu saat aku harus kembali pergi. Kyoto... Jepang.... ah! Malam tadi kau semakin memikatku dengan keelokan pesonamu.
    “Ohayougazimasu 1Mira-san.” Seru teman satu asramaku.
    “Ohayougazimasu Orihara-san.”
    “Kenapa kamu melamun? Kangen sama keluarga ya?” tanyanya dengan bahasa Indonesia berlogat Jepang yang kental.
    “Ah... iya. Hehe...”
    “Aku mengerti, tapi jangan terus dipikirkan, nanti kamu sakit lagi. Ayo berjalan-jalan keluar, kita mencari sarapan bersama-sama.”
    “Oh, iya baiklah Orihara-san.”
    Meski bibirku terus menggigil kala kulangkahkan kaki menelusuri jalan, aku harus mulai terbiasa. Tubuhku harus beradaptasi dengan cuca ekstrim negeri ini. Awalnya berat, sampai aku sempat dibuat tumbang oleh sambutan salju negeri Sakura. Tapi itu menjadi pemacuku untuk semakin semangat menaklukan negeri ini. Untunglah ada Orihara, gadis manis berdarah asli Tokyo ini menjadi sahabat sekaligus sudah kuanggap keluarga. Meski baru mengenalnya selama 6 bulan, kami sudah sangat dekat layaknya sahabat yang telah bersama selama bertahun-tahun. Orihara juga pandai berbahasa Indonesia karena ia sempat mengikuti pertukaran pelajar di Indonesia selama setahun. Kami jadi lebih mudah berkomunikasi. Meskipun bahasa Jepangku salah, Orihara akan tetap mengerti maskud perkataanku. Aku selalu dibuat tertawa jika ia berbahasa Indonesia. Bahasanya sangat baku seperti yang tertera di kamus KBBI.
    “Mira-san, tokonya masih belum terlalu banyak yang buka. Bagaimana kalau kita pergi ke minimarket saja? Disana kita bisa membeli roti berlabel halal, jadi aman untuk kamu memakannya.”
    “Saya setuju dengan usulmu Orihara-san.”
    Begitulah kami. Terlahir dengan penuh perbedaan, namun dapat bersatu karena saling pengertian. Tanpa perlu banyak bicara, Orihara mengerti apa yang aku butuhkan sebagai seorang warga asing yang beragama minoritas di negaranya.
    Setelah selesai sarapan, aku dan Orihara memutuskan untuk berjalan-jalan sejenak sebelum kembali ke asrama. Sepanjang jalan yang kulalui, anak-anak begiru riang membuat boneka salju. Ada juga yang sedang “perang” melempar bola salju. Semua tertawa menikmati salju yang tetap dinanti meski membuat badan menggigil setengah mati. Ah, suasana yang tidak akan kutemui di tanah air.
       Kota Kyoto memang penuh pesona. Jika di tanah air, suasana kota ini akan mengingatkanku pada kota Yogyakarta karena sama-sama dikenal sebagai kota budaya dan kota pelajar yang sangat tenang dan tentram. Kyoto sendiri terletak di pulau Honshu dan merupakan salah satu kota paling bersejarah di Jepang. Saat perang dunia II, hanya Kyoto yang menjadi satu-satunya kota yang terbebas dari serangan bom. Saat ini, pemerintah Jepang terus berusaha melestarikan tempat-tempat bersejarah dan memelihara budaya yang terdapat di kota ini. Karena keelokan pesonanya, Kyoto masuk kedalam daftar kota yang kaya akan pariwisata dan menjadi sasaran para turis lokal maupun mancanegara. Siapa sangka, kini aku termasuk salah satu orang yang dapat menjajakan kaki di kota ini.
       Langkah kakiku terhenti ketika kami melewati gedung Universitas Kyoto. Senyum simpul terukir sendiri memulas bibirku. Siapa sangka, nama Mira Indrianti akan terdaftar sebagai salah satu mahasiswa program magister universitas tertua kedua di Jepang tersebut. Dulu... membayangkan bentuk gedung universitas ini pun tidak pernah sedikitpun terlintas dalam pikiranku. Kini... semua hal mustahil itu sudah berada dipelupuk mataku. Aku harus berani menapakan kakiku ke alam nyata. Meyakinkan diri sepenuh hati bahwa masa depan yang kurajut masih terus membutuhkan perjuangan panjang agar berhasil menjadi rajutan yang semakin indah.
       Tiba-tiba, lamunanku terusik dengan kehadiran sosok lelaki tinggi semampai di gerbang universitas. Lelaki yang sangat lekat dalam ingatanku. Mingkinkah dia.....
***
5 tahun yang lalu....
    “UI... ITB... UNPAD... UPI.... UGM... ITS... ayo ade-ade kunjungi stand universitas yang kamu minati. Ade-ade bisa nanya banyak hal disana.....” seru para alumni yang kini berstatus mahasiswa dengan penuh semangat. Sepanjang hari mereka terus berteriak mempromosikan universitas-universitas unggulan di Indonesia. Semangat mereka tidak kalah dengan para penjual yang menjajajakan jualan di pasar, menggunakan segala macam trik promosi untuk menarik minat.
    “Mir... ayo liat-liat stand universitasnya. Kita harus segera pilih target universitas, bentar lagi kan pembukaan SNPMTN.”
    “Males ah, kamu aja duluan, nanti aku kesana. Aku... masih gak kepikiran buat lanjut kuliah.”
    “Helo.. Mira! Kamu masih tetep buat gak kuliah. Mir, sayang tahu! Juara umum pertama di IPA cuma pegang ijazah SMA! Kemana semangat belajar kamu?!”
    “Entahlah Yun. Aku juga gak tahu kenapa. Udah ah, kamu duluan aja kesana, aku mau nyari angin dulu.”
    “Angin gak usah dicari kali Mir. Ah... kamu aneh. Mentang-mentang kak Andri udah gak ada disini, kamu jadi kehilangan arah kaya gitu. Aku ke stand ya, kalo berubah pikiran kesana aja ya”
      Deg! Hatiku langsung berdesir ketika mendengar nama itu. Andri Iryawan, bukan nama biasa dalam kamus hidupku. Aku mengenalnya sejak aku masih memakai baju putih biru. Selama ini tanpa kusadari, semua jalan hidup yang kuambil mengikuti jejak-jejak yang ia tinggalkan. Kubuka ponselku yang tergeletak di sisi lenganku. Kutatap foto kak Andri dan aku ketika kami menerima penghargaan sebagai juara umum pertama untuk jurusan IPA. Waktu itu kak Andri kelas XII dan aku masih kelas XI. Ah, memori indah itu kudapat bukan dengan hal yang mudah. Setengah mati aku berjuang agar bisa masuk jurusan yang sama dengan kak Andri. Aku yang benci dengan bau-bau rumus harus mulai mengakrabkan diri dengan kumpulan angka yang membuat kepala berputar-putar. Begitu aku tahu kak Andri menjadi juara umum IPA saat ia kelas XI, aku langsung membanting tulang untuk semakin giat belajar. Semua kulakukan hanya agar aku merasa “sejajar” dengan kak Andri. Hasilnya, senyum manis, ucapan dan potret kami berdua berhasil kudapatkan. Balasan manis untuk semua tetesan keringatku selama ini.
        Namun kini, semua terasa hambar, sehambar ketika masa SMP ketika kak Andri lulus sekolah. Aku kehilangan arah dan tujuan hidup. Navigasiku telah pergi. Hari ini, aku berharap akan menemukan sosoknya ditengah alumni-alumni itu. Tapi... sepanjang hari aku mengamati, ia tidak juga menampakkan diri. Setahun ini aku sudah berusaha mencari kemana ia melanjutkan kuliah, tapi hasilnya nihil. Ia seolah benar-benar hilang entah kemana.
***
    
     Sepulang sekolah, aku termenung menatap kaca jendela. Tadi siang sepanjang perjalanan pulang, tidak henti-hentinya semua orang membicarakan tentang universitas dan rencana-rencana masa depan mereka. Sejujurnya aku bingung, kenapa aku tidak mampu seperti mereka?. Jawabannya kutemukan setelah berlama-lama duduk mengurung diri di kamar. Sejujurnya, bukan hanya karena kak Andri aku jadi kehilangan minat untuk melanjutkan kuliah. Jauh didalam hatiku, ku akui, aku bukan orang yang berani bermimpi. Butuh faktor eksternal yang harus membantuku keluar untuk menciptakan suatu mimpi. Aku terlalu takut pada nasib.
      Terlahir dari keluarga sederhana, membuatku sering berpikir sederhana. Hanya sekolah, dapat ijazah, bekerja dan menghasilkan uang untuk keluarga. Aku tidak bermimpi menjadi orang hebat yang namanya akan terukir dalam sejarah dunia. Semua serba sederhana dalam kerangka berpikirku. Mind set itu juga terbentuk dari perkataan keluargaku sendiri. Dulu ketika aku hendak melanjutkan ke SMA, banyak saudaraku yang mencibir aku tidak tahu malu dan hanya menyusahkan orang tua. Biaya masuk SMA menurut mereka mahal, untuk apa anak perempuan sekolah tinggi-tinggi. Lingkungan seperti itulah yang membuatku takut bermimpi tinggi.
***
    Sore ini ada reuni rohis. Aku menyempatkan diri untuk datang. Kala jiwa terasa hampa, berkumpul dengan orang-orang soleh di rumah Allah memang solusi terbaik. Aku bersyukur mengenal mereka. Awalnya memang karena kak Andri aku masuk rohis. Namun, aku semakin merasa nyaman dan tidak berniat keluar bahkan ketika kak Andri sudah tidak ada lagi disini.
    “Assalamua’laikum...” sapa seseorang.
     Deg! Jantungku seperti berhenti sejenak. Suara itu....
    “Waa’laikumsalam...” jawab kami serempak.
     Aku hanya tertunduk. Tidak mampu menatap wajah itu. Setelah cukup lama acara dimulai, aku baru mulai memberanikan diri menatapnya dari sudut mataku. Tiba-tiba aku merasa aneh. Ada yang berbeda dari sosok kak Andri. Ia tampak semakin bersahaja dengan baju koko lengkap dengan kopiah yang menutupi rambut pendeknya. Wajahnya semakin bersinar. Tutur katanya semakin lembut dan penuh kerendahan hati. Sesakali kudengar tambahan dalil-dalil Alquran dan hadis dalam setiap kata-kata yang ia lontarkan. Ia tampak semakin alim.
       Akhirnya aku tahu penyebab perubahnnya. Ternyata ia melanjutkan kuliah sambil ikut pesantren mahasiswa di Yogyakarta. Wah... sungguh drastis sekali perubahannya. Karena semua yang hadir sudah sangat terpesona mendengar banyak pengalaman yang ia ceritakan, maka kak Andri diminta  untuk menjadi pengisi bagian motivasi pada kesempatan itu. Ah, aku semakin tidak ingin acara ini segera selesai.
        “Temen-temen semua pernah ngedenger hadis yang artinya, “Sebaik-baik manusia adalah manusia yang paling bermanfaat untuk manusia yang lainnya”, gak?
         “Saya pernah ngedengernya kang, artinya sangat menyentuh dan nyadarin kita kalo hidup kita harus berguna untuk orang lain,” jawab Imam, sang ketua rohis.
         “Betul sekali akh Iman. Temen-temen, sejujurnya setahun yang lalu saya sempet kehilangan arah. Saya gak terlalu antusias buat kuliah seperti temen-temen saya. Semua heran melihat tingkah laku saya. Seorang juara umum dari IPA masih bingung mau kuliah atau engga. Sejujurnya saya bingung karena takut membebani orang tua saya. Tapi... kemudian saya menemukan hadis ini. Saya malu, hidup saya belum bisa berarti buat orang lain. Ilmu yang saya miliki masih terbatas. Kemudian, saya mulai memikirkan untuk melanjutkan kuliah dan mengejar cita-cita saya untuk jadi seorang guru. Saya miris melihat keadaan bangsa ini yang masih sulit untuk mendapatkan pendidikan. Saya bertekad untuk menambah ilmu dengan lebih baik agar kelak saya bisa membagikan banyak ilmu untuk semua orang. Mungkin dengan begitu, hidup saya dapat lebih bermanfaat untuk orang lain. Soal rezeki, jangan takut teman-teman, semua sudah ada yang mengatur. Jika kita berdoa dan berusaha, Allah akan selalu membantu kita. Allah itu dekat, lebih dekat daripada urat leher kita.”
         Kata-kata itu.... persis seperti apa yang kualami. Aku merasa tertampar mendengarnya. Nyala api semangat yang sempat padam, kini mulai terbakar kembali. Apa aku benar-benar akan menyerah untuk menuntu ilmu hanya karena perkataan orang-orang yang menganggap kondisiku tidak mampu?! Bukankah Allah yang mengatur rezeki, bukan mereka?! Ah bodoh benar aku ini! Sepulang dari sini aku bertekad akan kembali berkhayal dan bermimpi seperti dulu lagi. Hidupku harus bermanfaat untuk orang banyak, bukan untuk orang-orang di sekitarku saja, tapi untuk bangsa, agama dan bahkan dunia ini!
    Sekali lagi, kak Andri menyelamatku dari keputusasaan hidup. Ia memang navigasiku, tapi setelah kupikirkan kembali, hatiku ini milik Allah. Aku akan tergerak jika Allah memang menggerakkannya. Selama ini aku berpikir aku hanya mengikuti kemana kak Andri pergi, tapi nyatanya tidak. Kak Andri hanya pelantara dari Allah untuk menggerakanku. Kak Andri hanya navigasi sementara dari Allah agar aku tidak ragu mencari jalan hidup yang telah Allah gariskan untukku.
Ket:
*1ohayougozaimasu= selamat pagi

Komentar

Popular post

makalah emotional intelligence

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang             Kecerdasan intelektual seringkali menjadi ukuran sebagian besar orang untuk meraih kesuksesan. Banyak orang berpikir, dengan kemampuan intelektual yang tinggi, seseorang bisa meraih masa depan yang   cerah dalam hidupnya. Tidak heran, banyak orang tua selalu menekankan anaknya untuk meraih nilai sebaik mungkin agar kelak memiliki masa depan yang cemerlang. Sistem pendidikan di negara kita yang lebih menekankan pada prestasi akademik siswa atau mahasiswa juga semakin mendukung argumen tersebut. Padahal kenyataannya, kecerdasan intelektual bukanlah hal mutlak yang dapat menjamin kesuksesan seseorang.             Mungkin kita sering bertanya-tanya mengapa orang yang ber-IQ tinggi justru banyak yang mengalami kegagalan dalam karirnya. Sedangkan orang yang ber-IQ sedang justru dapat lebih sukses dari orang yang ber-IQ tinggi. Hal itu disebabkan karena ada satu kecerdasan yang lebih berpengaruh dalam menentukan kesuksesan seseoran

BOOK REPORT FILSAFAT MORAL

BAB   I PENDAHULUAN 1.1   Identitas Buku Judul buku       : Filsafat Moral Penulis                : James Rachels Cetakan              : ke enam Tahun terbit      : 2013 Penerbit              : Kanisius, Jl. Cempaka 9, Deresan, Yogyakarta 55011 Halaman             : 394 lembar Harga                 : Rp. 52.000,00 Penerjemah       : A. Sudiarja 1.2   Latar Belakang Penulisan Persoalan-persoalan amoral dewasa ini dinilai semakin memprihatinkan. Banyak kalangan masyarakat yang berperilaku melawan aturan-aturan moral. Aturan yang semula ditaati demi terciptanya keteraturan sosial, kini dengan mudah ditentang oleh banyak kalangan. Perbuatan amoral seolah menjadi hal lumrah di masyarakat. Keteraturan sosial semakin jauh dari harapan. Perubahan zaman yang diwarnai dengan arus globalisasi dan modernisasi merubah segala etika dan aturan moral menjadi sesuatu yang kuno, sehingga banyak kalangan yang meninggalkannya. Degradasi moral yang melanda generasi m

Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan

A.     Pendahuluan Bahasa merupakan   alat komunikasi yang penting   agar manusia dapat saling berinteraksi dan berbagi informasi dengan manusia yang lain. Bahasa ada yang digunakan secara lisan, adapula yang digunakan dalam bentuk tulisan. Bahasa melengkapi anugerah yang diberikan Tuhan kepada manusia. Melalui bahasa, manusia dapat terus mengembangkan kemampuan menalar yang dimilikinya. Kemampuan menalar tersebut sangat penting untuk mengembangkan kemampuan manusia agar terus berkembang kearah kemajuan. Hal itulah yang membuat perkembangan manusia cenderung dinamis. Mengingat pentingnya bahasa dalam kehidupan manusia, maka penggunaan bahasa harus benar agar dapat dimengerti oleh manusia lain dan tidak menimbulkan kesalah pahaman, terutama dalam penggunakan bahasa tulisan. Dalam menulis, manusia tidak bisa sekehendak hati, tetapi harus mematuhi aturan-aturan yang berlaku. Di Indonesia, aturan menulis harus sesuai dengan Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan. Penetapan atur